Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Suatu Hari, Kalau Tak Ada Nasi ...

Kebutuhan beras Indonesia bertambah terus, terutama disebabkan oleh banyaknya orang yang tak makan nasi beralih makan nasi. ada yang mengajurkan untuk menggiatkan kampanye makan sagu, gandum & jagung. (ilm)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMAI juga berita serangan wereng, banjir, tunggakan Bimas yang kini menggunung dan pupuk yang 'bocor' lewat jalan belakang. Tapi Menteri Pertanian Thoyib Hadiwijaya tetap optimis bahwa produksi beras tahun 1976 akan mencapai 16 juta ton. Dan tahun depan 17 juta ton. Optimisme sang Menteri itu cukup melegakan -- meskipun mungkin juga mengejutkan. Sebab selama 2 tahun terakhir ini, Deptan hampir tidak mencatat kenaikan produksi beras yang berarti (lihat Ekonomi). Yang terbaca di koran-koran justru tambah banyaknya kapal yang merapat di pelbagai pelabuhan impor di Indonesia, membawa beras dari Australia, Muangthai, Singapura, Hongkong dan entah mana lagi. Tapi akankah kita jadi importir beras terus, sampai tua? Tekor Terus Mungkin maunya tidak demikian. Tapi apa boleh buat, selama kebutuhan produksi beras dalam negeri belum mencukupi. Dan produksi dalam negeri tekor terus karena selain manusianya tambah banyak, juga "mereka yang tadinya tidak makan nasi sekarang sudah beralih pula ke nasi", seperti kata Dr Memet Satari, ketua Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) pada anggota-anggota HPII (Himpunan Penulis Ilmiah hdonesia) yang bertandang ke Bogor belum lama ini. Maka diskusi pun melonjak soal pergantian menu atau penganekaragaman menu. Caranya: bagaimana mendorong supaya para pemakan nasi yang mungkin merupakan mayoritas penduduk Indonesia doyan juga makan tanpa nasi. Bagaimana mencegah kecenderungan para pemakan jaging, sagu, roti dan bakmi -- yang masih minoritas di negeri ini -- untuk beralih ke nasi. I.G. Tarwotjo, ketua Persatuan Ahli Gizi Indonesia tidak keberatan terhadap pergantian makanan pokok dari beras ke jagung atau sagu sekalipun. Sebab baginya, yang penting ialah melihat komposisi makanan itu sebagai satu kesatuan. "Penduduk Maluku yang makan sagu", katanya pada Said Muchsin dari TEMPO, "nyatanya banyak makan ikan sebagai pelengkap bagi menu sagunya sehingga ada keseimbangan". Sementara itu penduduk yang lazim makan nasi dibanding dengan pemakan jagung & sagu ternyata lebih banyak diserang anemia (kurang darah). "Ini karena mereka terlalu menitik-beratkan pada rasa enaknya nasi", kata Tarwotjo lagi. Sehingga mereka lehih banyak makan nasi ketimbang lauk-pauk lainnya. Potensi Sagu Menurut Tarwoijo yang juga direktur Akademi Gizi Depkes, "protein beras lebih tinggi kadarnya dari pada sagu dengan perbandingan 8: 1". Hal yang serupa juga berlaku bagi kentang. Kentang yang dimakan di Barat kadar gizinya pun sangat rendah. Atau mirip ubi jalar yang kita kenal di Indonesia. Tapi karena orang Barat lebih banyak makan daging, kondisi tubuhnya lebih baik dari pada rata-rata orang Indonesia. Potensi sagu sebagai bahan makanan pokok, sudah dikupas pula secara ilmiah oleh M. Hasroel Thayib dalam majalah Ekonomi & Keuangan Indonesia, Juni 1975. Mengutip ahli pengetahuan alam terkenal George Wallace, Hasroel Thayib menyebutkan bahwa "satu pohon sagu sekurang-kurangnya dapat memberi makan satu orang dewasa selama setahun". Dengan tingkat konsumsi zat tepung per kapita sebanyak 100 -120 kilogram setahun, maka sebidang tanah yang dapat memuat 12 rumpun pohon sagu menghasilkan cukup zat pati untuk orang itu sepanjang hidupnya. Sebab perkembangbiakan sagu-itu sama halnya seperti pisang: anak-anak pohon akan muncul dengan sendirinya dari leher akar induknya. Sedang umur rata-rata pohon sagu dewasa yang sudah dapat dipanen adalah 12 tahun, sehingga cukup menebang sebatang pohon saja setiap tahun. Itu kalau ditanam sendiri-sendiri. Kalau dikembangkan sebagai budidaya sagu secara ekstensif, maka Thayib memperhitungkan bahwa perkebunan sagu seluas 150 Km x 150 Km dengan kepadatan 625 batang pohon/hektar (jarak tanam antar pohon = 4 x 4 meter) dapat menghasilkan 41 juta ton sagu. Kalau 100 kilo sagu ditetapkan sebagai angka konsumsi tahunan/kapita, maka perkebunan sagu itu sudah dapat menghidupi 410 juta jiwa. Mau makan lebih banyak. Katakanlah 120 kg sagu/kapita, maka 341 juta jiwa tercukupi. Arealnya pun tidak perlu merebut tanah-tanah subur yang mungkin diperlukan untuk kebutuhan lain. Sebab sagu bisa tumbuh dengan mudah di pantai-pantai payau dengan perawatan yang minimal saja. Bandingkanlah itu dengan hasil produksi padi unggul yang bisa dicapai dalam areal yang sama luasnya. Dengan produktivitas rata-rata 5 ton padi kering/hektar. maka tanah seluas 150 x 150 Km2 itu baru menghasilkan 16 ton padi kering atau 8 ton beras. Itu baru cukup untuk memberi makan 150 - 180 juta manusia! Memang, mengganti menu atau meragamkan menu bukan semata-mata soal gizi. Tapi lebih-lebih soal tradisi. Makanya perlu suatu gerakan massal dari lapisan atas sampai ke bawah. Seperti kata Dr Igusti agus Teken, staf ahli Dirjen Tanaman Pangan, "diversifikasi menu baru mungkin akan berhasil kalau dilakukan kampanye seintensif kampanye KB. Itupun baru akan kelihatan efeknya pada generasi mendatang". Tapi dia pesimis bahwa apa yang disarankan oleh Hasroel Thayib itu dapat terwujud. "Kecuali kalau hasil perkebunan sagu itu kita ekspor, dan devisanya dipakai untuk membeli beras", tambahnya lagi. Mengapa? "Sebab bagi banyak orang Indonesia, sudah terlanjur ada kesan bahwa sagu jagung itu lebih inferior dari pada nasi". Sebaliknya, roti yang diprodusir dari gandum malah dipandang lebih superior dari pada nasi. Meskipun nilai gizinya mungkin sama saja. Gandum Di Indonesia? Makanya Teken lebih melihat kemungkinan berhasilnya kampanye makan roti. Bukan dari gandum impor, tapi dari gandum produksi dalam negeri. Penanaman gandum yang sudah berhasil sedikit-sedikit di Wonosobo dan NTT, menurut Teken bisa diperluas lagi. Kebetulan sekali, pengalaman Bimas menunjukkan bahwa daerah-daerah di atas ketinggian 600 meter di atas muka laut tidak begitu cocok ditanami padi unggul buatan IRRI (International Rice Research Irlstitute). Ada kemungkinan, di situ intensifikasi gandum akan lebih berhasil. Juga di tanah-tanah yang kurang sempurna irigasi persawahannya. Sebab gandum pada dasarnya adalah tanaman ladang. Mungkin gagasan Hasroel Thayib dan Dr Teken itu bisa dijalankan secara simultan. Tanpa biaya investasi yang terlalu raksasa. Perkebunan sagu bisa dibuka di pesisir pantai pasang-surut, tanpa perlu mengimpor jutaan transmigran dari Jawa seperti dalam proyek sawah pasang-surut. Juga tanpa investasi untuk pembangunan kanal-kanal, pembersihan bekas-bekas penebangan hutan payau dan pupuk bertumpuk-tumpuk. Sebab pohon sagu justru pandai sekali memanfaatkan asam-asam organik-di perairan payau itu. Di daerah-daerah kering dan di dataran tinggi, gandum bisa merupakan alternatif lain, yang mungkin lebih produktif dari pada padi gogo dan gogorancah. Toh bibit-bibit unggul gandum seperti yang sudah menolong banyak orang India, sudah tersedia di Mexico. Dari pada sekedar berpangku-tangan menyaksikan pembukaan 1 juta hektar sawah pasang-surut yang diduga tidak akan tercapai dalam Pelita II. Sementara investor swasta masih kurang berminat membuka perkebunan padi rice estate di luar Jawa, di mana kebun eksperimen Pertamina baru berhasil menuai 8 ton padi dari tanah seluas 2 Ha ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus