OPTIMISTIS dengan pencairan utang lunak dari Dana Moneter Internasional (IMF), Menteri Keuangan Boediono juga khawatir menghadapi rencana pemerintah daerah untuk menerbitkan surat utang. Sikap mendua ini rupanya tak terelakkan lagi. Sebagai penjaga gawang fiskal pemerintah pusat, Boediono siap membuat utang baru, tapi di sisi lain ia mencegah agar pemerintah daerah tidak meniru perbuatannya.
Kebutuhan daerah mencari utang tentu seiring dengan denyut otonomi dan tantangan yang mereka hadapi. Jawa Timur, misalnya, berencana membangun 22 proyek, seperti jalan tol Pasuruan-Probolinggo, tol Surabaya-Jombang, Proyek Umbulan, dan Proyek Jembatan Surabaya-Madura. Biaya untuk proyek-proyek besar itu diharapkan bisa diperoleh dengan cara menerbitkan obligasi daerahābiasa disebut municipal bonds. Keinginan untuk membangun itu se-demikian mendesak, sampai-sampai Pemda Ja-Tim membentuk tim yang akan mengatur penjualan obligasi sekaligus pembayarannya saat jatuh tempo.
Pemda Bangka Belitung tak mau ketinggalan. Sebuah bank di Singapura kabarnya sudah bersedia memberikan pinjaman kepada provinsi balita ini untuk membangun kawasan industri dan pariwisata. Rencana yang sama disiapkan Pemda DKI Jakarta, yang akan membangun proyek jalan tol dan subway alias mass rapid transportation (MRT). Di belakang mereka, Aceh, Papua, Riau, dan Kota Solo juga antre untuk menerbitkan obligasi daerah.
Tapi hasrat daerah untuk menggaet dana itu tampaknya harus cepat dikendalikan. Dan itulah yang dilakukan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, yang melarang daerah mencari pinjaman, baik ke dalam maupun ke luar negeri, sampai 2002. "Kami hanya mengingatkan bahwa situasinya menghendaki kehati-hatian yang luar biasa. Pinjaman atau obligasi daerah itu tidak hanya memengaruhi keuangan daerah. Keuangan negara juga akan terpengaruh," kata Boediono.
Layakkah daerah menerbitkan obligasi? Menurut Robert Simanjuntak, peng-amat otonomi daerah, "Ada daerah yang layak, belum layak, dan tidak layak menerbitkan obligasi." Dasarnya, jika anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)-nya surplus, daerah itu layak mencari utang. Daerah yang layak me-nurut penilaian Robert adalah Jawa Timur.
Tapi itu baru penilain dari sisi APBD. Sebab, masih ada daftar panjang yang belum bisa dipenuhi oleh daerah untuk menerbitkan obligasi, seperti sistem keuangan yang transparan dan siap dipelototi setiap orang. Juga perlu ada kontrol yang ketat dan audit yang benar. Biasanya daerah merasa risi bila pusat mengaudit keuangan daerah. "Tidak ada lagi anggota DPRD jalan-jalan ke luar negeri memakai APBD dengan diam-diam," kata Robert.
Selain itu, laporan keuangan harus disusun sesuai dengan standar akuntansi, yang selama ini belum dilakukan. Standar akuntansi itu diperlukan untuk bahan audit akuntan publik dalam membuat opini. Nah, opini inilah yang akan menjadi bahan pertimbangan bagi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) untuk menolak atau memberikan izin bagi penerbitan obligasi.
Direktur Jenderal Perimbangan Ke-uangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan, Machfud Sidik, juga menegaskan bahwa utang daerah harus memperhatikan kepentingan nasional. Jangan sampai pinjaman itu berdampak pada neraca pembayaran, nilai tukar, tingkat bunga, inflasi, dan tenaga kerja. Masalahnya, "Pusat harus menanggung bila daerah gagal membayar utangnya."
Memenuhi syarat-syarat yang berat tentu tidak mudah. Mungkin karena itu pula, akhir tahun ini konon Menteri Keuangan akan mengeluarkan surat keputusan untuk memperpanjang masa pelarangan itu. Sampai kapan? Sampai kondisi fiskal pemerintah sudah aman. Dengan kata lain, obligasi pemerintah daerah masih harus mendekam dalam impian.
Larangan dari Jakarta itu menyebabkan gairah pemda jadi surut. DPRD Jawa Timur kabarnya belum menyetujui rencana penerbitan obligasi itu. Herly Sulistyo, anggota tim obligasi, juga mempertanyakan keseriusan rencana itu. "Saya melihat pemda tidak siap merealisasikan rencana besar itu. Tim pengkajian sudah dibentuk, tapi setelah ditinggal ketua tim yang juga wakil gubernur bidang ekonomi pembangunan, malah mandek," katanya.
Namun, Gubernur Ja-Tim Imam Utomo tetap optimistis. Katanya, penerbitan obligasi mesti jalan terus meskipun pemerintah pusat melarangnya. "Pemerintah provinsi tidak bisa bergantung pada dana alokasi umum (DAU). DAU kita sangat minim dan tidak mencukupi," katanya. Pasalnya, DAU yang diberikan hanya Rp 170 miliar. Padahal, untuk gaji pegawai saja, diperlukan dana Rp 756,6 miliar.
Dalam hal ini, sebaiknya Jakarta tidak memberlakukan larangan terhadap rencana obligasi secara pukul rata. Seperti kata Robert Simanjuntak, Jawa Timur layak untuk menerbitkan obligasi. Jadi, mengapa tidak?
Agus S. Riyanto, Adi Mawardi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini