SIAPA menyangka, krisis Teluk akan berlarut-larut. Siapa menduga, harga minyak terlonjak tinggi. Anggota DPR mengharapkan rezeki minyak dimanfaatkan untuk kenaikan gaji pegawai negeri, sedangkan tiga ahli ekonomi di bawah ini mengajukan alternatif lain. DORODJATUN KUNTJORO-JAKTI, 50 tahun, doktor lulusan Universitas Berkeley, California, AS. Kini Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi UI dan staf pengajar program magister. Dengan asumsi harga minyak 25-30 dolar per barel, estimasi dampaknya pada anggaran kita adalah tambahan 6,4 milyar dolar. Sebaliknya, harga minyak juga bisa turun bila krisis Teluk mereda dan terjadi pelepasan cadangan minyak oleh Jepang dan Amerika. Tapi saya pikir, hal itu tak akan terjadi. Amerika pasti belajar dari dua kasus minyak terdahulu. Apalagi, dalam tempo dua bulan, Amerika harus menurunkan ratusan ribu pasukan di Teluk. Ongkosnya mahal sekali. Mungkin Amerika tak akan meninggalkan Teluk, bahkan pasukannya di Filipina bisa ditempatkan di sana. Mungkin juga di Turki atau Arab Saudi. Bahkan NATO bisa kerja sama dengan Soviet untuk menjaga kawasan itu. Jadi, ketegangan di Teluk tak akan usai. Pelajaran lain dari krisis minyak akan dipetik oleh negara bukan penghasil minyak. Jika dulu mereka tak punya stok sekarang tentu memikirkan hal itu. Sedangkan negara yang sudah punya stok tentu akan menambah stok minyaknya. Jadi, harga sekarang ini tak akan turun, bahkan saya ramalkan akan berlanjut sampai akhir dasawarsa ini. Buat Indonesia, ini berarti boom minyak lagi. Masalahnya sekarang pendapatan minyak itu akan diapakan. Jangan karena prinsip anggaran berimbang, kita terpengaruh untuk menghabiskan pendapatan ini. Kalau rezeki itu untuk penyertaan modal badan usaha milik negara (BUMN), bisa inflasi. Ini terjadi pada boom minyak terdahulu sehingga kita harus menjadwalkan proyek-proyek besar pada 1982. Pengalaman saya mengajarkan bahwa kesempatan besar hanya datang tiga kali. Kita sudah mengalami kelimpahan minyak dua kali dan kita salah memanfaatkannya. Ini kesempatan ketiga, dan saya pikir ini kesempatan terakhir yang diberikan Tuhan. Kalau kita salah memanfaatkan, tak ada kesempatan lagi bagi kita. Yang paling baik adalah untuk proyek Inpres, yang telah terbukti merupakan strategi yang tepat. Tapi harus ada tindakan lain agar tak ada efek inflasinya. IWAN JAYA AZIS, 37 tahun, doktor lulusan Universitas Cornell, AS. Sekarang menjabat Kepala Jurusan Studi Pembangunan FE UI dan Ketua Pusat Antar-Universitas Bidang Ekonomi. Soal ke mana rezeki minyak itu akan dialokasikan, saya hanya bisa memberi analisa. Mana yang paling baik, itu tergantung Pemerintah, setelah memperhitungkan aspek politis, misalnya pemilu. Ada beberapa alternatif, salah satu untuk proyek Inpres. Kalau dihubungkan dengan bahaya inflasi, proyek Inpres juga punya bahaya inflasi karena meningkatkan daya beli kelas menengah ke bawah. Tapi saya tidak khawatir dengan efek inflasi dari proyek Inpres. Dalam jangka pendek, bisa terjadi inflasi, tapi, dalam jangka menengah dan panjang, Inpres justru meningkatkan sektor produksi. Hasil studi saya menunjukkan, kalau Inpres dinaikkan, yang paling beruntung adalah kelas menengah ke bawah. Ini segi positifnya. Selain itu, harus dipilih Inpres yang mana. Jangan lagi membangun sekolah. Pilih Inpres yang membangun infrastruktur. Inpres kan terbagi dua, perangkat keras dan lunak. Perangkat keras misalnya membangun jalan dan jembatan. Perangkat lunak misalnya peningkatan jasa puskesmas, bukan membangun puskesmasnya. Kalau kita gunakan rezeki minyak untuk membayar utang, memang efeknya terhadap inflasi berkurang. Tapi ingat, produktivitas juga menurun karena tak ada yang diproduksi. Alternatif lain, menaikkan gaji pegawai negeri. Jelas, ada efek inflasinya dalam jangka pendek. Tapi pegawai negeri itu kan sumber daya manusia. Kalau kita berani bikin asumsi bila gaji naik maka produktivitas naik, kenaikan gaji itu bisa punya efek menaikkan produktivitas dalam jangka menengah dan jangka panjang. SUHADI MANGKUSUWONDO, 62 tahun, guru besar Fakultas Ekonomi UI, Doktor lulusan Universitas Berkeley, AS. Pernah menjabat sebagai Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Kalau dibilang ada pendapatan tambahan dari minyak sekitar 500 juta dolar bila ada kenaikan satu dolar selama setahun, mungkin itu termasuk penerimaan dari gas. Saat dialokasikan, harus memperhitungkan dua hal, inflasi dan neraca pembayaran. Sebenarnya, sebelum Irak menyerang Kuwait, sudah ada tekanan inflasi karena pengeluaran dalam bentuk investasi dan pengeluaran swasta dalam bentuk konsumsi. Bank Indonesia sudah bertindak, dengan mengurangi kredit likuiditasnya untuk menekan pengeluaran, dan pada akhirnya mengendalikan tekanan harga. Di tengah usaha itu, tiba-tiba ada krisis Teluk. Saya kira, penerimaan boleh naik, tapi jangan sampai meniadakan usaha pemerintah untuk menstabilkan harga. Soal neraca pembayaran. Sekarang, debt service ratio (DSR) kita masih di atas 30 persen, bahkan dua tahun lalu mencapai 40 persen. Angka DSR ini kan mencerminkan kewajiban tak terhindarkan, yang membatasi ruang gerak kita untuk memanfaatkan pendapatan ekspor. Bila DSR tinggi, ruang gerak kita makin terbatas. Jadi, penting sekali mengurangi beban, apalagi dalam keadaan tak menentu seperti kini. Target pemerintah, DSR sekitar 25 persen. Menurut saya, sebaiknya di bawah 20 persen, paling baik 15-16 persen. Jadi, saya pikir alangkah baiknya bila sebagian tambahan pendapatan minyak dialokasikan membayar pokok utang luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini