PELNI kini berlayar dengan nakoda baru. Dari tangan Sudharno Mustafa, yang "didaratkan" 8 September lalu, kemudi perusahaan pelayaran yang membawa bendera negara itu sekarang dipegang Roesman Anwar. Dugaan-dugaan mengenai soal apa yang menyebabkan pimpinan Pelni dipindahtangankan lima bulan lebih cepat sudah luas dibicarakan. Dari perkara kapal feri Kerinci di Balikpapan, yang tiga hari menjelang Lebaran lalu mengangkut penumpang hampir dua kali lipat dari kapasitas, sampai soal sikap ogah-ogahan melaksanakan proyek pelayaran perintis. Tapi, mengingat bahwa tangan dingin Sudharno, 57 tahun, sudah berhasil menyelamatkan bahtera nasional itu dari bahaya karam dan kandas diterpa kerugian dan bahkan sudah mulai untung sekitar Rp 4 milyar tahun silam -- spekulasi yang menyudutkan Sudharno berhadapan dengan Dirjen Perla, J.E. (Fanny) Habibie, agaknya tidak layak ditiup-tiupkan. Yang penting bagaimana Pelni selanjutnya. Satu hal, keputusan alih kemudi itu sendiri telah diketahui Sudharno sejak awal Juni lalu, ketika ia dipanggil Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin. Jadi, tidak mendadak. Bahkan Fanny, Jumat pekan lalu, mengatakan kepada TEMPO, "Saya sangat hormat kepada Sudharno. Dan saya tidak bisa bilang bahwa dia tidak sukses. Konsolidasi Pelni di tangannya telah selesai dengan mulus." Tentang kasus Kerinci di Balikpapan, Dirjen yang gemar membubuhkan wewangian eau de toilette Yves Saint Laurent di baju safarinya ini mengatakan bahwa Pelni harus memberi contoh sebagai pengangkut yang tertib kepada kapal-kapal kecil milik swasta. "Sebagai penanggung jawab pcrhubungan laut, di mana moral saya kalau hanya menggebrak kapal-kapal kecil supaya taat, sementara di muka hidung saya sendiri terjadi pelanggaran? Ada sistem yang harus ditaati bersama." Sedangkan mengenai proyek pelayaran perintis -- keharusan Pelni melayarkan kapal-kapalnya ke rute kurus -- Dirjen Fanny menyatakan, "Sebagai perusahaan milik negara, Pelni tak seharusnya berpikir untung-rugi melulu, apalagi jika harus melaksanakan tugas demi merangsang kegiatan ekonomi di pelbagai pelosok wilayah RI." Konon, meskipun Sudharno pernah mengatakan "senang saja menerima tugas negara", ketika menerima proyek yang semula dikelola langsung Direktorat Jenderal Perhubungan Laut itu, ia sempat bimbang melihat kalkulasinya. Ada 14 kapal (350 DWT- 1.500 DWT) yang harus menembus jalur baru ke 162 pelabuhan di wilayah Nusantara. Dari jalur Pulau Enggano-Sibolga sampai ke Pulau Miangas -- yang penduduknya hanya 500 orang -- di dekat perbatasan dengan Filipina. Untuk 12 bulan, biaya operasi dianggarkan Rp 6,72 milyar, sementara uang masuk diperhitungkan cuma sekitar Rp 993,7 juta. Tugas negara yang memang berat dipikul. Beban itu sekarang harus digendong Roesman Anwar -- di samping dua kewajiban lain: melaksanakan angkutan penumpang secara tertib dan melancarkan armada laut secara saksama. "Sekarang saya tinggal melanjutkan saja," kata Roesman, di ruang kerjanya yang masih dipenuhi karangan bunga ucapan selamat. "Yang perlu ditingkatkan, ya, akan saya usahakan. Saat ini saya baru mempelajari situasi." Tentu tak sulit bagi Roesman, 50 tahun yang sudah 21 tahun kenal ombak dan badainya dunia pelayaran. Merintis karier sebagai pengumpul data statistik di Bahtera Adiguna, selepas dari FE-UI, lelaki penggernar olah raga jalan cepat ini terus bertahan di perusahaan yang sama: 10 tahun sebagai irektur usaha dan terakhir sebagai direktur utama. Pernah menerjemahkan salah satu cerita pendek A. Chekov ketika masih duduk di SMA Kanisius Jakarta, Roesman Anwar sebenarnya punya cita-cita yang sama dengan kakaknya, Rosihan Anwar ingin jadi wartawan. Ganti haluan setelah jadi mahasiswa. "Tadinya saya mengira seumur hidup, tau sampai masa pensiun, akan di Bahtera diguna. Eh, tiba-tiba ditunjuk untuk memimpin Pelni," katanya. Bon voyage. Mohamad Cholid, Laporan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini