Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bos IESR Sebut Indonesia-Cina Perlu Pertegas Komitmen Pengembangan EBT untuk Tarik Pendanaan Transisi Energi

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah Indonesia dan Cina perlu mempertegas komitmen pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

19 Oktober 2023 | 11.00 WIB

Direktur Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa (kemeja kotak-kotak biru), Ketua Dewan Pakar Asosiasi Surya Energi Indonesia (AESI), Nur Pamudji (kemeja putih) dan Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa (kemeja hitam) saat mengelar diskusi mengenai pemanfaatan energi surya di Indonesia, Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 1 Juli 2018. TEMPO/Dias Prasongko
Perbesar
Direktur Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa (kemeja kotak-kotak biru), Ketua Dewan Pakar Asosiasi Surya Energi Indonesia (AESI), Nur Pamudji (kemeja putih) dan Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa (kemeja hitam) saat mengelar diskusi mengenai pemanfaatan energi surya di Indonesia, Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 1 Juli 2018. TEMPO/Dias Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah Indonesia dan Cina perlu mempertegas komitmen pengembangan energi baru terbarukan (EBT) melalui Belt and Road Cooperation. Hal itu penting untuk mempercepat transisi energi.

"Komitmen tersebut juga harus terangkum pada strategi dan program jangka menengah maupun jangka panjang sehingga dapat menarik lebih banyak dukungan teknologi dan pendanaan transisi energi," kata Fabby melalui keterangan tertulis, Kamis, 19 Oktober 2023. 

Fabby mengatakan, transisi energi Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar US$ 100 miliar hingga 2030 dan US$ 1 triliun hingga 2060. Indonesia, kata dia, harus membangun 35 hingga 40 GW kapasitas energi terbarukan sekaligus mengakhiri operasi 9 GW pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kemudian, membangun ribuan kilometer transisi dan interkoneksi serta energy storage.

"Karena itu, kerja sama transisi energi Indonesia dan Cina seharusnya fokus untuk mencapai target-target ini," ujar Fabby. Hal lain yang penting adalah menghijaukan proses ekstraksi mineral pada program hilirisasi Indonesia, yang banyak melibatkan pelaku usaha dari Cina. "Kami berharap adanya satu program komprehensif."

Fabby juga menuturkan, kerja sama dalam Belt and Road Initiative (BRI) dapat menjadi strategi pengembangan proyek percontohan EBT berskala besar. Dengan meningkatnya proyek EBT skala besar, kata dia, bisa menjadi peluang menggerakkan industri manufaktur EBT lainnya.

Lebih  lanjut Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, pemerintah Indonesia dan Cina juga dapat membicarakan upaya intervensi PLTU batu bara di Indonesia yang didukung pengembang Cina dengan total kapasitas 7,6 GW. Rinciannya, yaitu 3,8 GW sudah beroperasi; 2,9 GW dalam tahap konstruksi; dan 0,9 GW sudah ditandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL).

Deon berujar, dalam kajian IESR, minimal ada 9,2 GW PLTU yang perlu dipensiunkan dekade ini dan membangun pembangkit EBT untuk pengganti. Hal ini sebagai mana komitmen untuk menurunkan gas emisi. "Kemitraan Indonesia dan Cina ke depannya perlu mengeksplorasi bagaimana memfasilitasi pemilik aset 7,6 GW PLTU dari Cina dengan PLN dan pelaku bisnis Indonesia untuk mendiskusikan cara untuk mempensiunkan aset PLTU atau bahkan langsung menggantinya dengan energi terbarukan,” ujar Deon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus