Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bunga Naik, Penjualan Turun

Suku bunga kredit yang semula dipatok 12,25 persen kini 14,9 persen. Insentif pemerintah ditunggu.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMA harus menunda mimpi indahnya punya rumah mungil di Bogor, Jawa Barat. Padahal, menikmati udara nan sejuk di salah satu sudut Kota Hujan itu sudah lama dinantinya.

Gara-garanya, bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dalam satu-dua bulan terakhir ini kurang bersahabat. Bank seolah berlomba menaikkan suku bunga, termasuk bunga kredit.

Akibatnya, kata karyawan perusahaan jasa berusia 29 tahun ini, ”Cicilan kredit bisa-bisa membengkak, sehingga memberatkan.” Mau tak mau, rencana beli rumah pun untuk sementara terpaksa dibatalkan.

Rama tak sendirian mengambil keputusan pahit itu. Menurut Kepala Pemasaran PT Jaya Property, Swandayani, akhir-akhir ini memang selalu ada saja calon pembeli yang mengeluhkan besarnya angsuran. Bahkan tak jarang mereka membatalkan niatnya membeli rumah.

Pertahanan bank terhadap bunga kredit murah akhirnya jebol juga, setelah Bank Indonesia terus-menerus mengerek naik suku bunga untuk meredam kurs rupiah yang bergerak liar dan untuk meredam inflasi.

PT Bank Niaga Tbk., misalnya, sudah dua kali menaikkan suku bunga dalam kurun sebulan. Namun, kata Juanita A. Luthan, Manajer Produk Niaga Kredit Rumah, kenaikan dilakukan bertahap. ”Kalau sekaligus, tentu berat buat nasabah,” katanya.

Dengan kebijakan baru itu, suku bunga kredit yang semula dipatok 12,25 persen, per September lalu naik menjadi 13 persen. Belakangan suku bunga kembali dinaikkan hingga ke level 13,9 persen per awal Oktober lalu. Sedangkan bagi para peminjam yang baru, bunga kredit dipatok jauh lebih tinggi: 14,9 persen.

Menurut Juanita, bunga KPR tidak asal naik. Lompatan bertahap ini diterapkan seiring dengan suku bunga patokan Bank Indonesia (BI rate) yang terus merambat naik: dari 10 persen pada September, menjadi 11 persen pada awal Oktober lalu, dan kini menjadi 12,25 persen.

Ia tak khawatir kenaikan bunga KPR bakal melahirkan kredit macet. Kalaupun angsuran kini dirasakan berat, ”Mereka bisa mengajukan perpanjangan waktu pelunasan,” ujarnya.

Setali tiga uang, Bank Tabungan Negara akhirnya juga mendongkrak suku bunga pinjamannya. Menurut Kepala Divisi Treasury BTN, Saut Pardede, pada awalnya bank andalan rakyat ”kecil” ini masih mencoba bertahan tidak ikut-ikutan menaikkan bunga.

Tapi, ketika BI rate sudah 11 persen, ”Terpaksa bunga KPR naik 1,5 sampai 2 persen menjadi 16-16,75 persen,” kata Saut. Kenaikan setinggi ini hanya berlaku bagi nasabah KPR yang baru. Nasabah lama masih dikenai tingkat bunga sebelum ada kenaikan. Sebab, jika bunga untuk mereka ikut-ikutan naik, dikhawatirkan BTN akan menuai kredit macet.

Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia, Dharma Setiawan Bachir, menuturkan bahwa kenaikan bunga KPR 2-3 persen sudah pasti bakal menurunkan angka penjualan rumah.

Kondisi ini, menurut Swandayani, diperberat dengan harga rumah yang juga terus mendaki—sejak awal tahun lalu sudah naik 15 persen. Padahal harga bahan bakar minyak baru saja naik. Otomatis, harga bahan bangunan pun bakal melonjak. Dan ujung-ujungnya, harga rumah bisa kian mencekik.

Saut mengakui, akibat kenaikan bunga, pengajuan kredit baru mengalami penurunan. Berapa besar penurunannya? Dia belum bisa menyebutkan. ”Tapi tidak terlalu signifikan,” ujarnya. Soalnya, kenaikan bunga, baru dalam hitungan minggu.

Nada lebih optimistis datang dari pengelola Bumi Serpong Damai (BSD). General Manager Public Service BSD, Dhony Rahajoe, mengaku tidak terlalu khawatir. Sebab, pembeli rumah dengan KPR di kawasan perumahan itu memang hanya 30 persen. ”Sisanya beli dengan uang cash,” ujarnya.

Menteri Negara Perumahan Rakyat Yusuf Asy’ari meminta bank-bank tidak menaikkan dulu bunga KPR subsidi. Pengembang pun diminta tidak menaikkan harga rumah sederhana sehat. ”Daya beli masyarakat makin rendah,” katanya. Apalagi dari target pembangunan 200 ribu unit rumah sederhana, yang terealisasi baru seperempatnya (53 ribu unit).

Nah, untuk meringankan beban para pengembang, Dharma meminta pemerintah memberikan sejumlah insentif agar pasar properti terus bergairah, khususnya untuk pembangunan rumah sederhana.

Kebijakan pemerintah Malaysia bisa dijadikan contoh. Di sana, biaya izin membangun dan sertifikat dipangkas. Lumayan, soalnya komponen ini memakan biaya 10 persen dari harga rumah.

Stepanus S. Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus