Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) kembali mengusulkan agar pemerintah membatasi penyaluran solar bersubsidi. Kepala BPH Migas, Fanshurullah Asa, menyarankan agar pembatasan itu berlaku untuk kendaraan bermotor pengangkut hasil perkebunan, kehutanan, dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, kebijakan itu dimaksudkan untuk mencegah jebolnya kuota bahan bakar minyak bersubsidi. "Sebab, ada penyimpangan penyaluran subsidi untuk kendaraan tersebut," kata dia kepada Tempo. Timnya pernah menemukan kendaraan itu mengisi solar di sebuah SPBU, lalu segera mengosongkan tangki di tempat lain agar dapat kembali membeli bahan bakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendaraan lain yang diusulkan tak lagi mendapat BBM subsidi adalah kereta barang milik PT Kereta Api Indonesia (Persero). BPH Migas menemukan kereta barang yang memakai BBM subsidi justru mengangkut hasil tambang dari perusahaan asing. "Penggunaannya tak tepat sasaran," ujar Fanshurullah.
BPH Migas juga mengusulkan agar subsidi untuk kapal dengan ukuran di atas 10 gross tonnage (GT) tak lagi menikmati bantuan negara. Saat ini kapal berukuran hingga 30 GT berhak mendapatkan subsidi. Usul itu sejalan dengan permintaan Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti. Di lapangan, dia menemukan maraknya modus pemalsuan dokumen kapal di atas 30 GT agar dapat menikmati subsidi.
Fanshurullah menyatakan telah dua kali mengusulkan pembatasan penyaluran BBM subsidi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral selama 2019. Pada Agustus lalu, BPH Migas sempat mengeluarkan surat edaran untuk mengendalikan kuota solar subsidi. Salah satu poinnya adalah melarang kendaraan bermotor pengangkut hasil perkebunan, kehutanan, dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam menggunakan solar subsidi. Tapi edaran tersebut dicabut kembali dengan alasan mempertimbangkan kebutuhan pasar.
Pada 30 Desember lalu, Fanshurullah kembali menyampaikan usul tersebut kepada Menteri Energi Arifin Tasrif. Menurut dia, penyaluran solar subsidi pada 2020 berpotensi melebihi kuota hingga 700 ribu kiloliter dari alokasi 15,31 juta kiloliter.
Dia meminta pemerintah merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. "Revisi ini cukup dilakukan di tingkat Menteri Perekonomian, sehingga kami meminta kepada Menteri Energi untuk mendorongnya," kata dia.
Arifin Tasrif saat itu menyambut permintaan BPH Migas. "Tentu harus dibahas dan disempurnakan (aturannya)," ujarnya.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, berjanji akan turut mengawal penyaluran BBM subsidi tepat sasaran. Pertamina telah menerapkan digitalisasi terintegrasi mulai dari terminal BBM hingga SPBU. Salah satunya adalah memasang automated tank gauge untuk memantau volume BBM. Selain digitalisasi nozzle, Pertamina mendorong pembayaran non-tunai.
Saat ini Pertamina tengah mendorong SPBU mencatat nomor polisi kendaraan yang membeli BBM subsidi. "Kami memberikan insentif Rp 5 per transaksi untuk mencatat nomor polisi kendaraan," katanya. Insentif itu diberikan hingga 31 Januari 2020. Dengan pencatatan tersebut, Pertamina dapat melihat pola konsumsi konsumen.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia, Gemilang Tarigan, mengatakan angkutan hasil tambang, hutan, dan kebun, khususnya untuk perusahaan besar, telah dibatasi agar tak menggunakan BBM subsidi. "Tapi masih banyak kebocoran," katanya. Asosiasi menyerahkan penindakan dan pengawasan penyaluran BBM subsidi ini kepada penyalur di SPBU. VINDRY FLORENTIN
BPH Migas Kembali Ajukan Pembatasan Solar Subsidi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo