Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Buruh Murah, Tapi Ekspor Susah

Indonesia menduduki urutan terbawah dalam deretan negeri pengekspor pakaian jadi. Pengusaha mengharapkan agar pemerintah bisa menurunkan bea masuk untuk impor bahan baku.(eb)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN 1972, Indonesia tidak berarti apa-apa dalam barisan negeri pengekspor pakaianjadi. Kini, Indonesia sudah mulai punya nomor, tapi masih berada dalam urutan terbawah. Para pengusaha domestik tidak disangsikan lagi cukup bernafsu mau mengekspor. Setidaknya mereka sudah sangat tergiur melihat kebutuhan pasar internasional -terutama Eropah Barat, Amerika dan Australia akan pakaianjadi makin meluas. Namun mereka merasa pemerintah belum bersedia menyediakan segala fasilitas yang diperlukan. Sebaliknya pemerintah sudah merasa mendorong ekspor pakaianjadi ini. Lantas, apa lagi? Banyak lagi rupanya yang masih dikehendaki para pengusaha dari pemerintah. Ini umpamanya terdengar selama diskusi yang berbarengan denan Pekan Garment '77 di Jakarta (4-6 April). "Mohon kami tidak dicap sebagai pengusaha cengeng", ir. Wartono dari pimpinan PIBTI (Persatuan Industri Barang jadi Tekstil Indonesia) berkata. "Kami tidak meminta fasilitas yang berlebihan. Kami mengharapkan sekedar iklim yang memungkinkan bersaing dengan sesama negara anggota ASEAN". Cengeng atau tidak, mereka jelas tidak mampu bersaing. Padahal Indonesia lebih beruntung dalam soal pengupahan buruh. Industri pakaianjadi adalah tergolong padat karya. Konsultan A Hyvarinen dari Geneva pernah mengemukakan hal itu di sini. Hyvarinen mengambil contoh: Upah buruh di Hongkong 12 kali dan di Taiwan 5 kali lebih mahal, dibanding di Indonesia. Semustinya Indonesia bisa bersaing, menurut perhitungannya. Apa Itu "Batik"? Hongkong adalah pengekspor pakaian jadi terbesar. Meskipun ada resesi ekonomi dunia, ekspornya menanjak terus dari US$ 1582 juta di tahun 1973 ke US$ 2166 juta pada tahun 1975. Dan tahun 1976, ada tanda-tanda ekspornya naik lagi melebihi tahun sebelumnya. Taiwan yang berpenduduk 16 juta bisa juga meningkatkan ekspor pakaian jadi mencapai US$ 950 juta pada tahun 1975, dibanding US$ 790 juta pada tahun 1974 dan US$ 655 juta pada tahun 1973. Tidak ada pengaruh resesi dunia baginya dalam hal ini. Tapi di lakarta, para pejabat pemerintah menyalahkan resesi dunia ini ketika ekspor pakaianjadi Indonesia merosoVke US$ 1,9 juta pada tahun 1975 dibanding US$ 3,3 juta pada tahun 1973 dan US$ 4 juta pada tahun 1974. Antara lain Badan Pengembangan Ekspor Nasional bersuara demikian. Data ekspor pakaian jadi Indonesia masih silang-siur. Satu instansi dan lainnya memberi angka berbeda. Mungkin karena kacau pengertian mengenai batik, hasil konfeksi, pakaian jadi atau barangjadi yang termasuk hasil perajutan. Narnun, bahan batik mendominasi ekspor garment dari Indonesia. Diduga ekspor garment Indonesh akan mendekati US$ 5 juta pada tahun 1976. Suatu rekor baru, tentu saja walaupun itu cuma hampir 10% dari jumlah ekspor Muangthai dan sekitar 7% dari seluruh ekspor Pilipina. Jean Kulit Kijang Upah buruh rendah saja ternyata tidak bisa diandalkan. Produktivitas masih perlu ditingkatkan, menurut seorang pengusaha, yang mengharapkan bantuan pemerintah dalam hal ini. Upah karyawan umpamanya US$ 4 sehari tapi mampu menyelesaikan 500 jahitan. Tingkat upah itu masih rendah dibanding taraf US$ 1 sehari tapi cuma sanggup menyiapkan 100 jahitan. Umumnya pengusaha meminta pemerintah supaya memberi keringanan pajak dan bea masuk untuk impor bahan baku yang bisa dikembalikan kemudian bila diekspor. Jadi, draw-back system yang berlaku sekarang supaya diperbaiki. Soalnya ialah pemerintah memperkenankan sistem itu cuma berlaku untuk impor bahan tekstil yang diperlukan untuk pembikinan pakaian jadi. Jenis bahan tekstil itu pun dibatasi pemerintah guna melindungi industri domestik. Umpamanya, bahan jean sudah bisa dibikin di Indonesia, tapi pengusaha garment masih memerlukan kwalitas impor untuk bahan bakunya, terutama sekali bila ia hendak mengekspor produksi pabriknya. Bahan jean bikinan Indonesia sudah dianggap ketinggalan mode, mengingat selera konsumen luar negeri kini menyukai jean seperti kulit kijang. Draw-back system sekarang juga tidak berlaku untuk bahan penolong seperti kerah kemeja, kancing dan ritsluiting. Bila fasilitas pengembalian bea masuk diperoleh untuk bahan penolong, pihak pengusaha merasa daya kompetisinya bisa meningkat di pasar internasional. Tapi bahan penolong ini sudah menyangkut industri lain di Indonesia yang juga minta dilindungi. Jangka waktu sistem itu berlaku cuma untuk 5 bulan. Artinya, bahan baku musti diolah segera sesudah diimpor dan harus diekspor kembali dalam jangka 5 bulan. Kalau terlambat, fasilitas pengembalian bea-masuk jadi batal. Direktur A. Baramuli dari PT Pacific Star mengatakan pengalamannya bahwa bahan jean yang diimpornya baru keluar dari pelabuhan sesudah tiga bulan. "Inilah yang sulit", kata Baramuli. "Banyak hambatan di pelabuhan. Akibatnya ongkos kita jadi mahal". Bunga bank yang mahal di sini juga memberatkan ongkos. Di Indonesia sukubunga 18% setahun, sedang di Hongkong 5«% di Singapura 7%, di Kuala Lumpur 7«%. Makin lambat diekspor, makin besar bunga. Bagi pengusaha garment Indonesia, biaya angkutan juga mahal di sini dibanding di tempat lain. Ongkos mengurus cargo untuk ekspor di Hongkong l.k. US$ 0.10 per lusin, misalnya, sedang di Indonesia US$ 0.40. Tak Gembira Bahan terbuang (waste and rejects) yang terjadi di industri garment belum memperoleh keringanan dalam draw-back system kita. Ini juga membuat para pengusaha tidak gembira. "Kalau mau menggalakkan ekspor pakaian jadi", kata Presdir Max Mulyadi dari PT Mulia Knitting Factory, "Indonesia patut mencontoh Taiwan atau Korea Selatan, di mana pemerintah betul-betul mendorong". Pemerintah mungkin sudah mendorong, tapi kebijaksanaannya masih memperlakukan industri garment untuk tujuan pengganti impor, belum sepenuhnya untuk tujuan ekspor. Sebagai pengganti impor, industri garment Indonesia sudah sukses, mampu melayani pasar domestik. Sampai 5 atau 6 tahun lalu, konsumen Indonesia masih keranjingan pakaian jadi berasal impor. Karenanya, para pengusaha sengaja memilih label yang berbau asing supaya menimbulkan kesan impor. Di Tanah Abang, misalnya, label itu banyak dijual orang. Sekarang pun masih begitu, tapi konsumen kini sudah terbiasa dengan bikinan domestik, walau kemeia bernama Manhattan atau tidak. Cuma Manhattan yang dijahit PT Like Spring dengan lisensi Amerika sesungguhnya berhak beredar di negeri ini dengan label impor. Meskipun begitu, banyak pula celana jean Levis dibikin di sini tanpa lisensi. Konsumen awam tidak membedakan lagi apakah impor atau tidak. Memang para pengusaha sudah tidak terdengar mengeluh dalam soal pasar domestik. Tapi kesempatan melakukan ekspor terbuka luas pula. Kenapa tidak? Menurut data Asia Textile, Pasaran Bersama Eropa mengimpor pakaian jadi seharga US$ 2800 juta dan Amerika Serikat mengimpornya pula sebanyak US$ 3400 juta setahun. Ada gagasan supaya Indonesia sedikitnya bisa mengekspor seharga US$ 300 juta setahun. "Seandainya Bonded Warehouse Indonesia sudah dapat berfungsi, itu bisa dicapai", kata seorang pejabat PT BWI. Semua kesulitan pengusaha dalam hal pajak dan bea-masuk serta biaya angkutan memang bisa diatasi jika PT BWI mengelola zone pengolahan ekspor. Peraturan pemerintah untuk itu sudah ada. Karena satu instansi dengan lainnya berbeda tafsiran, realisasinya masih sulit. Perlu lebih banyak diskusi lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus