DILARANGNYA bisnis para pialang itu ternyata punya buntut yang
panjang. Banyak nasabah yang merasa sulit mendapatkan uang
mereka kembali, sekalipun Menteri Perdagangan Radius Prawiro ada
menawarkan jalan keluar dalam acara makan siang di Press Club
Jakarta pekan lalu. Mereka umumnya meminta agar pemerintah
bersikap lebih aktif dalam membantu para nasabah itu. Bisakah?
Seusai acara itu, TEM PO berkesempatan menanyakan lebih jauh
pada Menteri Radius di kantornya. Berikut ini beberapa petikan
penting dari wawancara TEMPO dengan Menteri Perdagangan:
Tanya: Menurut bapak futures trading perdagangan dengan
penyerahan kemudian) itu baik. Tapi mengapa yang sekarang
beroperasi di Jakarta itu dilarang?
Jawab: Futures trading yang barusan dilarang itu tak ada
hubungannya samasekali dengan futures trading yang dikenal di
luar negeri. Di luar negeri disertai dengan penyerahan barang
secara fisik, setiap kali suatu transaksi ditutup. Jadi jelas
ada pemindahan barang. Yang terjadi di sini lain samasekali. Di
sini barang tak kelihatan ikut serta dalam transaksi. Yang
terjadi hanya pergerakan harga dan angka. Jadi kami terkenang
akan tehnik permainan angka seperti dalam Hwa-Hwe dulu dan lotre
buntut. Jelas usaha yang lebih merupakan judi itu merugikan
perekonomian negara.
T: Kalau memang begitu mengapatak dari pagi-pagi pemerintah
melarang?
J: Pada mulanya kami mendengar tentang praktek futures trading
itu ketika saya sedang membantu rencana pendirian Pasar Modal.
Kami baru mengetahui praktek-praktek yang merupakan judi itu
setelah ada nasabah yang dirugikan itu datang melapor.
T: Kapan itu?
J: Sekitar permulaan April. Makanva 15 April lalu saya
memberikan warning (peringatan) agar masyarakat berhati-hati.
T: Tapi ketujuh perusahaan pialang itu kan sebelumnya sudah
diberi izin.
J: Izin memang kami berikan. Bukan sebagai usaha future trading.
Tapi sebagai izin perdagangan umum: perdagangan besar, ekspor
impor, pedagang menengah atau pedagang jasa perantara. Jadi
mereka ternyata telah menyimpang dari ketentuan semula. Istilah
perdagangan telah mereka gunakan sebagai payung untuk melakukan
usaha futures trading yang tak benar itu.
T: Jadi lepartemen Perdagangan ini sudah kebobolan.
J: Memang kami kebobolan. Tapi kalau Deperdag saja yang
kebobolan, itu tak benar. Adanya orang-orang asing yang bisa
bekerja tanpa izin di sini, hanya dengan visa turis, menunjukkan
bahwa Tenaga Kerja juga sudah kebobolan. Tegasnya kita semua
kebobolan termasuk pers juga.
T: Setelah pak Radius memberikan peringatan itu, diberitakan ada
dua orang pialang dari flongkong yang datang ke kantor bapak.
Apa saja yang dibicarakan kalau boleh tahu ?
J: Begini. Pada 29 April lalu, pak Naro minta waktu pada saya
untuk memperkenalkan dua orang dari Hongkong itu. Saya memang
menerima mereka. Dan kedua orang itu diperkenalkan sebagai ahli
dalam bursa komoditi. Mereka bermaksud membantu mendidik
tenaga-tenaga Indonesia di bidang bursa komoditi, karena
mendengar kita bermaksud akan mem)uka kegiatan itu di
Indonesia. Lalu saya tanyakan: Apakah di Hongkong ada kegiatan
bursa komoditi seperti yang di sini? Mereka menjawab: Tidak ada,
di Hongkong kegiatan itu sudah dilarang sejak tahun 1973. Kedua
orangitu juga mengatakan bahwa mereka bukan pialang (broker),
karena untuk menjadi pialang itu harus menjadi anggota asosiasi.
Nah, kalau mereka bukan pengusaha bursa komoditi dan bukan
broker, lalu apa? Saya lantas jadi curiga.
T: Kalau sudah menaruh curiga, mengapa pemerintah baru
melarangnya tanggal 7 Juni?
J: Soalnya waktu kami melakukan penelitian, sulit mendapatkan
informasi. Yang menjadi pengurus di sana ternyata juga
orang-orang asing. Dan kami mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan mereka.
T: Apakah kesulitan itu juga disebabkan adanya tekanan-tekanan?
J: Sepanjang jadi pejabat memang saya merasakan adanya
tekanan-tekanan pekerjaan. Tapi kalau yang dimaksudkan itu
adalah adanya tekanan-tekanan yang saya indentifikasikan sebagai
menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku, saya abaikan.
T: Beberapa pejabat ada yang beranggapan usaha pialang itu bukan
sebagai judi, tapi spekulasi. Bahkan Menlu Adam Malik menilainya
sebagai 'tempat belajar agar orang Indonesia meniadi lebih
pandai. Bagaimana komentar bapak?
J: Saya tak bisa membela argumentasi apapun yang mengatakan
usaha para pialang itu sebagai bukan perjudian. Kegiatan mereka
jelas merugikan nasabah. Bukankah para nasabah itu umumnya
terdiri dari ibu-ibu rumahtangga dan para pegawai negeri yang
tak mengerti? Dan nasabah yang termasuk pintarpun sebenarnya
dirugikan. Sebab untuk setiap transaksi, mereka itu dipotong Rp
16 ribu sedang untungnya hanya Rp 10 ribu. Perusahaan dan para
adviser (penasehat) dapat untung bukan saja karena kurs naik
atau turun. Tapi karena banyaknya nasabah yang ikut trading.
Tentang anggapan yang melihat usaha tersebut sebagai 'tempat
belajar', jelas ini bukan caranya untuk belajar jadi pandai.
Apakah mereka itu membayar pajak? Ternyata tidak.
T: Dalam keterangan di Press Club bapak menganjurkan para
nasabah itu agar memakai pengacara untuk melayani perusahaan
pialang yang sudah punya pengacara. Mengapa pemerintah tak ikut
menengahi sebagai wasit? Tapi seakan membiarkan kedua pihak yang
bersengketa itu 'berkelahi' sendiri?
J: Soalnya masih bersifat perdata. Lain lagi kalau sudah
dibuktikan ada yang bersifat pidana. Smpai sekarang kami kurang
data untuk menentukan bahwa itu pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini