KETENTUAN baru mengenai perpajakan seperti tak habis-habisnya muncul. Dari kantor Menteri Radius Prawiro, dalam waktu dekat ini, akan keluar lagi ketentuan pelengkap baru mengenai Pajak Penghasilan. Kata sebuah sumber, peraturan itu akan merupakan perbaikan ketentuan perbandingan antara modal sendiri dan utang (debt equity ratio), yang baru di berlakukan 8 Oktober 1984 lalu. "Sekarang sedang dibicarakan lebih terinci lagi," ujar sumber itu kepada TEMPO belum lama ini. Besar dugaan, perubahan akan dilakukan terhadap rasio tingkat utang maksimum, yang kini hanya diperbolehkan sebesar tiga kali modal sendiri. Dalam peraturan perbaikan nanti itu, boleh jadi, pengusaha bakal di izinkan mempunyai utang lebih besar dari tiga kali modal sendiri. Belum jelas benar apakah ketentuan baru itu akan diberlakukan bagi seluruh sektor industri, atau akan dibeda-bedakan menurut kegiatan usaha para pengusaha kena pajak. Menurut sebuah sumber di Departemen Keuangan, banyak masalah segera muncul ketika ketentuan debt equity ratio itu diberlakukan sama rata untuk seluruh kegiatan usaha. Sektor industri pengolahan, terutama akan menjerit karena sebagian besar dari mereka rata-rata mempunyai utang tiga kali lebih besar dari modal sendiri. Mereka mengeluh tak sanggup lagi menambah investasi guna menyesuaikan diri dengan ketentuan tadi, di tengah tingginya tingkat suku bunga pinjaman. "Kalau keputusan itu di jalankan secara konsekuen, bisa-bisa merupakan faktor penekan," ujar seorang pengusaha mobil. Keluhan keras juga terdengar dari para pemegang saham di sektor lembaga keuangan swasta. Maklum, pada umumnya, modal mereka rata-rata hanya 10% dari dana pihak ketiga. Celakanya lagi, dana pihak ketiga itu, terutama dari deposito, merupakan dana mahal yang harus dibayar dengan bunga tinggi. Di saat situasi pemasaran kredit mereka belum begitu cerah, para pemegang saham kelihatan masih enggan menambah modal. Semua keluhan itu, mau tak mau, harus didengar. Pemerintah, tentu, tak ingin memaksakan ketentuan itu - demi mengejar sasaran penerimaan pajak dengan mengorbankan kepentingan pengusaha. Karena itu, bagi petugas pajak, menggolongkan besarnya bunga yang bisa dianggap sebagai biaya sekarang masih merupakan tanda tanya. Jika ketentuan debt equity ratio 8 Oktober itu tidak diubah, maka beban bunga yang bisa dianggap biaya adalah bunga atas utang yang tidak lebih dari tiga kali modal sendiri. Pembatasan tingkat utang itu diharapkan bisa mencegah usaha penyelundupan pajak, dengan cara memperbesar utang perusahaan. Melalui teknik semacam ini, laba kena pajak, tentu, bisa dimainkan - karena sebagian besar pendapatan bakal habis dikuras untuk membayar bunga utang. Kata sumber di Departemen Keuangan, perusahaan multinasional (MNC) paling jago bermain-main dengan cara ini. Petugas pajak biasanya mudah mengenali, karena lazimnya anak-anak usaha MNC itu mempunyai tingkat utang sembilan kali modal sendiri. Jika ditelesuri secara cermat, utang anak usaha itu sebagian besar datang dari lembaga keuangan, yang merupakan anak perusahaan atau usaha patungan dari MNC itu. Supaya tidak ketahuan secara mencolok, pemberian pinjaman ini biasanya dilakukan secara bertingkat, atau disalurkan melalui kredit sindikasi. Dengan cara inilah, penyelundupan pajak tadi dilakukan. Sebab, sekalipun rugi, "Bunga atas pinjaman 'kan harus terus dibayar," kata sumber itu kepada TEMPO. Tentu, banyak pengusaha asing tidak suka dianggap demikian. Sejumlah pengusaha Jepang, menyatakan sikap tidak setuiunya atas usaha membatasi tingkat utang itu. Kata mereka, kebanyakan perusahaan Jepang, terutama industri pengolahan, sudah biasa bergerak dengan tingkat utang yang tinggi -karena mendapat kredit suplai dari penghasil komponen maupun bahan baku. Sejumlah industri pengolahan patungan lokal, kabarnya, juga sudah terbiasa bergerak dengan tingkat utang tinggi. Karena itu, menurut Anwar Nasution, kalau mereka tetap dikenai pajak dengan ketentuan debt equity ratio tadi, "Bisa bubar." Kata ahli moneter itu, pengusaha akan banyak tertolong jika ketentuan mengenai tingkat besarnya utang tadi diubah. Di tengah suasana seperti itu, apalagi beberapa sektor industri masih menghadapi kelesuan, menetapkan sasaran Pajak Penghasilan 1985-1986 Rp 3 trilyun lebih - atau naik Rp 600 milyar lebih "Terlalu riskan," ujar Anwar, dalam suatu diskusi TEMPO, belum lama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini