"PEMBELIAN cengkeh oleh KUD untuk sementara dihentikan." Pengumuman itu terpampang di pintu masuk KUD Giri Kencono, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.Petani Saminem, yang hari itu hendak menjual cengkehnya, terpaku. Tak terasa air matanya menetes. Mungkin bukan cuma Saminem yang kecewa. Ratusan bahkan mungkin ribuan petani cengkeh di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta resah pekanpekan ini. Sejak akhir Agustus lalu beberapa KUD di ketiga daerah itu memang sudah menghentikan pembelian cengkeh dari petani. Ada apa? Ternyata tak lain karena dibukanya loket cengkeh oleh Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Loket itu mulai beroperasi awal September ini. Melalui loket, BPPC langsung membeli cengkeh dari para petani. Kebijaksanaan baru ini tentu saja mengejutkan sebab, sesuai dengan SK Presiden Nomor 20 tanggal 11 April 1992, pembelian cengkeh petani dialihkan dari BPPC ke KUD. Ketentuan ini juga disetujui oleh BPPC. Tak aneh bila ada suara dari DPR yang menuduh bahwa pengoperasian loket BPPC nyata-nyata menyimpang dari peraturan yang berlaku. Serta merta Ketua Badan Cengkeh Nasional (BCN) Kumhal Jamil menyangkal tuduhan DPR dengan alasan bahwa loket BPPC itu cuma darurat saja. Yang jelas, jika BPPC membeli cengkeh langsung dari petani, fee yang diterima KUD tidak lagi Rp 250 tapi Rp 50 per kilogram. Namun dengan pengambil alihan ini tidak berarti riwayat KUD sudah tamat. Badan ini tetap menampung cengkeh dari petani -- terutama di daerah yang tanpa loket BPPC. Jika KUD tidak mampu menampung cengkeh, pembeliannya barulah dilakukan oleh BPPC. Menurut Sekjen BPPC Jantje Worotitjan, langkah tersebut terpaksa diambil karena pedagang pengumpul, yang sebagian besar berperan sebagai perpanjangan tangan pabrik-pabrik rokok, kini berubah jadi calo KUD. "Mereka menunggangi KUD dan melakukan pembelian dari petani," tuding Jantje. Apakah karena itu BPPC kembali mengurusi cengkeh? Entahlah. Yang pasti, harga yang diterima petani saat ini sama dengan harga sekilo cabai merah. Memangbukan soal itu saja yang menyebabkan BPPC turun lapangan. Pemicu lain adalah sering tersendatnya pembayaran oleh KUD. Kecurigaan BPPC itu mungkin ada benarnya. Di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, misalnya, permainan antara KUD dan pedagang pengumpul sudah bukan rahasia lagi. Di antara pedagang itu ada yang bernama Suhartoyo. Kabarnya,untuk melancarkan bisnisnya, Suhartoyo menempatkan orang-orangnya di tiga KUD. Dengan cara itu ia leluasa membeli cengkeh dari petani, memproses, hingga menjualnya kepada BPPC. Yang mengherankan lagi, Suhartoyo pula yang mengurus DO dan surat-surat dari BPPC. "Sejak KUD dilibatkan, harga malah turun terus," kata Nguyono, petani cengkeh di Kecamatan Dongko, Jawa Timur. Di daerah ini harga cengkeh memang cuma dihargai Rp 1.900. Mungkin karena itu, beberapa hari lalu KUD Dongko mendapat kado kotoran manusia. Kekesalan para petani cengkeh juga menjalar ke Kecamatan Pule. Mereka mencoreti kantor KUD di sana sebagai unjuk rasa. "KUD Pule adalah VOC," demikian bunyi coretan itu. Lantas apa kata KUD? Sebagian membantah isu kerja sama oknum KUD dengan pedagang pengumpul itu. Bahkan mereka balik menuduh bahwa jatuhnya harga cengkeh karena ulah BPPC sendiri. Selama ini mereka menjual cengkeh ke BPPCdengan harga Rp 4 ribu per kilogram -- setelah dipotong Rp 1.900 tabungan petani dan Rp 2.000 sebagai penyertaan Inkud. Padahal, sebelum dijual ke BPPC,cengkeh itu masih harus diproses lagi agar memenuhi standar 10/3 (10% kadar air dan 3% kotoran). Untuk biaya pemrosesan itu memang tidak ada cara lain selain menyunat harga yang diterima petani. "Kalau tidak begitu, KUD akan bangkrut. Jadi siapa bilang kami tidak becus," kata Sutrisno Hanfi, Ketua KUD I Giri Kencana, Girimulyo, Yogyakarta. Persoalannya memang tidak hanya di situ. Beberapa KUD juga sulit mendapatkan kredit dari BRI gara-gara BPPC terlambat membuka rekening di bank itu. Tak aneh bila kemudian pembayaran kepada petani juga macet. Persoalan lain adalah kecilnya jatah yang diberikan Puskud. Apa yang dialami KUD Anuta, Desa Saluun, Sulawesi Utara, bisa dikemukakan sebagai contoh.Setiap tahun KUD ini mendapat jatah pembelian 10 ton cengkeh. Sedangkan yang dihasilkan 1.300 anggotanya mencapai 1.500 ton cengkeh. Artinya, KUD ini hanyamampu menyerap 1%. Mereka juga sering menerima titipan cengkeh milik pejabat. "Setelah ditelusuri, eh, ternyata milik pedagang pengumpul," kata J. Rauan,pengurus KUD Anuta. Nah, dengan turunnya BPPC, apakah segala keruwetan birokratis itu bisa diatasi? Belum jelas, memang. Namun hampir bisa dipastikan, para pedagang pengumpul tidak akan tinggal diam. Apalagi BPPC hanya membuka loketnya dibeberapa tempat. Di Jawa Timur, misalnya, loket BPPC dibuka di Kota Malang dan Trenggalek. Karena terbebani ongkos, para petani di luar kedua daerah tadi tentu akan berpikir dua kali sebelum menjual cengkehnya ke loket BPPC. Di samping itu 80% cengkeh petani di Kabupaten Trenggalek sudah berada di tangan pedagang pengumpul. Dengan dibukanya loket di kota itu jelas yang akan diuntungkan adalah mereka. Jadi untuk apa? Itulah soalnya. Tapi Kumhal Jamil masih yakin bahwa loket BPPC bisa berfungsi. "Pokoknya, dengan dibukanya loket, bias-bias itu bisa dihindari," kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri yang juga ketua BCN ini. Tabik Pak Kumhal. Hasilnya ditunggu. Bambang Aji dan laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini