Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Bisnis Tambang Timah Ilegal Lebih Menggiurkan

Indonesia merupakan produsen timah terbesar kedua di dunia. Tambang ilegal menjadi taktik memangkas biaya. 

3 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bongkar muat timah batangan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Dok. TEMPO/STR/Dasril Roszandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Cadangan timah Indonesia diperkirakan masih bisa bertahan sampai 31 tahun mendatang.

  • Penjualan kendaraan listrik dan panel surya akan meningkatkan konsumsi timah.

  • Praktik penambangan ilegal menjadi salah satu cara memangkas biaya produksi.

PENYIDIKAN dugaan korupsi tambang timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada 2015-2022 yang melibatkan tiga direktur perusahaan itu dan belasan pengusaha menunjukkan betapa menggiurkannya bisnis pertambangan serta perdagangan timah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Kejaksaan Agung memperkirakan nilai kerugian perekonomian dari perkara korupsi ini mencapai Rp 271 triliun. Jaksa masih menghitung nilai kerugian keuangan negara. Dalam perkembangan terbaru, pada 27 Maret lalu, penyidik menetapkan Harvey Moeis, yang terkait dengan PT Refined Bangka Tin, sebagai tersangka ke-16.   

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki cadangan bijih timah terbesar kedua di dunia. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Dadan Kusdiana mengatakan jumlah cadangan bijih timah Indonesia ditaksir sebanyak 6,93 miliar ton. “Diperkirakan bertahan sampai 31 tahun,” ujarnya, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Timah pernah menyebutkan, pada 2022, produksi logam timah Indonesia mencapai 74.100 ton, atau 19 persen dari total produksi logam timah dunia yang sebanyak 379.681 ton. Adapun produsen nomor satu logam yang dibutuhkan untuk penyolderan dan penyambungan komponen elektronik ini adalah Cina sebanyak 179.300 ton.  

Memangkas Biaya dengan Tambang Ilegal

Pertambangan timah terbuka primer PT Timah Tbk di Belitung Timur, Bangka Belitung. ANTARA/Muhammad Iqbal

Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan bisnis timah masih akan menggiurkan ke depannya. Pertumbuhan jumlah permintaan, ucap dia, akan banyak datang dari sektor energi baru terbarukan. 

“Solder timah menjadi bagian utama dari komponen yang membentuk panel surya,” ujarnya, kemarin. Dalam jangka panjang, dia memprediksi, investasi dan penjualan kendaraan listrik serta panel surya meningkatkan konsumsi timah.

Andry menambahkan angka permintaan ekspor timah juga masih sangat tinggi. Data PT Timah memaparkan sebanyak 92 persen produksi timah diekspor. Sisanya, 8 persen, untuk pasar domestik. Celakanya, sebagian perusahaan timah memanfaatkan penambangan ilegal untuk memotong biaya dan memaksimalkan keuntungan. “Pada umumnya, harga dari pertambangan ilegal lebih rendah,” ujarnya. 

Menurut dia, tingginya angka permintaan ekspor terjadi lantaran industri di dalam negeri belum berkembang. Di luar negeri, timah Indonesia banyak digunakan untuk membuat semikonduktor. Hal ini dibenarkan oleh Direktur Utama PT Timah Tbk Ahmad Dani Virsal. Ia mengatakan permintaan terbesar untuk produksi timah di perusahaannya adalah untuk solder dan komponen perangkat elektronik.

Gurihnya bisnis timah juga tecermin dari penghitungan total net cash cost yang pernah dibuat oleh Kementerian Energi pada 2020. Ketika itu, Kementerian menghitung total net cash cost dari penambangan bijih timah menjadi logam pada 2020 sebesar US$ 14.765 per ton. Net cash cost itu sudah memperhitungkan biaya penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta penyusutan dan royalti. Artinya, dengan harga timah dunia ketika itu US$ 16-22 ribu per ton, terdapat selisih US$ 1.200-7.200 per ton. Adapun harga timah dunia saat ini sekitar US$ 26 ribu per ton. 

Anomali Produksi PT Timah

Pekerja membungkus tumpukan timah saat bongkar-muat di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Dok. TEMPO/STR/Eko Siswono Toyudho

Di tengah tingginya cadangan dan potensi ekspor, jumlah produksi timah PT Timah terus menurun. Pada 2023, produksi bijih timah hanya mencapai 14,85 ribu ton atau turun 26 persen dari tahun sebelumnya. Perseroan melaporkan produksi logam timah juga turun 23 persen secara tahunan. Penurunan angka produksi ini dibarengi dengan penjualan logam timah yang turun sebesar 31 persen. Penurunan ini sudah terjadi selama tiga tahun berturut-turut.

Karena penurunan volume produksi dan penjualan itu, pendapatan PT Timah pada 2023 juga turun dari tahun sebelumnya Rp 12,5 triliun menjadi Rp 8,39 triliun atau turun 33 persen. Dengan cadangan mineral timah sekitar 300 ribu ton, Ahmad Dani mengatakan, target produksi tahun ini sekitar 30 ribu ton.

Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Martin Manurung mempertanyakan penyebab penurunan jumlah produksi perusahaan di tengah meningkatnya angka permintaan. “Hal ini mengindikasikan kandungan timah PT Timah dari wilayah perusahaan diproduksi oleh negara lain atau orang lain,” katanya dalam rapat kerja bersama PT Timah, kemarin.

Anggota Komisi VI DPR, Deddy Sitorus, menimpali bahwa Indonesia memiliki potensi produksi timah yang sangat besar, tapi dikelola dengan cara yang tidak benar. “Banyak mafia yang terlibat. Jadi bagaimana mungkin korporasi merugi, sementara kebutuhan global terus tinggi?” ujarnya. Menurut dia, DPR sudah membentuk panitia kerja yang juga akan menginvestigasi kasus korupsi tata niaga timah.  

Merespons pertanyaan anggota Dewan itu, Ahmad Dani mengatakan terjadinya kelebihan pasokan dan tren penurunan harga timah dunia menjadi penyebab anjloknya pendapatan perseroan. Ia memaparkan saat ini timah berada di harga US$ 26-37 ribu per ton. “Yang bisa kami lakukan adalah meningkatkan kualitas produksinya,” katanya.

Mengenai kasus korupsi yang terjadi, Ahmad mengaku belum dapat menghitung nilai kerugian bagi perusahaan. Saat ini perusahaan masih melakukan investigasi internal. Evaluasi dilakukan dengan memperbaiki skema kemitraan dan bentuk kerja sama perusahaan ke depan. Menurut dia, penurunan angka produksi bukan hanya disebabkan oleh keberadaan  tambang ilegal, tapi juga tata kelola secara keseluruhan. “Itu yang akan kami perbaiki.”

Berdasarkan laporan perusahaan, saat ini PT Timah mengantongi 125 IUP yang tersebar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Riau, dan Kepulauan Riau. Sebanyak 91 persen produksi timah nasional ada di Bangka Belitung. Menurut data Kementerian Energi pada 2020, terdapat 537 IUP di seluruh Indonesia dan 504 IUP berada di provinsi tersebut. Sedangkan perusahaan tambang timah yang aktif berproduksi pada 2020 sebanyak 24 perusahaan.

Penghiliran Timah Masih Lemah

Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menjelaskan, potensi pengembangan industri pengolahan timah, terutama di wilayah seperti Bangka Belitung, cukup besar. Namun masih ada beberapa tantangan yang harus diatasi. Misalnya, industri penghiliran timah domestik masih dalam tahap awal dan belum memiliki pengaruh signifikan terhadap harga timah dunia.

Dia berpendapat, Indonesia masih bergantung pada pasar internasional dalam hal produk timah karena belum memiliki kontrol atas harga dunia. “Pengembangan bahan baku solder untuk industri elektronik di Indonesia masih menghadapi kendala volume produksi dan standardisasi yang belum terpenuhi,” ujarnya.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis, termasuk dorongan dari pemerintah untuk memperkuat industri solder, komponen elektronik, baterai kendaraan listrik, dan industri turunan lainnya yang berkaitan dengan timah.

Selain itu, diperlukan penataan ulang terhadap izin usaha pertambangan dan penanganan yang tegas terhadap penambangan ilegal serta pengaturan yang ketat terhadap reklamasi lahan bekas tambang. Yusuf menambahkan, kondisi industri pengolahan timah dalam negeri juga perlu ditingkatkan, termasuk substitusi impor produk timah, seperti tin plate, dan peningkatan penggunaan komponen dalam negeri pada industri timah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ananda Ridho Sulistya berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus