DALAM suasana menyongsong RUU Perbankan, yang sewaktu-waktu bisa diluncurkan pada tahun ini, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin justru menyodorkan "hadiah" yang lain. Hadiah itu populer dengan nama Gebrakan Sumarlin II, yang dalam tempo satu minggu berhasil mematikan langkah para spekulan dolar. Sesudah satu minggu juga, arus memborong dolar reda, terutama di banyak money changer di Jakarta. Tapi di kota besar seperti Medan dan Surabaya, gelombang memperebutkan dolar masih berlanjut, dan baru berhenti manakala para pelakunya menghayati betul pesan Presiden Soeharto Sabtu pekan lalu. Pesan itu diutarakan di hadapan delegasi Dekopin. Intinya memastikan bahwa tidak akan ada devaluasi. Pekan lalu adalah pekan kedua bagi kekalahan Irak dan kemenangan Amerika Serikat. Kemenangan di padang pasir segera disusul oleh kemenangan lain di pasar uang. Kurs dolar segera melesat, begitu juga saham. Dalam pasang naik dolar seperti itu, belanja dolar tentu saja tidak menguntungkan. Tapi itulah yang terjadi. Mereka yang memborong dolar secara besar-besaran lewat bank -- atau secara kecil-kecilan lewat money changer -- memilih risiko rugi sedikit, daripada rugi besar. Singkatnya, bagi mereka, lebih baik rugi beberapa point ketimbang uangnya amblas ditelan devaluasi. Mengapa khalayak seperti melihat hantu devaluasi di siang hari, tatkala neraca pembayaran bisa dianggap aman serta cadangan devisa lumayan? Ternyata, hantu inilah yang sosoknya sulit dijabarkan. Hantu itu selalu ada di tengah ekonomi yang sering berubah tiba-tiba seperti di sini. Tak bisa tidak, orang-orang berduit yang takut dimangsa devaluasi harus senantiasa siap dan waspada. Mereka tahu benar, jerih payah menyelamatkan uang adalah layak untuk mengimbangi kerja keras dalam mengumpulkan uang. Hal ini sangat terasa sejak devaluasi September 1986. Untuk sebagian besar orang, pengalaman pahit malah sudah menggores sejak tahun 1983, atau bahkan sejak tahun 1978 (sepanjang Orde Baru ada tiga kali devaluasi). Kalau melihat rentetan peristiwa pahit itu, tak seorang pun yang bisa dikatakan terlalu tua untuk melupakannya. Ataupun terlalu kaya untuk begitu saja memaafkannya. Hal-hal kecil, seperti ketidakmampuan untuk memaafkan atau melupakan, mungkin luput dari kalkulasi para pembuat keputusan. Barangkali di situlah picunya bertengger, picu yang dengan lihai digerakkan oleh para spekulan. Menurut seorang bankir pemerintah, mereka adalah orang asing. Tak jelas, apakah spekulan asing atau bankir asing, pokoknya mereka ini meniup-niupkan isu devaluasi. Tiupan itu semakin lama semakin gencar, hingga orang-orang berduit pun "termakan isu". Ketika sampai pada momentum "termakan isu" tersebut, arus memborong dolar pun terbentuk begitu saja, tanpa komando, tanpa aba-aba. Mungkin agak berlebihan jika perilaku panik memborong dolar -- selain perilaku panik menaikkan suku bunga -- diidentikkan dengan adanya krisis kepercayaan terhadap para pengambil keputusan di negeri ini. Mungkin lebih baik melihatnya dari sisi yang sederhana saja -- misalnya dari naluri orang untuk menyelamatkan miliknya, tepatnya rupiahnya. Ataupun dari sisi tidak adanya rasa aman -- ini khas Dunia Ketiga -- yang ujung-ujungnya membuat bangsa ini sukar "dibariskan" untuk katakan- lah sebuah disiplin nasional. Tidak adanya rasa aman tersebut mudah-mudahan kini mulai diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan di sini. Ucapan Presiden Soeharto seharusnyalah dinilai sebagai jaminan bahwa rasa aman itu penting dan sah adanya. Barulah sesudah itu perilaku panik memborong dolar ataupun menaik-naikkan suku bunga bisa dicegah. Sidang Redaksi TEMPO memutuskan untuk sekali lagi menulis Gebrakan Sumarlin II secara agak panjang lebar, sesudah mengetahui bahwa arus memborong dolar tidak segera bisa dikendalikan dan imbauan Gubernur Bank Indonesia Adrianus Mooy, untuk menjual dolar, hampir-hampir tidak mempan. Krisis kepercayaan? Bagian I dari Laporan Utama berusaha menjawab pertanyaan itu. Dampak mikro dari Gebrakan Sumarlin II bisa dibaca pada bagian IV dan V. Tidak kurang pentingnya adalah wawancara TEMPO dengan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, yang hasilnya bisa diikuti pada bagian II. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini