Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

BPS: Konsumsi Rumah Tangga Kontributor Utama PDB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

29 Agustus 2024 | 06.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan konsumsi rumah tangga menyumbang 55 persen dari total PDB dengan pertumbuhan yang tetap stabil pada kuartal kedua tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Terakhir pada kuartal ke-2 tahun 2024 konsumsi rumah tangga tumbuh 4,93 persen," kata Amalia dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI membahas asumsi dasar RUU APBN 2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari rincian konsumsi rumah tangga, sekitar 51,58 persen dialokasikan untuk kebutuhan makanan, sedangkan 48,42 persen lainnya digunakan untuk belanja non-makanan. "untuk yang non-makanan ini paling banyak masyarakat kita membelanjakannya untuk transportasi dan komunikasi," jelas Amalia.

Amalia juga menyinggung soal inflasi yang hingga Juli 2024 tercatat sebesar 2,13 persen secara tahunan. Meski inflasi nasional terjaga, ada beberapa provinsi yang mencatatkan inflasi di atas 3 persen, seperti Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Sulawesi Utara. Kondisi ini, menurut Amalia, sebagian besar dipicu oleh fluktuasi harga pangan bergejolak di wilayah-wilayah tersebut.

Inflasi yang lebih tinggi di beberapa provinsi ini didorong oleh komoditas pangan yang seringkali sangat terpengaruh oleh kondisi pasokan dan cuaca. Amalia menjelaskan, gangguan pada produksi pangan, seperti yang terjadi pada cabai rawit di wilayah Jawa akibat kekeringan, langsung berdampak pada lonjakan inflasi di berbagai daerah.

Pada Juli 2024 lalu, misalnya, curah hujan rendah terjadi di sebagian wilayah Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. "Curah hujan rendah ini ternyata sangat berdampak ke produksi hortikultura, seperti cabai rawit," kata Amalia.

Curah hujan yang rendah mengakibatkan sejumlah daerah yang merupakan sentra produksi cabai rawit dilanda kekeringan. Kabupaten Lamongan, Tuban, dan Kediri, adalah daerah yang harus gigit jari gara-gara anomali cuaca ini. Dampak kekeringan ini memperburuk kondisi pasokan yang kemudian memengaruhi harga di pasar.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus