Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lapindo Brantas Inc, cucu usaha dari Kelompok Usaha Bakrie, akhirnya kembali memperoleh izin eksplorasi dan eksploitasi di ladang minyak dan gas Blok Brantas yang berlokasi Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lapindo Brantas tak lain perusahaan yang terlibat dalam insiden semburan lumpur panas di Kecamatan Porong, Sidoarjo pada Mei 2006. Puluhan ribu rumah warga terendam lumpur dan ribuan jiwa mengungsi akibat malapetaka ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengumuman terkait perpanjangan disampaikan pada hari ini oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto. Di depan Djoko, Presiden Direktur Lapindo Brantas Faruq Adi Nugroho menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang telah merestui perpanjangan kontrak ini.
Faruq bahkan mengklaim perpanjangan ini telah didukung oleh masyarakat Sidoarjo. "Kami seperti keluarga dengan mereka (masyarakat Sidoarjo)" kata dia dalam acara pengumuman perpanjangan kontrak di Ruang Damar, Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat, 3 Agustus 2018.
Sebelumnya, kontrak pengelolaan ladang migas onshore dan juga offshore yang ada di Sidoarjo ini akan berakhir pada 22 April 2020. Untuk itu, para operator eksisting di Blok ini pun mengajukan izin perpanjangan kontrak kepada pemerintah mengikuti skema gross split atau bagi hasil kotor. Permintaan itu disetujui dan kontrak diperpanjang sampai 20 tahun ke depan hingga 2040.
Dengan demikian, Lapindo Brantas yang juga merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada ini, dan perusahaan lain kembali akan melakukan eksplorasi migas di lokasi yang tak jauh dari semburan lumpur panas ini. Ada tiga perusahaan eksisting yang akan melanjutkan eksplorasi dan produksi migas dengan komposisi, Lapindo Brantas 50 persen, PT Prakarsa Brantas sebesar 32 persen dan Minarak Labuan Co, Ltd sebesar 18 persen.
Faruq seperti menyadari bahwa citra perusahaannya tak bisa lepas dari insiden lumpur Sidoarjo. Tapi Ia mengingatkan bahwa insiden yang sempat masuk ke meja hijau ini telah memilik kekuatan hukum tetap. "Karena itu, akan panjang kalau diceritakan kembali," ujarnya.
April 2009, majelis halim Mahkamah Agung memang menolak kasasi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melawan Pemerintah dan Lapindo. YLBHI dan Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Panas Sidoarjo menggugat pemerintah dan Lapindo Brantas karena tidak serius dalam menangani dampak semburan lumpur. Dengan demikian, Lapindo pun dinyatakan menang dan tidak bersalah dalam kasus ini oleh MA.
Baca juga: 10 Tahun Lumpur Lapindo, Bupati Sidoarjo
Dalam kesempatan ini juga, Faruq menyampaikan bahwa Lapindo telah mencoba semaksimal mungkin merangkul masyarakat sekitar. Pendekatan dilakukan hampir di semua lini, mulai dari keagamaan, pendidikan, hingga olahraga. Tak hanya itu, kata dia, perusahaan juga membina hubungan baik dengan tokoh agama hingga kepala desa di lokasi bisnis mereka. "Kami sudah lebih menyatu," kata Faruq merespon adanya kekhawatiran soal penolakan masyarakat dan potensi terjadinya insiden serupa.