Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

BP Makan Buahnya, Pertamina Getahnya

Akibat kekurangan pasok gas di Jawa Timur, Pertamina merogoh duit Rp 1,4 triliun untuk solar. Inilah satu dari sejumlah sengketa bisnis yang diwariskan kroni Cendana kepada BUMN.

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Megawati bahwa pemerintahan Orde Baru banyak mewariskan "sampah persoalan" ke pemerintahan selanjutnya tidaklah berlebihan. Sengketa Pertamina dengan British Petroleum (BP) adalah contoh yang tepat. April ini, produksi gas BP dari lapangan Pagerungan, Kangean, Jawa Timur, hanya mencapai 226 juta kaki kubik per hari. Jumlah ini jauh di bawah kebutuhan gas provinsi itu yang 380 juta kaki kubik per hari. Ke-kurangan pasokan sekitar 154 juta kaki kubik itu langsung menjadikan gas sebagai barang langka di Jawa Timur. Kelangkaan gas itu pula yang memicu konflik antara Pertamina dan BP. Pertamina menilai BP gagal memasok 600 juta kaki kubik gas per hari, padahal sejak awal operasinya pada tahun 1990-an, BP telah diberi hak sebagai pemasok tunggal gas di Jawa Timur. Keadaan memburuk, karena selain BP gagal mengalirkan gas 380 juta kaki kubik per hari, perusahaan itu juga tidak mau memasok kekurangannya. Lebih tak masuk akal, justru Pertamina yang harus menutup kekurangan tersebut. Ada apa? Ternyata dalam salah satu klausul kontrak antara BP dan Pertamina, tercantum kesepakatan bahwa jika tak mampu memenuhi kewajibannya, BP tidak terkena penalti. Justru Pertaminalah yang harus menanggung beban atas kekurangan gas tersebut. Effendi Situmorang, Direktur Manajemen Produksi Bagi Hasil Pertamina, mengakui bahwa akibat perjanjian yang timpang itu, kini Per-tamina harus menyiapkan dana sekitar Rp 1,4 triliun guna membeli solar, yang akan digunakan untuk menutup kekurangan gas di Jawa Timur sepanjang tahun 2002. Kalangan industri yang memakai gas jadi panik. "Masalah gas ini telah berkembang cepat dan mengancam Jawa Timur," Kata Effendi. Diperkirakan, pada tahun 2005, produksi BP Kangean akan terhenti, karena deposit gasnya habis. Ini berarti bencana besar sudah menunggu di depan mata. Dari hasil rapat antara konsumen dan Pertamina awal April lalu, Perusahaan Gas Negara melaporkan, gara-gara kekurangan gas, sebagian dari 146 industri yang ada telah menghentikan operasinya. Sebagian lagi berencana memindahkan usahanya ke luar Jawa Timur. Sedangkan bagi PLN Jawa Timur, Power Jawa Bali, dan Petrokimia Gresik, penggantian gas dengan solar mengakibatkan biaya operasional naik. Toh Pertamina menyanggupi untuk menanggung beban yang timbul akibat krisis gas tersebut. Pertamina juga mengajak BP untuk negosiasi ulang isi kontrak. Sulit ditebak, apakah upaya Pertamina ini akan membawa hasil atau tidak. Menurut Effendi, Pertamina telah mengajukan dua opsi kepada BP, yakni mencabut hak istimewa BP sebagai pemasok gas tunggal di Jawa Timur atau memperpanjang kontraknya. Menanggapi tawaran Pertamina ini, Satya W. Yudha, direktur BP untuk urusan pemerintah dan masyarakat, menyatakan bahwa sejak awal BP tak pernah keberatan bila ada pihak lain yang memasok gas ke Jawa Timur. Buktinya, sewaktu Codeco dan Lapindo Brantas menyuplai gas ke sana sejak 1998, BP tak pernah melarangnya. Tetapi Satya enggan berkomentar ketika dikonfirmasi, mengapa Pertamina yang harus membayar kekurangan suplai gas, dan bukannya BP. "Sebaiknya saya tak berkomentar dulu, karena kita masih bernegosiasi dengan Pertamina," begitu alasannya. Dalam perundingan, BP mengajukan persyaratan yang berat. Perusahaan Inggris itu setuju untuk dicabut hak monopolinya, tapi sebagai kompensasi, BP diberi perpanjangan kontrak selama 20 tahun untuk mengelola lapangan gas Terang-Sirasun. BP juga ingin agar bagi hasil antara Pertamina dan kontraktor diubah, karena BP ingin jatahnya lebih besar dari 30 persen (selama ini 70 persen untuk Pertamina dan 30 persen kontraktor). Syarat lainnya, BP meminta ganti rugi atas biaya perbaikan jaringan pipa Kangean-Gresik senilai US$ 15 juta. Syarat yang menjebak itu tentu sukar diterima oleh Pertamina. Kardaya Warnika, salah satu staf ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan bahwa saat ini pemerintah masih mempelajari usul BP. Tetapi pemerintah menolak permintaan BP agar jatah bagi hasil untuk kontraktor diperbesar. Menurut Kardaya, secara prinsip hak istimewa BP untuk memasok gas ke Jawa Timur sebesar 600 juta kaki kubik per hari telah dicabut. Yang sekarang dibahas adalah amandemen kontrak berkaitan dengan pen-cabutan itu. Untuk ganti rugi perbaikan pipa sebesar US$ 15 juta yang diminta BP, Pertamina hanya menggantinya US$ 7 juta. Sebenarnya tidak cuma Pertamina yang terbebani, tapi juga Bimantara Citra. Tapi, bila ditelusuri ke belakang, Bimantara juga punya andil dalam krisis gas yang menimpa Jawa Timur ini. Ceritanya dimulai pada awal 1980-an, ketika Arco ingin menggarap lapangan Kangean. Untuk itu Direktur Utama Pertamina, Faisal Abda'oe, menunjuk Bimantara Citra sebagai mitra lokal Arco. Selain itu, Arco juga menggandeng BP. Dari kongsi ketiga perusahaan inilah, lahir Atlantic Richfield Bali North Inc. (ARBNI). Di sini Arco memiliki 41 persen saham, BP 49 persen, dan Bimantara 10 persen. Menurut Muhammad Zein, salah satu pejabat Pertamina saat itu, Bimantara mendapat jatah 10 persen saham ARBNI secara gratis alias saham kosong. Hal ini dimungkinkan karena lobi Bambang Try sendiri ke Pertamina. "Siapa yang berani menolak Bambang saat Soeharto masih berkuasa," ujar Zein. Bambang juga meminta agar Pertamina memberi hak istimewa pada ARBNI sebagai pemasok tunggal gas di Jawa Timur, dengan kapasitas 600 juta kaki kubik per hari. Padahal, konsumsi gas saat itu baru 300 juta kaki kubik. Setelah "menekan" Pertamina, Bimantara bergerak cepat mencari pelanggan. Ketika ARBNI mulai beroperasi pada 1990, beberapa perusahaan dan BUMN besar di Jawa Timur telah tercatat sebagai pelanggan tetapnya. Sebut saja PLN Jawa Timur dan Power Jawa Bali, yang "dipaksa" membeli gas 300 juta kaki kubik per hari. Perusahaan Gas Negara juga diwajibkan membeli sekitar 80 juta kaki kubik, sedangkan Petrokimia Gresik membeli 60 juta kaki kubik. Cerita ini dibenarkan oleh salah seorang pejabat PLN Jawa Timur yang enggan disebut namanya. Katanya, "Seingat saya, PLN Ja-Tim memang pernah diharuskan membeli gas dari Arco (ARBNI, maksudnyaā€”Red.) dengan harga di atas harga standar Pertamina. "Tetapi berapa tepatnya selisih harga tersebut, saya tak ingat." Bimantara juga me-mark up biaya proyek pemasangan pipa Kangean-Gresik sepanjang 470 kilometer, khususnya proyek pipa darat Trans Java Pipeline. Menurut laporan Wall Street Journal pada 1998 lalu, nilai proyek sebenarnya cuma US$ 250 juta, tapi Bimantara menggelembungkannya hingga US$ 400 juta. Namun Bimantara tetap saja dianggap berbaik hati, karena ia tak menikmati proyek ini sendirian, tetapi membagi-baginya dengan sejumlah yayasan milik Cendana. Hal ini dikonfirmasi TEMPO kepada Joseph Dharmabrata, Direktur Utama Bimantara, tapi pihak ini belum bisa memberikan tanggapan apa-apa. Kerja "gotong-royong" dalam proyek pipa Kangean ternyata tidak membuat proyek ini lebih cepat selesai, malah sebaliknya, terlambat 1,5 tahun dari jadwal. Selain itu, ARBNI tak bisa memakai jaringan pipa tersebut, karena menurut Arco kualitas pipa dan keamanannya di bawah standar. Mau tak mau Arco harus merogoh duit US$ 15 juta untuk memperbaiki jaringan pipa. Dan untuk ini Arco meminta ganti rugi. Kebetulan, karena pada tahun 2000 BP mengakuisisi Arco, ongkos perbaikan US$ 15 juta kini ditanggung BP. Pada saat bersamaan, Bimantara juga melepas 10 persen kepemilikan sahamnya di BP. Kemudian, ARBNI berubah nama menjadi BP Kangean. Dan di Kangean ini, hanya satu tahun BP memegang monopoli. Awal 2001 lalu, masa panen lapangan gas itu menyusut. Dengan kontrak yang menguntungkan pihaknya, BP membiarkan Pertamina membersihkan "getah kroni Cendana" dengan cara menutup kekurangan pasok gas tersebut. Ongkosnya pun tidak murah, karena mencapai Rp 1,4 triliun. Iwan Setiawan, Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus