HARI-hari ini rupiah bisa dinyanyikan lebih keras. Para bankir mengiming-imingi hadiah besar untuk memikat nasabah supaya bersedia menyimpan rupiah ke bank mereka. Lihatlah Bank Surya, yang menawarkan bunga 23% setahun dan berhadiah Mercedes Benz (untuk saldo di atas Rp 100 ribu). Kemudian BCA. Untuk saldo di atas Rp 1 juta atau transaksi senilai Rp 1 juta dengan rekening BCA, akan mendapatkan satu kupon berhadiah, juga Baby Benz 230 E. Rupiah jadi sangat istimewa, setelah Menteri Keuangan Sumarlin mengetatkan jumlah uang yang beredar melalui tangan Bank Sentral dalam bentuk SBI. Keputusan yang diumumkan Rabu dua pekan silam itu segera mendongkrak suku bunga deposito jadi 26% (dimulai oleh Bank Dagang Negara). Untuk deposito jangka waktu tiga dan enam bulan itu, bank pemerintah lainnya bahkan ada yang menawarkan 27%. Bahkan harga rupiah di pasar call money sempat melompat sampai di atas 40%. Para bankir memang keranjingan rupiah, setelah sebagian dari bank penyimpan deposito milik BUMN dananya terkuras, mengikuti keharusan membeli SBI. Bank Sentral praktis menggenggam kembali uang sekitar Rp 8 trilyun, dari deposito milik 12 BUMN. Untuk apa? Rupanya spekulasi devaluasi sudah membuat para pengambil keputusan di Dewan Moneter dan Bank Sentral tidak nyenyak tidur. Orang berbondong-bondong memburu dolar, begitu desas-desus akan adanya devaluasi mengeras. Rupiah tak menarik lagi. Akhirnya Presiden Soeharto sendiri yang menegaskan bahwa devaluasi tidak akan terjadi dan tingkat suku bunga akan segera turun kembali dalam waktu dekat. Menurut beberapa sumber, kabarnya, Kepala Negara sempat gusar pula terhadap perilaku para bankir yang terburu-buru mengerek suku bunga deposito sampai 27%. Para pejabat Bank Indonesia juga tak bahagia dengan kenaikan suku bunga yang diputuskan tergopoh-gopoh itu. Apalagi itu dilakukan oleh bank-bank pemerintah, yang oleh bank swasta masih dianggap sebagai lokomotif dalam menentukan suku bunga. Segera setelah penegasan Presiden, bunga deposito sudah mulai turun kembali. Bank Bumi Daya pada akhir pekan silam bahkan menawarkan bunga yang sedikit lebih rendah: 24% untuk deposito tiga dan enam bulan (yang setahun 22%). Sedangkan BDN dan BNI untuk jangka waktu yang sama masing-masing memberikan 27% dan 26%. Tentu saja efeknya belum terasa. Beberapa bank swasta sampai akhir pekan silam masih pasang bunga tinggi. Lippobank, misalnya, memberikan 27% untuk deposito sebulan dan tiga bulan (24% untuk yang setahun). Demikian pula Bank Internasional Indonesia (BII). Para pakar ekonomi bisa memaklumi jika pemerintah merasa gusar melihat perangai para bankir yang justru membuat masyarakat gelisah. Karena pada kenyataannya, kontraksi kali ini -- berbeda dengan tindakan serupa pada 1987 -- diikuti oleh tindakan ekspansif, yaitu dengan mengembalikan 75% dari yang ditarik itu ke bank-bank bersangkutan lewat instrumen SBPU. Selebihnya, yang 25%, akan dilepas lewat lelang. Ini artinya likuiditas masih tersedia. Hanya, penjatahan uang itu menjadi lebih selektif sekarang, seperti kata Kepala Urusan Pasar Uang dan Giralisasi BI Dahlan Sutalaksana kepada TEMPO. Para pejabat BI sendiri mengatakan, kebijaksanaan pengetatan sekarang (yang disebut sebagai "Gebrakan Sumarlin II") bukanlah gebrakan dalam arti seperti dulu. Kini tujuannya lebih merupakan cara untuk meningkatkan efektivitas BI sebagai pengendali moneter. Tentu saja ini juga kiat untuk menangkal desas-desus devaluasi yang, kabarnya, ditiupkan oleh kalangan bankir, khususnya swasta asing, menurut sumber TEMPO, yang berniat mengeruk keuntungan dengan fluktuasi nilai tukar dolar terhadap rupiah. Tapi bila Bank Sentral memang sangat perlu memperbesar kekuasaannya dalam pengendalian moneter, itu bukan cuma agar bisa menghantam para spekulan. Lehih dari itu, BI perlu alat lain untuk mengerem ancaman inflasi secara lebih efektif. Alat pengendali itu kelak akan ditambah dengan penciptaan secondary money market bagi SBI dan SBPU, yang menurut Dahlan Sutalaksana akan digencarkan dalam waktu dekat ini. Juga ketentuan adanya cadangan minimal bagi bank devisa akan dinaikkan dari 2%. Kabarnya, saat ini, beberapa bank sudah mencapai lebih dari 3%. Selama ini, BI rupanya memang masih perlu lebih canggih sebagai pengendali moneter. Seperti diungkapkan oleh Marjanto Danoesapoetro, bekas salah seorang direktur BI yang kini aktif di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. Kata Marjanto, kendati ada penarikan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) dan penjualan SBI untuk mengetatkan uang tahun lalu, kenyataannya malah terjadi ekspansi. Jumlah uang beredar ("uang" dalam arti luas, yang oleh para ahli disebut "M2") meningkat banyak, dari sekitar Rp 8 trilyun pada Januari 1990 menjadi lebih dari Rp 78 trilyun pada Oktober tahun itu -- suatu kenaikan lebih dari 33%. Pada periode yang sama, kredit perbankan meningkat cukup besar, hampir 45%. Sementara itu, posisi SBI pada November 1990 (yang terjual) hanya Rp 1,094 trilyun. Karena itu, pemerintah sulit mengerem inflasi untuk tetap di bawah dua digit. Hasilnya, inflasi tahun kalender 1990 hampir 10%. Seorang pejabat di kalangan moneter mengatakan, semua itu berkaitan erat dengan kredit-kredit yang dikeluarkan dengan mudah berdasarkan "bisikan" dari atas. Maka, kata pejabat itu, untuk menekan inflasi perlu juga dilaksanakan debisikisasi. Semua itu perlu bagi BI. Sebab, kalau sekadar menghantam spekulan yang memanfaatkan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar, itu mudah dengan tingkat suku bunga yang tinggi. Gubernur BI Adrianus Mooy memberikan contoh, betapa rupiah lebih menggiurkan. Misalkan Anda mempunyai Rp 1.927.000 dan ditukar US$ dengan kurs Rp 1.927, maka hasilnya US$ 1.000. Jika dolar ditabung dengan bunga 8%, pada akhir tahun akan menjadi US$ 1.080. Kalau depresiasi rupiah terhadap dolar rata-rata 5% setahun, kurs dolar jadi Rp 2.023. Jika deposito itu dirupiahkan kembali, hasilnya sekitar Rp 2.189.890. Tapi, uang semula Rp 1.927.000 itu akan menjadi Rp 2.928.020 kalau didepositokan dalam rupiah berbunga 26%. Atau menjadi US$ 1.200 dengan kurs Rp 2.023. Jadi, percayalah pada rupiah, kata Mooy. Jangan percaya pada sas-sus devaluasi. Apalagi sas-sus itu tak punya dasar. Cadangan devisa Indonesia sudah di atas US$ 10 milyar akhir Februari lalu, atau bisa untuk impor selama enam bulan lebih. Impor yang meningkat tak selamanya jelek, terutama kalau itu berupa barang modal dan bahan baku, kata pakar ekonomi Suhadi Mangkusuwondo. Di samping itu, naiknya ekspor nonmigas pada 1990 sebesar 8,3% (terhadap 1989) masih bisa diharapkan terjadi lagi, setelah krisis di Teluk Persia selesai. Berdasarkan Data Pokok Bahan Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN 1991/1992, realisasi total ekspor diperkirakan Rp 27,36 trilyun, masih lebih tingi dibandingkan dengan impornya (Rp 1,68 trilyun). Optimisme itu didukung fakta lain lagi. Depresiasi rupiah terhadap US dolar sejak 1986 sampai sekarang sebesar 16% sudah memadai untuk menghindari devaluasi. Situasi sekarang juga berbeda dengan 1986, saat devaluasi 45%. (lihat: Kemasan Sama, Isi Berbeda). Ketika itu, devaluasi bisa menambah anggaran, kendati menyakitkan. Kalau sekarang, menurut Adrianus Mooy, devaluasi akan menyebabkan kesulitan pemerintah sendiri. Soalnya, beban pembayaran utang luar negeri sudah lebih banyak. Konsekuensinya, anggaran negara harus berkurang juga. "Itu sakit dua kali," katanya. Maka, "daripada capek-capek melakukan devaluasi, kurangi saja anggarannya. Dan itu yang akan dilakukan pemerintah." Sementara itu, toh harga minyak Indonesia masih lumayan. Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita yakin rata-rata masih bisa US$ 19 per barel, sesuai dengan APBN 1991-1992. Artinya, rupiah tetap lebih memikat dipelihara. Lagi pula, ongkos politik sebuah tindakan devaluasi kini lebih besar. Kepercayaan masyarakat kepada ucapan pemerintah akan rusak sekali. Semua tahu, trauma devaluasi 1986 masih belum hilang. Jadi: tenanglah dengan rupiah. Mohamad Cholid, Moebanoe Moera, dan Bambang Aji (Jakarta) . -------------------------------------------------------------- . NERACA PEMBAYARAN INDONESIA . 1989/1990-1991/1992 -------------------------------------------------------------- . 1989/1990 1990/1991 1991/1992 . (realisasi) (perk. real) (RAPBN) --------------------------------------------------------------- EKSPOR 23.830 27.366 29.493 Minyak Bumi 6.288 7.600 7.184 Gas alam cair 3.049 3.824 3.525 Bukan minyak bumi & gas alam 14.493 15.942 18.784 IMPOR (17.374) (21.482) (23.430) Minyak Bumi (2.342) (2.587) (2.504) Gas alam cair (187) (208) (218) Bukan minyak bumi & gas alam (14.845) (18.687) (20.708) -------------------------------------------------------------- . PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1989-1990 . (DALAM MILYAR RP) DAN RASIO M1 DENGAN PDB --------------------------------------------------------------- Pada Uang Pertum- Uang Pertum- Uang Pertum- Akhir Sempit buhan Kuasi buhan Luas buhan M1/M2 . (M1) (%)** (QM) (%)** (M2) (%)** --------------------------------------------------------------- 1989 20.114 39,76 38.590 39,79 58.704 39,78 0,52 1990 17,39 54,58 41,84 -------------------------------------------------------------- Jan 18.856 -6,25 39.819 -3,18 58.675 -0,05 0,47 Feb 19.323 2,48 40.733 -2,30 60.056 2,35 0,47 Mar 22.155 14,66 42.211 3,63 64.366 7,18 0,52 Apr 22.433 1,25 45.086 6,81 67.519 4,90 0,50 Mei 21.218 -5,42 44.865 -0,49 66.083 -2,13 0,47 Jun 23.205 9,36 46.919 4,58 70.124 6,12 0,49 Jul 22.619 -2,53 48.701 3,80 71.320 1,71 0,46 Agus 22.445 -0,77 51.618 5,99 74.063 3,85 0,43 Sep 22.982 2,39 53.924 4,47 76.906 3,84 0,43 Okt 22.552 -1,87 55.860 3,59 78.412 1,96 0,40 Nov 22.988 1,93 57.786 3,45 80.774 3,01 0,40 Des 23.612 2,71 59.651 3,23 83.263 3,08 0,40 --------------------------------------------------------------- * Angka sementara ** Tahun 1984-1990 pertumbuhan per tahun. Tahun 1990 diuraikan pertumbuhan bulanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini