Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari tiga bulan kejengkelan itu bertahan. Tapi, Senin pekan lalu, lima anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) tak lagi bisa menutupi kemarahan mereka. ”Kalau sampai akhir November tetap tak ada kejelasan, saya lebih baik mundur,” kata Romli Atmasasmita, salah satu anggota. ”Anggota lain pasti akan mengikuti langkah yang sama,” Sutan Remy Sjahdeini, ketua badan baru itu, menyambung.
Tiga anggota lain, Anny Ratnawati, Widigdo Sukarman, dan Marsuki, yang turut hadir di ruang rapat kantor firma hukum milik Remy di kawasan Senayan itu, mengangguk tanda setuju. ”Jangan nanti orang mengira kami yang cari-cari kerjaan,” suara Romli bergetar.
Bersama Normin Pakpahan, Direktur Eksekutif BSBI, kelima anggota yang dipilih DPR RI akhir Juni lalu itu masih ingin menjelaskan letak soal dan alasan kekesalan mereka, ketika tiba-tiba sebuah pesan pendek masuk ke telepon seluler Widigdo. Seorang sumber mengabarkan, tim teknis di Bank Indonesia (BI) sedang membicarakan permintaan BSBI melalui dua suratnya.
Rupanya, kabar itu benar. Hari itu juga Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, menandatangani surat yang ditujukan kepada BSBI, mendukung keberadaan dan fungsi BSBI. Dukungan akan segera diwujudkan dengan menyediakan sarana dan kelengkapan kerja bagi Badan Supervisi.
Adapun soal teknis menyangkut mekanisme kerja dan sarana itu, kata Burhanuddin, Bank Indonesia sedang mengadakan pembicaraan dengan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. ”Sebagian besar sudah disepakati, tetapi ada beberapa poin yang masih harus dibicarakan,” kata Burhan dalam suratnya. Ia tak merinci soal yang masih belum beres itu.
Remy dan kawan-kawan pun melunak. Tak ada nada sengit tersirat dari surat jawaban Remy yang dikirim dua hari kemudian. Berbeda dengan siaran pers mereka sebelumnya, yang bahkan dengan tegas menuding para petinggi bank sentral telah melawan Undang-Undang No. 3/2004 yang berisi amendemen terhadap Undang-Undang Bank Indonesia sebelumnya.
Para anggota BSBI menganggap telah terjadi upaya yang nyata dari Bank Indonesia untuk menghambat kinerja badan pengawas itu. Hal itu terlihat dari pernyataan Kepala Biro Komunikasi BI, Rizal Djaafara, dalam sebuah laporan utama yang ditulis di majalah Nuansa, media internal yang diterbitkan Biro Humas BI.
Melalui majalah itu Rizal antara lain mengatakan, dalam berhubungan dengan BI, para anggota Badan Supervisi setidaknya mesti membawa surat tugas dari DPR. Ada pula artikel yang ditulis dua pejabat Direktorat Hukum BI yang mengutip anggota Komisi Keuangan dan Perbankan, Dradjad H. Wibowo, yang menyebut BSBI tak lebih dari semacam ”konsultan plus” bagi DPR.
”Ini jelas upaya mengerdilkan fungsi BSBI yang diamanatkan undang-undang,” kata Marsuki. ”Kami memang bertugas membantu kinerja DPR, tapi sebagai lembaga independen yang tidak masuk dalam struktur di bawah mereka,” Remy menambahkan.
Mereka juga marah karena, bersamaan dengan munculnya terbitan-terbitan itu, BI juga tak memberi tanggapan apa pun terhadap tiga surat yang dikirim BSBI. Dua surat dikirim pada 15 September dan 3 Oktober, ditujukan kepada Gubernur BI. Isinya permintaan fasilitas kerja seperti kantor dan penunjang lainnya.
Satu surat lagi tertuju pada Direktur Perencanaan Strategis BI, Halim Alamsyah, berisi permintaan berbagai dokumen laporan BI yang akan menjadi bahan evaluasi. ”Bagaimana kami mau kerja kalau bahan yang kami minta tidak mereka berikan?” Romli masih kesal dengan perlakuan yang diterimanya.
Kepada Astri Wahyuni dari Tempo, Rizal mengatakan pernyataannya itu merupakan keinginan internal pegawai BI. Ia dan redaksi majalah Nuansa berpendapat, surat tugas itu perlu, mengingat BSBI adalah lembaga yang dibentuk dalam rangka membantu DPR melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap BI. ”Tapi Dewan Gubernur BI tidak setuju, dan menyatakan BSBI sudah dapat bekerja tanpa surat pengantar DPR,” ujarnya.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo