Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM kemarau seperti sekarang adalah saat yang sulit bagi Suyadi. Setiap hari ia mesti menempuh jarak satu kilometer, melintasi bukit-bukit kapur, menuju telaga yang mengering dan airnya keruh. Setiap kali pergi, ia membawa jeriken berukuran 20 liter.
Suyadi, warga Desa Melikan, Kecamatan Rongkop, di selatan Kabupaten Gunung Kidul, tak punya pilihan lain. Air adalah kebutuhan vital setiap saat. Ironisnya, justru sumber kehidupan itu tak mudah didapat di desanya. ”Karena wilayah kami jauh dari sumber air, harga jadi mahal,” katanya. Perusahaan Daerah Air Minum menjual satu tangki berkapasitas 5.000 liter seharga Rp 250 ribu. Padahal, air sebanyak itu hanya cukup memenuhi kebutuhan lima anggota keluarganya selama dua minggu.
Kesulitan air memang ritual tahunan bagi penduduk di kawasan selatan Gunung Kidul, Yogyakarta. Pada musim kemarau sepanjang Juli hingga Oktober—manakala persediaan air yang ditampung selama musim hujan habis— kekeringan merambat jauh ke utara, meliputi 16 dari 18 kecamatan di kabupaten berpenduduk 650 ribu jiwa itu. Profil daratan yang separuhnya, sekitar 700 ribu kilometer persegi, merupakan pegunungan kapur (karst) membuat warga harus menggali lebih dari 50 meter untuk memperoleh air. Di kedalaman itulah terdapat jaringan sungai bawah tanah yang airnya melimpah-ruah.
Air sungai itulah yang akan dipompa ke permukaan tanah dan digelontorkan ke 38 ribu keluarga, mulai bulan depan, setelah proyek Bribin II di Kecamatan Semanu mulai dioperasikan. Bribin II adalah pembangkit listrik bertenaga air (mikro hidro). Listrik yang dihasilkan dipakai untuk mengangkat air dari bawah tanah ke permukaan. Jadi Bribin II adalah pembangkit listrik sekaligus pompa air.
Bribin II dibangun lantaran proyek pendahulunya, Bribin I, dianggap tak efisien. Bribin I memakai setrum dari PLN atau solar sebagai penggerak pompa. Akibatnya, biaya produksi dan perawatannya tinggi. Sebagai gambaran, Bribin I hanya mampu menyedot 80 liter per detik, dari total debit sungai 750 liter per detik. Masa kerjanya pun terbatas. Pompa Bribin I, juga pompa-pompa lainnya, hanya beroperasi satu hingga empat jam per hari. ”Karena biaya listrik dan solar yang tinggi, jadi tidak efisien,” kata As Natio Lasman, Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir yang ikut merancang Bribin II.
Menurut As Natio, operasi pompa Bribin I menghabiskan 2.800 liter solar per empat jam. Dengan harga solar Rp 5.000 per liter, uang yang dikeluarkan Rp 14 juta. Jika generator pembangkit rusak, solar diganti dengan pasokan listrik PLN. ”Abonemennya Rp 32 juta per bulan,” kata As Natio.
Akibatnya, harga air yang dijual ke masyarakat pun melambung, Rp 100 ribu per satu mobil tangki. Harga ini meningkat hingga dua setengah kali lipat pada puncak musim kemarau. Padahal, sebagai perbandingan, harga air PDAM di Yogyakarta Rp 1.500 per meter kubik. Artinya, satu tangki air hanya Rp 7.500.
Inilah yang membuat As Natio merancang proyek Bribin II. Teknologi pembangkit listrik mikro hidro dipilih karena sumbernya melimpah-ruah. Di bawah permukaan karst Gunung Kidul terdapat tujuh sungai: Bribin, Ngobaran, Seropan, Baron, Grubug, Toto, dan Sumurup. Dari tujuh sungai bawah tanah itu, baru empat yang sudah dimanfaatkan, yaitu Seropan, Bribin, Ngobaran, dan Baron. Semua sungai itu rata-rata mempunyai debit air 2.000 liter per detik. ”Saya ingin membuat kolam renang, untuk mengubah image Gunung Kidul yang kering,” kata As Natio.
Gagasan itu disampaikan ke pakar hidrologi dan teknik sipil asal Jerman, Franz Nestmann, pada Februari 2000. ”Waktu itu kami bertemu di acara pertemuan alumni Jerman di Yogyakarta,” katanya. Nestmann rupanya tertarik. Ia bahkan mengupayakan dana dari kementerian pendidikan dan riset di negerinya. Ia berhasil. Proyek Bribin II pun dimulai, yang melibatkan, antara lain, Universitas Karlsruhe (kampusnya Nestmann), Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pembangunan proyek diawali dengan pencarian lokasi ”bendungan” yang tepat di bawah tanah. Tim ahli dari berbagai lembaga itu menggunakan teknologi perunut yang memakai zat radioaktif dari berbagai arah percabangan sungai bawah tanah. Sekitar 700 meter dari Gua Bribin, tim mendapatkan lokasi yang cocok. Selanjutnya koordinat lokasi tersebut dicari di permukaan tanah untuk memastikan lokasi pengeboran. Lubang yang dibor bergaris tengah 2,4 meter, untuk menurunkan material pembangunan bendungan sekaligus untuk keperluan instalasi sistem pembangkit energi dan pompa-pompa airnya.
Pengeboran awal untuk menguji ketepatan perhitungan lokasi dilakukan dengan diameter mata bor tujuh inci, menembus dinding atas sungai. Pengeboran ini meleset 1,5 meter. Perbaikan perhitungan pun dilakukan kembali. Kemudian, pengeboran uji yang kedua pada lokasi bendungan dilakukan lagi dan berhasil menembus langit-langit di atas sungai. Kali ini meleset 20 sentimeter dari perhitungan. Setelah lokasi bendungan pada arah vertikal tersebut—tingginya 104 meter—diketahui, maka dilakukan pengeboran dengan lubang berdiameter 2,4 meter oleh tim ahli dari Jerman.
Menurut wakil Universitas Karlsruhe Jerman untuk Bribin II, Sholihin, pembangunan fisik proyek itu baru dimulai lima tahun lalu. Sempat terhenti akibat gempa pada 2006, lalu kembali dilanjutkan dua tahun kemudian.
Rupanya, lindu itu juga membuat sebuah batu besar menutup aliran air di hilir, setelah lokasi bendungan, kata As Natio. Batu tersebut harus diledakkan agar air sungai kembali mengalir lancar. ”Pengeboman itu harus dilakukan hati-hati supaya tidak ikut meledakkan dinding sungai dan membuat aliran baru,” katanya. Jika dinding sungai rusak, pembuatan bendungan bawah tanah terancam batal.
Di dalam rongga sungai, dibuat bendungan setinggi 15 meter untuk menahan air. Pada dinding tanggul terpasang lima pipa bergaris tengah 70 sentimeter yang menjadi saluran air untuk menggerakkan turbin penghasil tenaga untuk mengoperasikan pompa air.
Di bagian bawah bendungan, ada dua pipa berdiameter 90 sentimeter dan 60 sentimeter. Pipa tersebut berfungsi sebagai pengontrol ketinggian air. Supaya air tak melebihi tinggi tanggul bendungan, katup pipa akan membuka secara otomatis. Sebaliknya, jika air kurang dari ketinggian 15 meter, katup akan menutup dengan sendirinya. Pipa kontrol air itu sangat diperlukan karena, jika permukaannya sedang tinggi, dikhawatirkan air akan mencari jalan lain atau membuat gua sendiri. Agar air tak membuat rongga baru, dinding gua harus disemprot dengan beton, dan tiang penyangga dipasang.
Ketika Tempo memasuki sungai di bawah tanah sedalam 104 meter tersebut, pekan lalu, lima turbin tenaga mikro hidro yang didatangkan dari Jerman sudah terpasang dan siap beroperasi. ”Semua pompa tidak menggunakan daya listrik dari luar. Tenaga listrik didapat dari turbin yang digerakkan oleh air,” kata Sholihin.
Pengawas Proyek dari Dinas Pekerjaan Umum Gunung Kidul, Zuari Nancik, mengatakan kelak operasionalisasi Bribin II akan ditangani oleh PDAM daerah itu. Berarti, mulai bulan depan Suyadi tak perlu lagi menyusuri pegunungan kapur sepanjang satu kilometer untuk 20 liter air.
Adek Media, Muh. Syaifullah (Yogyakarta)
Pertama di dunia
Pemompaan air tanah dengan kedalaman hingga seratus meter bukan pertama kali di dunia, tapi sumber tenaga yang digunakan berasal dari air yang dipompa baru terjadi di sungai bawah tanah Bribin, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Pada kedalaman 104 meter, kontraktor membangun bendungan yang airnya disalurkan untuk menggerakkan turbin. Turbin akan menghidupkan generator penyuplai daya untuk pompa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo