STATUS pelopor (pionir) yang diberikan kepada perusahaan pemula
agaknya tak cukup sampai di situ saja. Sebutan serupa itu
misalnya diberikan Ditjen Perindustrian Dasar kepada pabrik
batangan kawat las merk Phillips, milik P.T. Krama Yudha -- itu
perusahaan yang kesohor merakit mobil-mobil merk Mitsubishi.
Bagi Departemen Perindustrian sebutan pelopor serupa itu tentu
ada alasannya. Segalak pembangunan yang terlihat di mana-mana.
kebutuhan akan kawat pengelas juga semakin menanjak. Dari
pemakaian rata-rata sebanyak 12.000 ton setahun, belakangan
menunjukkan kenaikan sekitar 1,78% per tahunnya. "Dan semua itu
dipenuhi dari impor, dari Jepang dan Eropa" tutur seorang
pejabat Ditjen Perindustrian Dasar pekan lalu.
Karena itu munculnya P.T. Krama Yudha dengan menggunakan tenaga
ahli dan ramuan Phillips (Belanda) sebagai satu-satunya produsen
batangan kawat las, memberi harapan bagi kebutuhan
sambung-menyambung dan tempel-menempel. Terletak di atas areal
seluas 3 Ha di kawasan Pulogadung, pabrik ini mampu menghasilkan
3.000 ton kawat las setahun dengan mempekerjakan 150 karyawan
lebih. Tak kurang dari 6 tipe kawat las dihasilkan pabrik ini
PH 68, PH 31 A, PH 36S,PH 46. PT 250 dan dan PH 600 -- terdiri
dari berbagai ukuran (diameter) yang banyak diperlukan industri
baja, kapal, perakitan, mesin-mesin dan sebagainya.
Kurangi Fasilitas
Tapi "sepanjang tahun 1975 kami hanya mampu memproduksi 600 ton"
kata Daud Asmuni Said, salah seorang Komisaris pabrik batangan
kawat las Phillips ini. Mengapa? Dengan cepat Asmuni Said
menunjuk tumpukan kotak batangan kawat las di Tanjung Priok yang
berasal dari impor, sebagai salah satu penyebab. Dia juga
mengeluh masih adanya fasilitas PMA dan PMDN untuk mengimpor
sendiri batang kawat las sebagai bahan pembantu maupun bahan
pokok. Begitu pula beberapa perusahaan perakitan mobil tampaknya
masih enggan melepaskan diri dari keharusan untuk memakai kawat
pengelas dari negara asal merk mobil tersebut.
Bagi Asmuni Said, penggunaan berbagai fasilitas yang terbebas
dari bea masuk itu agaknya cukup mencemaskan. "Apalagi jika
diingat hampir semua bahan baku masih harus kita impor",
tambahnya. Meskipun menurutnya hal ini masih memberinya
kesempatan memasang harga melawan dibanding dengan harga kawat
las impor yang sudah jadi. Maka secara tak langsung dia
menyarankan dua kemungkinan: memperingan bea masuk bahan baku
atau mempertinggi bea masuk bagi impor kawat las yang sudah
jadi. Lebih penting dari itu menurut Asmuni Said, adalah agar
pemerintah mengurangi kemungkinan masuknya batang kawat las
melalui fasilitas PMA maupun PMDN.
Menanggapi permintaan orang Krama Yudha itu, kalangan Ditjen
Industri Logam & Mesin yang dihubungi TEMPO hanya menjawab: "toh
pabrik las di sini baru satu. Mengapa sudah minta proteksi?"
Menurut mereka, permintaan untuk proteksi itu biasanya baru bisa
dipertimbangkan kalau ada beberapa usaha serupa mengajukan
permintaan yang sama. Pihak ILM sendiri tak mengambil contoh
dunia pertenunan di Indonesia yang baru diberi perhatian setelah
lama juga menjerit akibat masuknya blaco dari luar negeri dengan
fasilitas impor. Bertolak dari sini, apa yang dikemukakan
pengusaha kawat las Phillips tak ada salahnya untuk dicatat
sejak pagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini