DUA tahun lalu seseorang pernah mencoba menebak masa depan Hendra Rahardja. Taipan dari grup Harapan itu diramalkannya akan menghadapi sedikit persoalan pada usia sekitar 40 tahun. Tapi Hendra, yang ketika itu berusia 38 tahun dan masih di atas angin, hanya ketawa mendengar ramalan orang tadi. Dia tentu tak menyangka obrolan ringan di ruang kerjanya itu - yang terletak di lantai VI Gedung Harapan, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta - kini sebagian ada benarnya. Hari-hari ini kalangan bisnis di Singapura dan Hong Kong sedang memperbincangkan kesulitan keuangan yang dihadapi pengusaha terkemuka penggemar mobil Rolls Royce itu. Mereka menyebut kesukarannya cukup serius, mengingat pembangunan Rahardja Centre, salah satu proyeknya yang cukup mewah di kawasan Marina, Singapura, sudah beberapa bulan ini terhenti. Di atas tanah seluas 80.000 meter persegi, yang dibeli S$ 3.800 per meter persegi pada 181 itu, Hendra merencanakan mendirikan tiga hotel sekaligus berikut ruang konperensi dengan 5.600 tempat duduk. Di sini, yang salah satu hotelnya akan mempunyai 63 lantai, Hendra bakal menanamkan uang S$ 1,1 milyar. Di Orchard Road, masih di Singapura, dia juga membangun The Orchard Meridien Hotel. Menurut rencana, hotel yang mempunyai 400 kamar ini akan dioperasikan Meridien Hotel, milik Air France. Lalu di Upper Changi Road, dekat pelabuhan udara Changi, dia juga membangun hotel dengan 276 kamar. Dan paling akhir adalah Hotel Nikko, di Outram Road, bertingkat 27 dan berbentuk silinder. Jumlah investasi Hendra di enam hotel itu ditaksir mencapai S$ 1,6 milyar. Tahun ini, Hotel Nikko Shopping Centre, yang sudah ditawarkan dengan gencar melalul iklan, diperkirakan akan selesai. Tapi nasib lima hotel lainnya masih merupakan tanda tanya. Hotel Nikko saja, kelangsungan pembangunannya nyaris terhenti, kalau tidak ditolong pembiayaan dari rakyat Hong Kong. Seperti diketahui, untuk melanjutkan pembangunan hotel itu, Hendra belum lama ini membeli Whitman Enterprises, perusahaan di bidang real estate dan investasi. Tak lama kemudian, Whitman menjual sebagian sahamnya ke masyarakat Hong Kong (go public). Dengan dana yang diperolehnya itu, perusahaan ini lalu membeli hampir separuh saham Hotel Nikko seharga sekitar US$ 117 juta. (TEMPO, 25 Februari). Apakah cara serupa juga akan digunakan untuk membiayai pembangunan lima hotel lainnya, tak jelas benar. Tapi di Hong Kong, Hendra mempunyai sarana cukup baik untuk mengerahkan dana masyarakat setempat, misalnya, Umstock Finance, sebuah lembaga keuangan nonbank. Kalau toh semua hotel yang dibangun Hendra selesai dalam dua tiga tahun mendatang, situasinya ternyata kurang menguntungkan. Menurut ramalan Badan Promosi Pariwisata Singapura (STPB), hingga 1986 nanti, kamar hotel di negeri itu akan bertambah denan 14.000. Tapi penambahan kamar sebanyak itu ternyata tidak diimbangi dengan naiknya arus turis ke sana. Bahkan ada tanda-tanda kunjungan orang ke sana cendcrung turun. Karena alasan itulah, sebuah lembaga riset di Singapura berani meramalkan bahwa, sampai 1987 nanti, negeri ini akan mengalami kelebihan penawaran kamar hotel. Situasi serupa juga akan terjadi pada penawaran ruang perkantoran yang akan mengalami kelebihan suplai tempat 644.000 meter persegi. Gambaran suram seperti itu tampaknya di luar dugaan Hendra, yang mungkin menyangka akan habisnya masa sewa Hong Kong pada 1999 bakal mendorong penanam modal di sana membanjiri Singapura. Di Jakarta sendiri, Hendra juga menghadapi persoalan cukup pelik: harus menjual ruang perkantoran Gadjah Mada Plaza, yang terletak berseberangan dengan Gedung Harapan, pada saat banjir penawaran seperti sekarang ini. Kendati demikian, cukong ini percaya bahwa gedung bertingkat 28, yang pernah dua kali terbakar ini, feng shui-nya baik sekali. Feng shui atau hong sui merupakan suatu cara perhitungan dalam membangun gedung yang letak dan cara menghadapnya disesuaikan dengan arah mata angin. SEBELUM membangun Gadjah Mada Plaza dan Gedung Harapan, misalnya Hendra memanggil seorang ahli ramal. Peramal itu kemudian menganjurkan padanya agar menebar uang logam pecahan kecil di sekitar pondasi kedua bangunan itu. "Uang kecil ditaruh, uang besar tentu bakal masuk," katanya kepada TEMPO beberapa waktu lalu. Hendra, yang lahir di Ujungpandang, mula-mula hanya dikenal sebagai penjual pelbagai motor keluaran Eropa. Tak lama kemudian, anak tertua dari sepuluh bersaudara itu ditawari untuk menjadi agen tunggal Yamaha. Mula-mula menolak, mengingat merknya pada tahun 1960-an itu belum dikenal. Tapi akhirnya mau juga. "Waktu jual pertama kali susah," katanya mengenang. "Saya coba jual ke beberapa daerah, tapi sesudah tiga bulan kembali semua." Akhirnya, Yamaha memang menjadi tulang punggung bisnisnya. Belakangan Hendra juga mendirikan gedung perkantoran Wisma Harapan di Jalan Sudirman, Jakarta, bahkan kemudian membeli Bank Dagang Surabaya, Bank Perdagangan Nasional Medan, dan Bank Tonsea Manado. Tapi rencana-nya mendirikan hotel di samping Hotel Sahid Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta, tak kunjung terwujud. Terhentinya hampir sebagian besar proyek prestisiusnya itu, kata sejumlah pengusaha, berkaitan erat dengan kesulitannya memperoleh dana murah, dan terutama juga berhubungan dengan merosotnya penjualan Yamaha-nya. Pada tahun 1982 hasil penjualan Yamaha masih mencapai sekitar Rp 155 milyar, tetapi tahun lalu turun sampai 40% - jauh di bawah Honda, yang hanya turun 25%. Tahun ini, hingga Februari lalu, penJualan motor itu baru mencapai 18.000 unit - sama seperti tahun lalu pada periode yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini