MASIH saja ada pengusaha yang mgm membuka pintu ekspor kayu gelondongan (log) yang sudah ditutup 1 Januari lalu. Penutupan ekspor itu sudah ditegaskan berulang kali oleh pemerintah sejak 1981, tapi, sampai pekan lalu, masih ada yang menyatakan, akan senang bila larangan ekspor log itu ditunda. Presiden direktur PT Pulau Laut, Yusuf Hamka, misalnya, kepada TEMPO menyatakan hal itu. Sebagai warga negara Indonesia, ia tentu akan patuh pada kebijaksanaan pemerintah. Sebagai pengusaha, katanya, ia melihat bahwa pasaran kayu gelondongan di luar negeri masih lebih baik dari pasaran dalam negeri, kendati keuntungan bila mengekspor sekarang ini diakuinya sangat tipis.Harga log di luar negeri sekarang ini sekitar US$ 62 per meter kubik, sedangkan pasaran dalam negeri cuma US$ 45. Bahkan ketua umum Masyarakat Perkayuan Indonesia, Sukamdani S. Gitosardjono, yang juga menjabat ketua umum Kamar Dagang Indonesia, mengungkapkan bahwa banyak pengusaha kayu yang masih menginginkan larangan ekspor log itu ditunda. Alasan mereka dirasakannya cukup menggugah: utang investasi pembangunan industri kayu lapis belum tertutup, karena ekspor kayu lapis belum lancar, begitu pula ada daerah yang seperti Irian Jaya yang belum mampu memiliki industri kayu (gergajian dan kayu lapis). Sejak dicanangkannya rencana pemerintah menghentikan ekspor log, para pengusaha kayu juga telah dianjurkan segera membangun industri perkayuan (penggergajian dan kayu lapis). Sampai akhir pekan lalu tercatat 96 industri kayu lapis yang berproduksi, 27 buah lagi sedang dibangun. Selain itu, masih ada 177 permohonan investasi industri kayu lapis yang tercatat di BKPM. Tapi, 177 permohonan baru itu agaknya sudah terlambat. Soemarsono, Dirjen Pengusaha Hutan, menganjurkan agar mereka menarik diri saja, sampai keadaan industri kayu lapis membaik lagi. Indonesia, kini, memang produsen kayu lapis terbesar di dunia, meski belum bisa mengendalikan di pasaran internasional. Hal itu karena tak banyak pasar baru yang diciptakan. Kalangan pengusaha pelayaran samudra khusus, yang biasa menangani angkutan kayu, juga seperti diabaikan. Tapi di masa jaya ekspor log, 1975-1979, angkutan samudra khusus telah berkembang dari dua kapal hingga 88 kapal. Larangan ekspor, yang di persiapkan sejak 1981 dianggap sudah cukup memberi waktu bagi perusahaan angkutan samudra khusus untukberalih ke bidang angkutan lain, seperti kayu lapis. Menurut Hartoto, ketua angkutan samudra khusus INSA, larangan tersebut tidak akan menenggelamkan armada khusus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini