RAMAI juga berita serangan wereng, banjir, tunggakan Bimas yang
kini menggunung dan pupuk yang 'bocor' lewat jalan belakang.
Tapi Menteri Pertanian Thoyib Hadiwijaya tetap optimis bahwa
produksi beras tahun 1976 akan mencapai 16 juta ton. Dan tahun
depan 17 juta ton.
Optimisme sang Menteri itu cukup melegakan -- meskipun mungkin
juga mengejutkan. Sebab selama 2 tahun terakhir ini, Deptan
hampir tidak mencatat kenaikan produksi beras yang berarti
(lihat Ekonomi). Yang terbaca di koran-koran justru tambah
banyaknya kapal yang merapat di pelbagai pelabuhan impor di
Indonesia, membawa beras dari Australia, Muangthai, Singapura,
Hongkong dan entah mana lagi. Tapi akankah kita jadi importir
beras terus, sampai tua?
Tekor Terus
Mungkin maunya tidak demikian. Tapi apa boleh buat, selama
kebutuhan produksi beras dalam negeri belum mencukupi. Dan
produksi dalam negeri tekor terus karena selain manusianya
tambah banyak, juga "mereka yang tadinya tidak makan nasi
sekarang sudah beralih pula ke nasi", seperti kata Dr Memet
Satari, ketua Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) pada
anggota-anggota HPII (Himpunan Penulis Ilmiah hdonesia) yang
bertandang ke Bogor belum lama ini. Maka diskusi pun melonjak
soal pergantian menu atau penganekaragaman menu. Caranya:
bagaimana mendorong supaya para pemakan nasi yang mungkin
merupakan mayoritas penduduk Indonesia doyan juga makan tanpa
nasi. Bagaimana mencegah kecenderungan para pemakan jaging,
sagu, roti dan bakmi -- yang masih minoritas di negeri ini --
untuk beralih ke nasi.
I.G. Tarwotjo, ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia tidak
keberatan terhadap pergantian makanan pokok dari beras ke jagung
atau sagu sekalipun. Sebab baginya, yang penting ialah melihat
komposisi makanan itu sebagai satu kesatuan. "Penduduk Maluku
yang makan sagu", katanya pada Said Muchsin dari TEMPO,
"nyatanya banyak makan ikan sebagai pelengkap bagi menu sagunya
sehingga ada keseimbangan". Sementara itu penduduk yang lazim
makan nasi dibanding dengan pemakan jagung & sagu ternyata lebih
banyak diserang anemia (kurang darah). "Ini karena mereka
terlalu menitik-beratkan pada rasa enaknya nasi", kata Tarwotjo
lagi. Sehingga mereka lehih banyak makan nasi ketimbang
lauk-pauk lainnya.
Potensi Sagu
Menurut Tarwoijo yang juga direktur Akademi Gizi Depkes,
"protein beras lebih tinggi kadarnya dari pada sagu dengan
perbandingan 8: 1". Hal yang serupa juga berlaku bagi kentang.
Kentang yang dimakan di Barat kadar gizinya pun sangat rendah.
Atau mirip ubi jalar yang kita kenal di Indonesia. Tapi karena
orang Barat lebih banyak makan daging, kondisi tubuhnya lebih
baik dari pada rata-rata orang Indonesia.
Potensi sagu sebagai bahan makanan pokok, sudah dikupas pula
secara ilmiah oleh M. Hasroel Thayib dalam majalah Ekonomi &
Keuangan Indonesia, Juni 1975. Mengutip ahli pengetahuan alam
terkenal George Wallace, Hasroel Thayib menyebutkan bahwa "satu
pohon sagu sekurang-kurangnya dapat memberi makan satu orang
dewasa selama setahun". Dengan tingkat konsumsi zat tepung per
kapita sebanyak 100 -120 kilogram setahun, maka sebidang tanah
yang dapat memuat 12 rumpun pohon sagu menghasilkan cukup zat
pati untuk orang itu sepanjang hidupnya. Sebab perkembangbiakan
sagu-itu sama halnya seperti pisang: anak-anak pohon akan muncul
dengan sendirinya dari leher akar induknya. Sedang umur
rata-rata pohon sagu dewasa yang sudah dapat dipanen adalah 12
tahun, sehingga cukup menebang sebatang pohon saja setiap tahun.
Itu kalau ditanam sendiri-sendiri. Kalau dikembangkan sebagai
budidaya sagu secara ekstensif, maka Thayib memperhitungkan
bahwa perkebunan sagu seluas 150 Km x 150 Km dengan kepadatan
625 batang pohon/hektar (jarak tanam antar pohon = 4 x 4 meter)
dapat menghasilkan 41 juta ton sagu. Kalau 100 kilo sagu
ditetapkan sebagai angka konsumsi tahunan/kapita, maka
perkebunan sagu itu sudah dapat menghidupi 410 juta jiwa. Mau
makan lebih banyak. Katakanlah 120 kg sagu/kapita, maka 341 juta
jiwa tercukupi. Arealnya pun tidak perlu merebut tanah-tanah
subur yang mungkin diperlukan untuk kebutuhan lain. Sebab sagu
bisa tumbuh dengan mudah di pantai-pantai payau dengan perawatan
yang minimal saja. Bandingkanlah itu dengan hasil produksi padi
unggul yang bisa dicapai dalam areal yang sama luasnya. Dengan
produktivitas rata-rata 5 ton padi kering/hektar. maka tanah
seluas 150 x 150 Km2 itu baru menghasilkan 16 ton padi kering
atau 8 ton beras. Itu baru cukup untuk memberi makan 150 - 180
juta manusia!
Memang, mengganti menu atau meragamkan menu bukan semata-mata
soal gizi. Tapi lebih-lebih soal tradisi. Makanya perlu suatu
gerakan massal dari lapisan atas sampai ke bawah. Seperti kata
Dr Igusti agus Teken, staf ahli Dirjen Tanaman Pangan,
"diversifikasi menu baru mungkin akan berhasil kalau dilakukan
kampanye seintensif kampanye KB. Itupun baru akan kelihatan
efeknya pada generasi mendatang". Tapi dia pesimis bahwa apa
yang disarankan oleh Hasroel Thayib itu dapat terwujud. "Kecuali
kalau hasil perkebunan sagu itu kita ekspor, dan devisanya
dipakai untuk membeli beras", tambahnya lagi. Mengapa? "Sebab
bagi banyak orang Indonesia, sudah terlanjur ada kesan bahwa
sagu jagung itu lebih inferior dari pada nasi". Sebaliknya,
roti yang diprodusir dari gandum malah dipandang lebih superior
dari pada nasi. Meskipun nilai gizinya mungkin sama saja.
Gandum Di Indonesia?
Makanya Teken lebih melihat kemungkinan berhasilnya kampanye
makan roti. Bukan dari gandum impor, tapi dari gandum produksi
dalam negeri. Penanaman gandum yang sudah berhasil
sedikit-sedikit di Wonosobo dan NTT, menurut Teken bisa
diperluas lagi. Kebetulan sekali, pengalaman Bimas menunjukkan
bahwa daerah-daerah di atas ketinggian 600 meter di atas muka
laut tidak begitu cocok ditanami padi unggul buatan IRRI
(International Rice Research Irlstitute). Ada kemungkinan, di
situ intensifikasi gandum akan lebih berhasil. Juga di
tanah-tanah yang kurang sempurna irigasi persawahannya. Sebab
gandum pada dasarnya adalah tanaman ladang.
Mungkin gagasan Hasroel Thayib dan Dr Teken itu bisa dijalankan
secara simultan. Tanpa biaya investasi yang terlalu raksasa.
Perkebunan sagu bisa dibuka di pesisir pantai pasang-surut,
tanpa perlu mengimpor jutaan transmigran dari Jawa seperti dalam
proyek sawah pasang-surut. Juga tanpa investasi untuk
pembangunan kanal-kanal, pembersihan bekas-bekas penebangan
hutan payau dan pupuk bertumpuk-tumpuk. Sebab pohon sagu justru
pandai sekali memanfaatkan asam-asam organik-di perairan payau
itu.
Di daerah-daerah kering dan di dataran tinggi, gandum bisa
merupakan alternatif lain, yang mungkin lebih produktif dari
pada padi gogo dan gogorancah. Toh bibit-bibit unggul gandum
seperti yang sudah menolong banyak orang India, sudah tersedia
di Mexico. Dari pada sekedar berpangku-tangan menyaksikan
pembukaan 1 juta hektar sawah pasang-surut yang diduga tidak
akan tercapai dalam Pelita II. Sementara investor swasta masih
kurang berminat membuka perkebunan padi rice estate di luar
Jawa, di mana kebun eksperimen Pertamina baru berhasil menuai 8
ton padi dari tanah seluas 2 Ha ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini