SISA anggaran pembangunan (Siap) 1984-1985 yang mencapai Rp 2,1 trilyun per 1 Desember lalu masih ramai dipertanyakan. Menteri PANketua Bappenas J.B. Sumarlin dan Menteri Keuangan Radius Prawiro bilang, itu antara lain karena para pimpinan proyek (pimpro) di lapangan ingin berhemat-hemat dengan anggarannya. Sejak adanya Keppres 29, wewenang para pimpro untuk mengeluarkan anggaran dibatasi menjadi Rp 100 juta ke bawah. Tadinya masih Rp 500 juta ke bawah. Pengawasan terhadap kerja mereka di lapangan makin ketat. Mereka juga dibebani tanggung jawab keuangan. "Dulu, pimpro bisa bergerak longgar dan bebas dari tanggung jawab keuangan. Tapi sekarang mereka harus bertanggung jawab atas penyelesalan keuangan di samping fisik proyek yang ditandatanganinya," kata seorang pimpro sebuah jalan tol di Sumatera Utara. "Kini kami dituntut untuk mencegah kebocoran, pemborosan, dan penyimpangan proyek," kata pimpro yan punya tiga anak itu. "Tak bisa main-main lagi." Senjata Keppres 29, yang melibatkan tim pengendali tingkat departemen untuk proyek antara RF 100 juta dan 500 juta, membuat para pimpro seakan-akan kehabisan ruang gerak untuk "bermain". Apalagi, "Mereka kini takut kena razia," kata J. Siahaan, seorang kontraktor di Medan. Siahaan, yang kini sedang melaksanakan sebuah proyek irigasi di Tapanuli Selatan, beranggapan bahwa kebanyakan pimpro sekarang lebih terampil di bidang administrasi, tapi kurang di lapangan. "Akibatnya, kontraktor masih punya kesempatan buat menyeleweng," katanya. "Masih banyak proyek yang selesai dengan konstruksi di bawah bestek." Adanya tim pengendali tingkat departemen sedikit banyak juga dirasakan sebagai menambah panjang waktu untuk mengambil keputusan. "Tadinya dari penawaran sampai keputusan memakan waktu kurang lebih tiga minggu, tapi sekarang bisa lebih lama," kata Yoyo Kartoyo, direktur PT Fajar Parahyangan Indah. Yoyo sedang menyelesaikan bangunan bertingkat di Bagian Radiologi RS Hasan Sadikin di Bandung, yang bernilai Rp 300 juta. Ada banyak soal lain yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan: perbedaan situasi waktu lalu dengan sekarang. "Kini volume proyek lebih banyak," kata ketua Bappeda DKI, Herbowo. Tentang masalah pembebasan tanah, sebagai salah satu faktor keterlambatan, banyak yang setuju. Di DKI, menurut Herbowo, penyediaan tanah, atau pembebasan tanah, sering tersendat-sendat. Juga prosedur administrasinya, menurut dia, memerlukan waktu yang panjang. Penyebabnya, dalam proses pengambilan keputusan, seperti dalam lelang tanah, harga tanah sampai anggaran waktu lelang memerlukan waktu yang tidak sebentar. Trimaryono, sekwilda Ja-Tim, juga merasakan soal itu, selama 18 tahun memegang jabatannya. Tarik tambang antara pimpro dan pemilik tanah, seperti kata Trimaryono bisa makan waktu sampai tiga tahun, terutama karena sulitnya dicapai kesepakatan harga pembebasan. "Dana sudah ada, tapi tanah belum bisa diperoleh, sehingga belum bisa dibangun." Alotnya pembebasan tanah rakyat antara lain memang bisa disebabkan si pemilik menuntut gantl rugi yang dianggap kelewat tinggi. Sekalipun tidak jarang, seperti di DKI, lamanya pembebasan disebabkan jumlah ganti rugi per meter persegi itu tidak seperti dijanjikan semula. "Bagaimanapun tanah rakyat yang diambil itu 'kan dibeli di bawah harga yang berlaku di pasaran," kata seorang pengacara di Jakarta. "Tapi sering pula harga yang sudah disepakati masih dipotong untuk ini dan itu oleh panitia, sehingga sering menimbulkan keributan dan main gusur." Ketua Bappenas Sumarlin tampaknya optimistis bahwa Siap yang Rp 2,1 trilyun tadi akan banyak berkurang sebelum tahun anggaran baru 1985-1986 dimulai. Ia memperkirakan sisa anggaran itu akan terpakai sekitar Rp 500 milyar sampai akhir Maret 1985. "Kalau itu bisa diselesaikan, dampaknya akan cukup besar," katanya. Anggaran belanja 1985-1986, yang menurut Sumarlin kenaikannya relatif kecil, diharapkan bisa diimbangi dengan percepatan pelaksanaan Siap tahun anggaran yang masih berjalan. Ini termasuk sisa anggaran departemen, lembaga nondepartemen, dan pinjaman luar negeri yang belum digunakan. Pendapat serupa juga dikemukakan Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri, Ginandjar Kartasasmita. Tapi, menurut Ginandjar, yang juga anggota tim Keppres 29, besarnya Siap tahun 1984-1985 bukan karena keterlambatan proses di Setneg. "Setiap proyek di atas Rp 500 juta ditangani oleh departemen masing-masing," katanya. "Cuma sebelum diputuskan siapa pemenang tendernya, harus dicek dengan Setneg. Kata Ginandjar, "Paling-paling Setneg hanya memerlukan waktu sampai 10 hari, karena setiap minggu ada rapat bersama dengan Bappenas." Menurut Menteri Ginandjar, sampai November 1984, jumlah proyek yang disetujui dengan Keppres 29 sudah lebih banyak dibandingkan seluruh proyek yang disetujui pada tahun sebelumnya. Juga soal penunjukan pimpro dilakukan oleh menteri-menteri yang bersangkutan. Ia sendiri beranggapan, timbulnya siapa yang besar itu perlu diteliti. "Tapi yang jelas sebabnya bukan karena adanya Keppres 29," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini