TAHUN 1972, Indonesia tidak berarti apa-apa dalam barisan negeri
pengekspor pakaianjadi. Kini, Indonesia sudah mulai punya nomor,
tapi masih berada dalam urutan terbawah. Para pengusaha domestik
tidak disangsikan lagi cukup bernafsu mau mengekspor. Setidaknya
mereka sudah sangat tergiur melihat kebutuhan pasar
internasional -terutama Eropah Barat, Amerika dan Australia akan
pakaianjadi makin meluas. Namun mereka merasa pemerintah belum
bersedia menyediakan segala fasilitas yang diperlukan.
Sebaliknya pemerintah sudah merasa mendorong ekspor pakaianjadi
ini. Lantas, apa lagi? Banyak lagi rupanya yang masih
dikehendaki para pengusaha dari pemerintah. Ini umpamanya
terdengar selama diskusi yang berbarengan denan Pekan Garment
'77 di Jakarta (4-6 April).
"Mohon kami tidak dicap sebagai pengusaha cengeng", ir. Wartono
dari pimpinan PIBTI (Persatuan Industri Barang jadi Tekstil
Indonesia) berkata. "Kami tidak meminta fasilitas yang
berlebihan. Kami mengharapkan sekedar iklim yang memungkinkan
bersaing dengan sesama negara anggota ASEAN".
Cengeng atau tidak, mereka jelas tidak mampu bersaing. Padahal
Indonesia lebih beruntung dalam soal pengupahan buruh. Industri
pakaianjadi adalah tergolong padat karya. Konsultan A Hyvarinen
dari Geneva pernah mengemukakan hal itu di sini. Hyvarinen
mengambil contoh: Upah buruh di Hongkong 12 kali dan di Taiwan 5
kali lebih mahal, dibanding di Indonesia. Semustinya Indonesia
bisa bersaing, menurut perhitungannya.
Apa Itu "Batik"?
Hongkong adalah pengekspor pakaian jadi terbesar. Meskipun ada
resesi ekonomi dunia, ekspornya menanjak terus dari US$ 1582
juta di tahun 1973 ke US$ 2166 juta pada tahun 1975. Dan tahun
1976, ada tanda-tanda ekspornya naik lagi melebihi tahun
sebelumnya.
Taiwan yang berpenduduk 16 juta bisa juga meningkatkan ekspor
pakaian jadi mencapai US$ 950 juta pada tahun 1975, dibanding
US$ 790 juta pada tahun 1974 dan US$ 655 juta pada tahun 1973.
Tidak ada pengaruh resesi dunia baginya dalam hal ini.
Tapi di lakarta, para pejabat pemerintah menyalahkan resesi
dunia ini ketika ekspor pakaianjadi Indonesia merosoVke US$ 1,9
juta pada tahun 1975 dibanding US$ 3,3 juta pada tahun 1973 dan
US$ 4 juta pada tahun 1974. Antara lain Badan Pengembangan
Ekspor Nasional bersuara demikian.
Data ekspor pakaian jadi Indonesia masih silang-siur. Satu
instansi dan lainnya memberi angka berbeda. Mungkin karena kacau
pengertian mengenai batik, hasil konfeksi, pakaian jadi atau
barangjadi yang termasuk hasil perajutan. Narnun, bahan batik
mendominasi ekspor garment dari Indonesia. Diduga ekspor garment
Indonesh akan mendekati US$ 5 juta pada tahun 1976. Suatu rekor
baru, tentu saja walaupun itu cuma hampir 10% dari jumlah ekspor
Muangthai dan sekitar 7% dari seluruh ekspor Pilipina.
Jean Kulit Kijang
Upah buruh rendah saja ternyata tidak bisa diandalkan.
Produktivitas masih perlu ditingkatkan, menurut seorang
pengusaha, yang mengharapkan bantuan pemerintah dalam hal ini.
Upah karyawan umpamanya US$ 4 sehari tapi mampu menyelesaikan
500 jahitan. Tingkat upah itu masih rendah dibanding taraf US$ 1
sehari tapi cuma sanggup menyiapkan 100 jahitan.
Umumnya pengusaha meminta pemerintah supaya memberi keringanan
pajak dan bea masuk untuk impor bahan baku yang bisa
dikembalikan kemudian bila diekspor. Jadi, draw-back system yang
berlaku sekarang supaya diperbaiki. Soalnya ialah pemerintah
memperkenankan sistem itu cuma berlaku untuk impor bahan tekstil
yang diperlukan untuk pembikinan pakaian jadi. Jenis bahan
tekstil itu pun dibatasi pemerintah guna melindungi industri
domestik. Umpamanya, bahan jean sudah bisa dibikin di Indonesia,
tapi pengusaha garment masih memerlukan kwalitas impor untuk
bahan bakunya, terutama sekali bila ia hendak mengekspor
produksi pabriknya. Bahan jean bikinan Indonesia sudah dianggap
ketinggalan mode, mengingat selera konsumen luar negeri kini
menyukai jean seperti kulit kijang.
Draw-back system sekarang juga tidak berlaku untuk bahan
penolong seperti kerah kemeja, kancing dan ritsluiting. Bila
fasilitas pengembalian bea masuk diperoleh untuk bahan penolong,
pihak pengusaha merasa daya kompetisinya bisa meningkat di pasar
internasional. Tapi bahan penolong ini sudah menyangkut industri
lain di Indonesia yang juga minta dilindungi.
Jangka waktu sistem itu berlaku cuma untuk 5 bulan. Artinya,
bahan baku musti diolah segera sesudah diimpor dan harus
diekspor kembali dalam jangka 5 bulan. Kalau terlambat,
fasilitas pengembalian bea-masuk jadi batal. Direktur A.
Baramuli dari PT Pacific Star mengatakan pengalamannya bahwa
bahan jean yang diimpornya baru keluar dari pelabuhan sesudah
tiga bulan. "Inilah yang sulit", kata Baramuli. "Banyak
hambatan di pelabuhan. Akibatnya ongkos kita jadi mahal".
Bunga bank yang mahal di sini juga memberatkan ongkos. Di
Indonesia sukubunga 18% setahun, sedang di Hongkong 5«% di
Singapura 7%, di Kuala Lumpur 7«%. Makin lambat diekspor, makin
besar bunga.
Bagi pengusaha garment Indonesia, biaya angkutan juga mahal di
sini dibanding di tempat lain. Ongkos mengurus cargo untuk
ekspor di Hongkong l.k. US$ 0.10 per lusin, misalnya, sedang di
Indonesia US$ 0.40.
Tak Gembira
Bahan terbuang (waste and rejects) yang terjadi di industri
garment belum memperoleh keringanan dalam draw-back system kita.
Ini juga membuat para pengusaha tidak gembira.
"Kalau mau menggalakkan ekspor pakaian jadi", kata Presdir Max
Mulyadi dari PT Mulia Knitting Factory, "Indonesia patut
mencontoh Taiwan atau Korea Selatan, di mana pemerintah
betul-betul mendorong".
Pemerintah mungkin sudah mendorong, tapi kebijaksanaannya masih
memperlakukan industri garment untuk tujuan pengganti impor,
belum sepenuhnya untuk tujuan ekspor. Sebagai pengganti impor,
industri garment Indonesia sudah sukses, mampu melayani pasar
domestik.
Sampai 5 atau 6 tahun lalu, konsumen Indonesia masih keranjingan
pakaian jadi berasal impor. Karenanya, para pengusaha sengaja
memilih label yang berbau asing supaya menimbulkan kesan impor.
Di Tanah Abang, misalnya, label itu banyak dijual orang.
Sekarang pun masih begitu, tapi konsumen kini sudah terbiasa
dengan bikinan domestik, walau kemeia bernama Manhattan atau
tidak.
Cuma Manhattan yang dijahit PT Like Spring dengan lisensi
Amerika sesungguhnya berhak beredar di negeri ini dengan label
impor. Meskipun begitu, banyak pula celana jean Levis dibikin di
sini tanpa lisensi. Konsumen awam tidak membedakan lagi apakah
impor atau tidak.
Memang para pengusaha sudah tidak terdengar mengeluh dalam soal
pasar domestik. Tapi kesempatan melakukan ekspor terbuka luas
pula. Kenapa tidak? Menurut data Asia Textile, Pasaran Bersama
Eropa mengimpor pakaian jadi seharga US$ 2800 juta dan Amerika
Serikat mengimpornya pula sebanyak US$ 3400 juta setahun.
Ada gagasan supaya Indonesia sedikitnya bisa mengekspor seharga
US$ 300 juta setahun. "Seandainya Bonded Warehouse Indonesia
sudah dapat berfungsi, itu bisa dicapai", kata seorang pejabat
PT BWI.
Semua kesulitan pengusaha dalam hal pajak dan bea-masuk serta
biaya angkutan memang bisa diatasi jika PT BWI mengelola zone
pengolahan ekspor. Peraturan pemerintah untuk itu sudah ada.
Karena satu instansi dengan lainnya berbeda tafsiran,
realisasinya masih sulit. Perlu lebih banyak diskusi lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini