Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 106.000 ton beras Bulog turun mutu dan terancam rusak.
Bulog kesulitan menyalurkan beras impor setelah program rastra dihapus.
Bulog mengalami kerugian akibat beras turun mutu.
JAKARTA – Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, mengatakan sebanyak 275.811 ton beras hasil impor pada 2018 masih tersimpan di gudang. Sebanyak 106.000 ton beras itu turun mutu dan terancam rusak. "Sedangkan beras hasil serapan dalam negeri masih aman," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Budi, pada 2018, pemerintah mengimpor 1,8 juta ton beras. Impor dilakukan karena stok beras Bulog saat itu hanya 600 ribu ton. Pada saat yang sama, Bulog mendapat penugasan dari pemerintah untuk program bantuan beras bagi keluarga sejahtera (rastra) sebanyak 2,6 juta ton per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2019, program rastra diganti menjadi bantuan pangan non-tunai (BPNT). Walhasil, Bulog kehilangan "pasar" untuk menyalurkan stok cadangan beras pemerintah (CBP). Menurut Budi, pemerintah belum mengambil keputusan untuk menangani beras yang sudah turun mutu. "Sisa beras impor seperti apa dan harus bagaimana, tidak ada keputusan. Semua dibebankan kepada Bulog,” ujar dia.
Budi mengatakan beras yang berpotensi rusak itu tersebar di beberapa gudang Bulog. Dia beralasan, Bulog tidak bisa mendistribusikan beras tersebut saat kondisinya masih baik karena statusnya CBP. CBP seharusnya disalurkan saat terjadi kekurangan pangan, gejolak harga, atau kondisi darurat akibat bencana.
Proses pemotongan padi yang telah memasuki masa panen raya di desa Nglaban, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, 22 Maret 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Menurut Budi, penurunan kualitas beras tak terhindarkan karena Bulog tidak memiliki infrastruktur gudang yang bisa menyimpan komoditas selama bertahun-tahun. Untuk menyimpan beras dalam waktu lama, Bulog membutuhkan teknologi cocoon yang bisa menjaga kadar karbondioksida pada titik tertentu dan meminimalkan kadar oksigen sehingga hama tidak hidup. Namun teknologi ini membutuhkan ongkos yang besar.
Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaludin Iqbal, mengatakan saat ini pihaknya sedang berupaya menangani beras yang mengalami penurunan mutu. "Beras turun mutu akan kami proses ulang dan diuji lagi kualitasnya," ujar dia.
Stok beras turun mutu salah satunya ada di Indramayu, Jawa Barat. Kabar yang dilansir Antara menyebutkan 5.000 ton beras yang diekspor dari Vietnam pada 2018 tersimpan di gudang Bulog di Kabupaten Indramayu dan tidak bisa lagi digunakan. "Beras impor asal Vietnam ini dipastikan turun mutu," kata Kepala Pimpinan Kantor Cabang Bulog Indramayu, Dadan Irawan.
Menurut Dadan, masa penyimpanan beras di gudang idealnya selama enam bulan hingga satu tahun. Sedangkan beras impor tersebut sudah tersimpan selama tiga tahun. "Kami belum bisa mengatakan beras ini rusak karena belum melakukan penelitian lebih lanjut. Tapi yang pasti, ketika beras akan dikeluarkan, itu membutuhkan biaya lagi," tuturnya.
Petani memasukkan padi pada mesin pemisah gabah di Kawasan BKT, Rorotan, Jakarta. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Ombudsman Republik Indonesia pun mempersoalkan minimnya integrasi antara program hulu dan hilir pemerintah, dari proses penyerapan beras petani hingga distribusinya. Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, menaksir terjadi kerugian hingga Rp 1,25 triliun akibat beras turun mutu sebanyak 300-400 ribu ton.
Yeka mengatakan hal ini terjadi lantaran penugasan pemerintah kepada Bulog untuk menyerap beras rakyat dan pengadaan beras impor tidak disertai dengan kebijakan di sisi hilir. Setelah program rastra dihapus dan digantikan oleh BPNT, kanal Bulog untuk mendistribusikan beras tersendat. "Siapa yang mesti bertanggung jawab?" ujar dia.
Ombudsman mencermati adanya potensi maladministrasi dalam manajemen stok beras akibat kebijakan yang tidak terintegrasi dari hulu ke hilir, termasuk yang berkaitan dengan pelaksanaan BPNT.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santoso, mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana impor. Dwi berujar bahwa kebijakan tersebut bisa kembali membuat Bulog rugi di kemudian hari.
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo