Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT dari Osaka itu dikirim pada Selasa pekan lalu. Ditandatangani oleh Presiden The Kansai Electric Power Co. Inc. Shosuke Mori, surat itu ditujukan kepada Yenni Andayani, Presiden Direktur PT Donggi Senoro LNG. Isinya mustahak. Operator pembangkit listrik asal Jepang itu membatalkan pembelian gas alam cair dari proyek Donggi-Senoro.
Kansai melakukan terminasi setelah perjanjian awal (head of agreement) jual-beli gas alam cair itu melampaui tenggat akhir Juli lalu. Batas waktu perjanjian sempat diperpanjang tiga kali. Namun pemerintah memutuskan agar gas alam cair itu dimanfaatkan untuk kepentingan domestik. ”Itu keputusan rapat. Direktur Utama Pertamina juga hadir di situ,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat ditemui pada Kamis pekan lalu.
Proyek gas alam cair itu digarap oleh PT Donggi Senoro LNG. Konsorsium ini terdiri dari Pertamina, Medco Energi, dan Mitsubishi. Perusahaan gabungan ini berencana membangun kilang US$ 1,6 miliar. Sumber dana didapat dari Japan Bank for International Cooperation, Jepang. Adapun kontraktornya Japan Gas Corporation.
Rencananya, gas alam cair itu disalurkan buat Chubu Electric Power dan Kansai Electric Power. Keduanya meneken perjanjian awal jual-beli dengan PT Donggi Senoro sejak Maret lalu. Produksi gas alam cair rencananya dikirim mulai 2013 selama 15 tahun. Rencana itu buyar setelah rapat di kantor Wakil Presiden pada awal Juni lalu memutuskan gas alam cair diprioritaskan demi kebutuhan dalam negeri.
Rapat itu digelar untuk menyelesaikan tarik-ulur harga jual-beli gas yang tak kunjung kelar. Persoalan itu muncul setelah PT Donggi Senoro mengikat perjanjian pembelian gas dari PT Pertamina HE Tomori Selatan, Medco HE Tomori Selatan, dan Pertamina EP. Kontrak jual-beli gas pada Januari lalu itu diteken di harga US$ 2,8 per mmBtu. ”Harga ini di bawah harga yang sudah disepakati sebelumnya,” kata sumber Tempo. Harga yang semula diajukan Mitsubishi US$ 3,8 per mmBtu pada harga minyak Japan Crude Cocktail US$ 40 per barel.
Belakangan, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi meminta harga jual gas di hulu itu dinaikkan. Padahal Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro dan R. Priyono, Kepala Badan Pelaksana, menyaksikan penandatanganan perjanjian itu. Pada akhir Mei, harga akhirnya dikerek US$ 0,31 per mmBtu untuk harga minyak mentah di bawah atau sama dengan US$ 50,8 per barel. Namun persetujuan pemerintah tak kunjung keluar.
Tarik-ulur itu—beserta rencana pembangunan kilang—akhirnya dibawa ke kantor Wakil Presiden. ”Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang meminta saya agar pemerintah mengambil keputusan tentang nasib Donggi Senoro,” kata Jusuf Kalla. ”Tapi saya bukan sekadar stempel.”
Dia semula setuju agar sebagian gas untuk ekspor dan kebutuhan domestik. Dengan catatan, neraca gas untuk kebutuhan domestik terpenuhi. Dua hari kemudian, setelah Direktur Jenderal Minyak dan Gas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Legowo menyodorkan hitungan neraca gas domestik, ia berubah haluan. ”Neraca gas kita masih defisit,” katanya.
Itu sebabnya rapat memutuskan gas bumi harus terlebih dahulu dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ekspor hanya dapat dilakukan jika masih ada kelebihan produksi di atas kebutuhan dalam negeri. Tak hanya itu. Rapat juga memutuskan pembangunan kilang gas alam cair harus mengutamakan produksi dan kontraktor dalam negeri. Pengembangan sarana ladang gas, kata Kalla, harus dilakukan dengan biaya efisien. Pertamina dan Badan Koordinasi Penanaman Modal juga diminta mencari alternatif pembiayaan pembangunan kilang, tak hanya bergantung pada Jepang.
Hasil rapat membuat PT Donggi Senoro terjepit. Tak cuma ihwal penjualan gas alam cair yang berantakan, pembangunan kilang pun begitu. Sebab, perusahaan gabungan itu sudah memilih Japan Gas Corporation sebagai kontraktor sejak 2007.
Pertamina, melalui sepucuk surat, berusaha mempertanyakan kembali kelanjutan proyek Donggi-Senoro. Kalla membalas surat itu. Ditujukan kepada Purnomo Yusgiantoro dan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, surat Kalla mengingatkan hasil keputusan rapat 3 Juni.
Ia juga menyebut proyek kilang itu tak ingin dilaksanakan dengan prosedur yang tidak memadai tanpa tender. Biaya kilang US$ 1,6 miliar juga dinilai terlalu mahal. ”Hal tersebut sangat merugikan negara dan Saudara akan menanggung akibat hukum bila dilaksanakan,” Kalla menulis dalam surat itu. Sedangkan kontraktor lokal, kata dia, sanggup membangun dengan ongkos US$ 1 miliar. Ia menyampaikan bahwa hasil rapat 3 Juni itu sudah dilaporkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni. ”Presiden setuju kebijakan itu,” katanya.
Gara-gara surat Kalla itu, Purnomo mengirim surat ke Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil. Ia meminta Sofyan menjelaskan persoalan itu kepada Kalla karena masalah tender tidak termasuk lingkup tugas kementerian energi. Untuk mengklarifikasi surat Kalla itu, Purnomo meminta Sofyan mempertimbangkan dilakukannya audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Mentok di Jusuf Kalla, Karen Agustiawan mengirim surat ke Presiden Yudhoyono pada 14 Juli. Di situ Karen mengatakan, defisit gas di Jawa dan Sumatera bisa dipasok dari Bontang. Tambahan pemenuhan gas, kata dia, akan disuplai dari proyek masa depan, semisal Blok Cepu, Coalbed Methane (CBM) Natuna blok A, Blok SSE, Kuala Langsa, dan Lematang. Pertamina dan Medco juga siap mengalokasikan 70 juta standar metrik kubik per hari dari Donggi Senoro demi kepentingan domestik.
Orang nomor satu di Pertamina itu juga mengatakan, gas alam cair dari Donggi-Senoro tidak ekonomis bila dijual untuk Jawa dan Sumatera. Menurut dia, harga gas alam cair bila masuk Jawa maksimum hanya US$ 6 per juta standar kaki kubik. Sedangkan dengan perjanjian jual-beli yang dimiliki Pertamina sekarang—dengan slope 15,4 persen—harga gas mencapai US$ 6,2 per juta kaki kubik pada harga minyak Japan Crude Cocktail US$ 70 per barel. Dengan kondisi sekarang, Pertamina bisa memperoleh harga gas alam cair—termasuk ongkos pengapalan—US$ 10,98 per juta metrik kaki kubik.
Adapun biaya rancang bangun kilang setara dengan US$ 800 per ton. Biaya itu, kata Karen, masih lebih rendah dari rata-rata biaya rancang bangun proyek gas alam cair di dunia yang US$ 1.000-1.500 per ton. Pemilihan kontraktor untuk seluruh proses front-end engineering design maupun rancang bangun juga sudah melalui proses tender. ”Untuk itu kami siap diaudit,” ujarnya.
Berdasarkan salinan steering committee 25 Mei 2007, Mitsubishi mengusulkan kepada steering committee untuk mempekerjakan Japan Gas Corporation sebagai kontraktor front-end engineering design. Perusahaan Jepang itu juga mengusulkan agar Japan Gas harus ditunjuk sebagai kontraktor rancang bangun. Mitsubishi menekankan pentingnya memilih kontraktor yang sama, baik untuk front-end engineering design maupun rancang bangun. Cara ini bisa ditempuh dengan penunjukan langsung, tapi Medco mengingatkan langkah itu melawan hukum.
Namun, berdasarkan hasil steering committee 14 Juni 2007, hanya Japan Gas Corporation yang dijadwalkan memasukkan seluruh proses penawaran front-end engineering design. Padahal badan hukum konsorsium belum dibentuk karena kesepakatan pemegang saham baru ditandatangani antara Petral— mewakili Pertamina—Medco, dan Mitsubishi pada Desember 2007. Pertamina beralasan, sah-sah saja bila sebagian proses itu dilakukan oleh steering committee sambil menunggu PT Donggi Senoro terbentuk.
Keterlibatan Petral dalam konsorsium tak lepas dari keputusan bekas Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno agar perusahaan itu jadi pemegang saham di perusahaan patungan yang dibentuk. Masuknya Petral, anak usaha Pertamina yang biasa mengurus impor minyak mentah, kata Karen, tidak perlu diributkan. ”Itu tindakan korporasi biasa, bukan perkara penting,” katanya. Kebetulan saat itu Petral lebih siap menyiapkan dana.
Dalam surat kepada Presiden Yudhoyono, Karen berharap pemerintah segera menyetujui penjualan gas dari lapangan Senoro Toli dan Matindok kepada PT Donggi Senoro. Ia minta dukungan Presiden Yudhoyono agar Donggi-Senoro dikembangkan dengan skenario ekspor dan domestik.
Karen juga meminta agar Pertamina dibebaskan dan diberi ganti rugi dari segala kewajiban—baik dari pemerintah, mitra konsorsium, maupun kontraktor—atas segala biaya yang telah dikeluarkan dalam kegiatan persiapan proyek. Surat serupa juga dikirim Darmoyo Doyoatmojo, Presiden Direktur Medco Energi, kepada Presiden Yudhoyono.
Selain mengirim surat ke Presiden, Medco juga menanyakan nasib Donggi Senoro kepada Jusuf Kalla. Selasa pekan lalu, Arifin Panigoro—pendiri Medco—menemui Kalla di kantor Wakil Presiden. Setelah pertemuan itu, Arifin mengatakan kesepakatan tengah dipelajari semua pihak, termasuk Wakil Presiden. Dia berharap penjualan gas diizinkan pemerintah.
Kalla mengaku, Arifin menyampaikan beberapa saran. ”Tapi harga bukan soal,” ucapnya. Yang jadi soal adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ia mengatakan tidak bisa mengubah keputusan karena Presiden sudah setuju. ”Tapi bila Presiden membuat keputusan lain, silakan,” katanya.
Ia percaya keputusan itu tidak akan mempengaruhi iklim investasi. Justru bila ketahanan energi tercapai, investasi naik dengan sendirinya. Pertamina maupun Medco, kata dia, tidak perlu khawatir kehilangan pendapatan meski gas batal dijual ke luar negeri. ”Justru saya membantu Medco dan Pertamina agar bisa lebih hemat membangun kilang,” katanya.
Ihwal pembiayaan dalam negeri juga Kalla juga sudah mengupayakannya. Bank Mandiri, kata Kalla, siap membantu. Dalam surat kepada Kalla awal Juli lalu, Direktur Utama Agus Martowardojo menyatakan Bank Mandiri bersama bank nasional lain siap berpartisipasi membiayai proyek gas alam cair demi mengamankan kebutuhan nasional. Nilai dana yang disiapkan US$ 1 miliar. Bank pelat merah itu telah menandatangani kerja sama dengan Agence Francaise de Developpement (AFD), lembaga pembiayaan milik pemerintah Prancis, yang biasa mendanai proyek ramah lingkungan.
Menurut Karen, Pertamina tidak menutup diri memakai sumber pembiayaan dari dalam negeri asalkan syaratnya tidak memberatkan. Begitu pula dengan pemakaian kontraktor lain untuk pembangunan kilang, sepanjang teknologinya sudah terbukti. ”Jangan sampai proyek ini jadi ajang trial and error, tapi di kemudian hari plant tidak berfungsi,” katanya.
Kini Pertamina hanya pasrah menunggu keputusan pemerintah. Sambil menunggu, Kepala Bisnis LNG Pertamina Hari Karyuliarto pergi ke Jepang menemui Chubu Electric, Kamis pekan lalu. Ketika dihubungi, Hari menolak berkomentar tentang hasil pertemuan itu. Tapi sumber Tempo mengatakan, Hari meminta Chubu tidak mundur. ”Chubu juga minta penurunan harga, apalagi Kansai sudah mundur.” Bola panas siap berpindah ke pemerintahan baru.
Yandhrie Arvian
Profil Proyek LNG
PT Donggi Senoro LNG akan membangun kilang gas alam cair di Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Pasokan gas akan diambil dari lapangan Donggi sebesar 50 mmscfd, Matindok 20 mmscfd, serta lapangan Maleoraja dan Minahaki 15 mmscfd.
Konsorsium PT Donggi Senoro LNG:
Cadangan pasti: 2,05 triliun kaki kubik (sertifikasi Lemigas 1,45 triliun kaki kubik)
Kapasitas: 2 juta ton per tahun
Pembeli: Chubu Electric Power dan Kansai Electric Power (2013-2028)
Investasi: US$ 1,6 miliar
Potensi pendapatan negara: US$ 6,4 miliar (pada harga minyak US$ 70 per barel)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo