SATU di antara sedikit koperasi yang tetap jalan, adalah Mitra
Batik (MB). Menempati kantor yang cukup luas walaupun sederhana,
koperasi yang didirikan tahun 1938 itu kini mempunyai 500
anggota. "Semua pengusaha batik yang ada di Tasikmalaya menjadi
anggota kami", kata R. Wiwi Nachrowi, ketua II koperasi IB yang
sudah 16 tahun jadi pengurus. "Anggotanya bukan pengusaha besar,
melainkan yang kecil-kecil saja", katanya. Simpanan wajib setiap
anggota hanya Rp 200 ribu/ bulan. Namun dari simpanan wajib yang
tidak seberapa itu, banyak juga yang dapat dilaksanakan.
Di seberang kantor MB yang bertingkat dua berdiri SMEA
MitraBatik. Sebuah pavilyun RSU Tasikmalaya adalah sumbangan
MB. Dan tahun ini masih akan dibangun 6 lokal lagi di rumah
sakit itu. MB juga ikut membangun saluran air Cikuntan.
Anak-anak para pembatik sejak 1953 sudan ikut kebagian
bea-siswa. Tahun ini kabarnya sudah mencapai Rp 300 ribu. Buat
melanjutkan profesi membatik warisan nenek moyang yang
diperbaharui di zaman sekarang, MB juga menyediakan sekolah
khusus dalam perkara batik-membatik. Pengikutnya bukan hanya
dari keluarga pembatik, tapi juga masyarakat umum. Malah jika
dihitung-hitung, pengikut sekolah itu lebih banyak orang tuanya
ketimbang orang mudanya. Rupanya para pemuda sudah lebih banyak
yang, hijrah ke Bandung atau Jakarta ....
Sebagai koperasi, duka MB banyak juga. "Yang masih terasa
sampai sekarang adalah saingan dari batik pnnting", kata
Nachrowi sambil menunjuk contoh. Proses printing (cetak) jauh
lebih cepat, tapi menurut orang MB itu, kwalitasnya lebih
rendah. Berabenya, jika batik printing yang beredar di pasaran
ketahuan cepat luntur, maka yang tidak tahu dengan cepat menarik
kesimpulan bahwa setiap jenis batik cepat luntur. "Padahal
justru batik printing itulah yang sekarang banyak dibeli buat
suvenir", kata bekas tentara berusia 48 tahun itu. Makanya dia
mengharapkan semacam proteksi -- entah dari siapa -- supaya
konsumen dapat membedakan mana batik printing yang produksi
kodian itu, dan mana batik cap dan tulis seperti yang diproduksi
Mitra Batik. "Paling tidak", sambungnya lagi, "sebutkanlah bahwa
yang ini printing, yang itu cap atau tulis".
Apa yang dirisaukan orang MB itu bukan semata-mata soal
proteksi. Tapi juga soal promosi. Promosi, sebagai salah satu
bentuk penerangan pada konsumen yang biasanya diberikan oleh si
pengusaha itu sendiri. Dalam soal itu, MB tampaknya masih
terlalu berendah hati. Sebab sementara fabrikan besar seperti
Batik Keris & Batik Semar -- juga GKBI yang umumnya
beranggotakan para juragan batik dari Yogya & Jawa Tengah --
asyik memasang iklan dan menyelenggarakan pameran mode di
mana-mana, juragan batik Tasik itu masih diam-diam saja. Mereka
lebih mengandalkan pada para langganan tradisionilnya. Tentu
saja kehebatan promosi Batik Keris dan GKBI itu juga ditunjang
oleh modalnya yang kuat. Yang tidak semua berasal dari kantong
juragan sendiri. Melainkan dari bank (kredit PMDN buat Batik
Beris), atau dari partner Jepang Nichimen (yang membangun pabrik
cambrics, buat GKBI di Batang, Pekalongan)
Selundupan
Kendati demikian, harapan akan adanya proteksi bukan baru
timbul sehubungan dengan saingan batik printing belakangan ini.
Sejak tahun 1958, MB sudah mampu mendirikan pabrik cambricsnya
sendiri. Tahun lalu pabrik MB sudah menghasilkan 3,7 juta yard
kambrik sepanjang tahun. Tapi sayangnya, produksi pabrik itu
tidak stabil. Melainkan tergantung pada permintaan anggota.
Diakui oleh Wiwi Nachrowi, permintaan anggota itu pernah
terganggu pula oleh beredarnya kambrik bikinan luar negeri yang
diselundupkan ke mari. Syukurlah, dengan penertiban
penyelundupan yang mulai santer belakangan ini, kambrik
selundupan sudah jarang kelihatan dan ke-554 karyawan pabrik
bisa bekerja dengan tenang.
Kecuali pabrik kambrik, Mitra Batik juga memiliki toko-tokonya
sendiri. Baik di Tasikmalaya maupun di beberapa kota lain.
Menurut Nachrowi, setiap bulan MB mampu menjual 120 ribu lembar
kain batik buatan Tasik. Di dalam negeri, pasaran yang laris
adalah Surabaya dan Jakarta. Sekarang sedang dijajaki
kemungkinan menjualnya sampai ke Singapura. Bagaimana taktik
ekspornya dan bagaimana caranya bersaing dengan batik-batik lain
dari Indonesia dan Malaysia, tidak dijelaskan oleh Nachrowi.
Namun besar kemungkinan saingan batik printing di sana pun
akan tidak kalah sengitnya. Maka kalau sampai saat ini
Nachrowi berbangga bahwa roda-roda koperasinya mampu
bergelinding di atas modal sendiri, mungkin sudah saatnya
difikirkan kampanye promosi ke luar yang lebih gencar. Bukan
cuma proteksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini