Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBAHAGIAAN sejumlah menteri ekonomi dalam menyongsong Lebaran tahun ini sedikit terganggu. Meski 1 Syawal tinggal sehari lagi, mereka masih harus ”berkumpul” di rumah pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, Jawa Barat.
Kedatangan para menteri ke rumah bosnya itu, Rabu 2 November lalu, tentu bukan untuk silaturahmi dan saling bermaaf-maafan, karena Lebaran memang belum tiba, melainkan untuk sebuah rapat penting yang khusus digelar Presiden.
Gara-garanya, sehari sebelumnya keluar pengumuman terbaru Badan Pusat Statistik, yang menyebutkan inflasi sepanjang Oktober mencapai 8,7 persen! Inilah inflasi bulanan tertinggi dalam empat tahun terakhir, yang rata-rata di bawah 1 persen.
Dengan lonjakan drastis itu, inflasi tahun berjalan pun (Januari-Oktober) langsung membubung ke angka 15,65 persen—jauh di atas perkiraan pemerintah untuk tahun ini yang 8,6 persen. Sedangkan inflasi tahunan (year on year) mencapai 17,89 persen.
Kenaikan harga bahan bakar minyak—rata-rata 126 persen—yang dilansir pemerintah pada 1 Oktober lalu dituding sebagai biang keladinya. Menurut Kepala BPS, Choiril Maksum, dari laju inflasi 8,7 persen itu, 3,47 persen merupakan dampak kenaikan harga bensin, minyak tanah, dan solar. Komponen transportasi menyumbang 2,08 persen.
Dengan meroketnya tingkat kenaikan harga barang dan jasa ini, secara otomatis target inflasi satu digit dalam setahun yang dipatok pemerintah amburadul. Karena itulah, Menteri Perekonomian Aburizal Bakrie pun terpaksa merevisi perkiraannya.
Inflasi hingga akhir tahun diproyeksikan bisa mencapai 17 persen. Padahal, dalam perbincangan dengan Tempo, 26 Oktober lalu, Aburizal masih menampik taksiran Bank Indonesia: inflasi bisa mencapai 14 persen. ”Kalau saya, 12 persen sampai akhir tahun,” katanya saat itu.
Dalam rapat yang berlangsung tiga jam itu, menurut Aburizal, Presiden menegaskan bahwa arah ekonomi nasional sudah benar. Aburizal pun yakin inflasi pada November dan Desember akan berada di bawah satu persen. Bahkan, kata Ical—sapaan akrab Aburizal—pemerintah dan bank sentral telah sepakat mempertahankan tingkat inflasi tahunan pada akhir 2006 sebesar 7-8 persen.
Apa pun yang dikatakan Aburizal, gonjang-ganjing inflasi membuat arus desakan agar Presiden segera merombak kabinet kian deras. Bahkan kabar bakal dibentuknya Dewan Ekonomi Nasional pun kembali tersiar.
Isu ini mulai menyala lagi terutama setelah Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Soetrisno Bachir, mengungkapkan isi perbincangannya dengan Presiden di kediamannya, Kamis siang tiga pekan lalu. Menurut pengusaha asal Pekalongan ini, dalam perbincangan empat mata selama satu jam itu, dibahas soal isu perombakan kabinet. ”Saya katakan reshuffle sebaiknya bukan karena tekanan partai politik,” ujarnya.
Ia pun menunjuk tiga menteri ekonomi yang sebaiknya diganti. ”Dan SBY langsung bilang, ’lho kok cocok dengan penilaian saya’,” ia menuturkan sambil tertawa.
Siapa tiga menteri yang dimaksudnya, Soetrisno menolak memerinci dengan alasan etika politik. Namun, bisik-bisik yang beredar menyebutkan, tiga pos itu adalah Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Koperasi.
Boediono, yang pernah menjadi Menteri Keuangan di zaman Megawati Soekarnoputri, kembali dijagokan untuk mengisi pos lamanya itu. Untuk Menteri Perindustrian muncul nama pengusaha Rachmat Gobel.
Soal figur yang tepat, menurut Soetrisno, mantan Menteri Koperasi Adi Sasono layak dipertimbangkan kembali masuk kabinet. Ia pun terkesan dengan prestasi Boediono. ”Dia termasuk Menteri Keuangan terbaik,” katanya. ”Tapi, saya dengar dia tidak mau lagi jadi menteri.”
Boediono juga disebut-sebut menjadi calon kuat buat menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Menko Perekonomian. Calon lainnya adalah Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro. ”Jika Boediono jadi Menko, Menteri Keuangan kemungkinan digantikan Sri Mulyani Indrawati,” kata sumber Tempo.
Sejumlah nama lain yang juga mulai digadang-gadang untuk menggantikan pejabat lama adalah Menteri Perhubungan Hatta Radjasa dan Menteri Komunikasi Sofyan Djalil. Hatta kabarnya diplot untuk mengisi pos Menteri Energi, sedangkan Sofyan bakal menggantikan Menteri BUMN Sugiharto. Di kementerian ini, Sofyan memang pernah menjabat deputi semasa dipimpin Tanri Abeng.
Nama Boediono kian santer disebut-sebut setelah doktor ekonomi lulusan Wharton School, Pennsylvania, Amerika Serikat, ini masuk dalam Tim 45 yang menggodok pidato Presiden di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, bulan lalu. Tim itu terbagi atas tiga kelompok. Dalam kelompok ekonomi, selain Boediono juga terdapat Presiden Direktur Danareksa, Lin Che Wei, dan sejumlah ekonom lainnya, seperti Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Rizal Ramli, Sjahrir, dan Anny Ratnawati.
Menurut salah seorang anggota tim ekonomi kabinet, Boediono sebetulnya dulu diminta Presiden Yudhoyono untuk kembali menjabat Menteri Keuangan di masa pemerintahannya. Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang berlatar belakang pengusaha, kabarnya, menilai dosen senior Universitas Gadjah Mada ini terlalu ”pelit” dan konservatif dalam mengatur bujet negara. ”Karena itu, dia baru mau menerima jabatan itu kalau tawaran datang langsung dari Jusuf Kalla,” kata sumber tadi.
Ketika ditemui di rumahnya di Sawitsari, Sleman, Yogyakarta, Boediono menolak berkomentar tentang kemungkinan penunjukan dirinya. ”Kalau masalah ini, saya tidak akan berkomentar apa pun,” katanya kalem.
Lalu, apa kata para menteri yang kursinya kini tengah digoyang isu perombakan ini? Menteri Keuangan Jusuf Anwar kepada majalah ini pada awal November pernah menyatakan tak ambil pusing. ”Reshuffle bukan urusan saya,” katanya. ”Urusan saya adalah bekerja dengan baik.” Kalaupun diganti, ujarnya enteng, ”Lebih banyak waktu untuk mengajar dan main golf.”
Nada lebih optimistis datang dari Aburizal. Menurut mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia ini, skor nilainya selama setahun pemerintahan adalah 9. Karena itu, katanya, ”Kalau saya presidennya, saya nggak akan melakukan pergantian.”
Juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng, mengaku tak tahu-menahu ihwal rencana perombakan kabinet. Ia pun menyatakan tak tahu isi pembicaraan empat mata Presiden dengan Soetrisno Bachir. ”Yang saya tahu, Presiden sedang mengevaluasi kinerja kabinet,” ujarnya.
Untuk keperluan evaluasi itulah, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menuturkan bahwa Presiden telah mewajibkan semua menteri membuat laporan kinerjanya selama setahun. Tenggat penyerahan laporan pada 27 Oktober. ”Semua laporan itu akan dianalisis dan digabung dengan masukan berbagai pihak,” katanya.
Dalam upaya mencari masukan itulah, bisa jadi Presiden urun rembuk dengan berbagai pihak, termasuk dengan Soetrisno. Presiden, kata Sudi, dalam merombak kabinet memang tidak akan menerima masukan dari partai politik. ”Presiden akan lebih memperhatikan masukan dari lembaga atau badan profesional sesuai dengan pos menteri di kabinet,” ujarnya.
Adapun laporan yang disampaikan para menteri, selain berisi kinerja setahun, juga dilengkapi laporan tentang penerapan good governance dan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, kata sumber Tempo, ”Sudah barang tentu Presiden tak akan percaya begitu saja.” Karena itulah dibentuk sebuah tim yang membantu Presiden dalam melakukan analisis.
Setiap departemen akan dievaluasi, mana target yang gagal dicapai karena faktor eksternal, mana yang meleset karena hambatan internal, dan mana yang karena memang tak dilakukan. Dari sinilah kata akhir baru diputuskan, siapa yang dipertahankan dan siapa yang terpental dari kabinet.
Metta Dharmasaputra, Efri Ritonga, Wahyu Dhyatmika, Sunariah, Suryani Ika Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo