Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengkritik rangkaian kebijakan pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah kebijakan pemerintah yang dimaksud itu mulai dari penetapan harga eceran tertinggi atau HET minyak goreng, mewajibkan eksportir memasok CPO ke dalam negeri (DMO), hingga penerapan harga DPO atau Domestic Price Obligation.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Bustanul Arifin yang juga ekonom senior Indef ini, kebijakan itu malah mendorong pembentukan harga yang lebih tinggi di pasar domestik. "Pedagang menjual dengan harga mahal, konsumen memborong persediaan di pasar," katanya dalam diskusi daring, Rabu, 23 Februari 2022.
Padahal, menurut dia, yang juga penting, adalah strategi edukasi konsumen tentang jaminan ketersediaan minyak goreng dan pola hidup sehat dengan cara mengurangi konsumsi minyak goreng. Utamanya, pada masa transisi pembentukan harga keseimbangan baru minyak goreng.
"Pelaksanaan kebijakan HET tidak mudah diawasi, memerlukan biaya mahal, menimbulkan potensi konflik sosial," kata Bustanul. "Kebijakan HET dalam bentuk Peraturan Menteri lebih bersifat administratif, tidak dapat menjatuhkan sanksi pidana."
Lebih jauh, menurut dia, kebijakan ideal dalam menahan gejolak harga minyak goreng adalah dengan pemberian subsidi ke golongan masyarakat yang membutuhkan. Caranya bisa dengan integrasi dengan kartu sembako kepada konsumen tidak mampu. "Tidak hanya melalui HET," ucapnya.
Dari sisi stok minyak goreng di dalam negeri, kata Bustanul, seharusnya tidak ada kelangkaan karena produksi komoditas itu terus naik. Dari hulunya, di sektor minyak kelapa sawit, luas areal kelapa sawit pada tahun lalu mencapai 16,5 juta hektare dan bisa memproduksi 53,5 juta ton CPO.
"Kelapa sawit mampu menghasilkan volume minyak nabati paling efisien dibanding minyak nabati lain di dunia seperti minyak kedelai, minyak matahari, minyak rapa, dan lain-lain," ucap Bustanul.
Di awal-awal pandemi Covid-19, ketika harga CPO global yang jeblok, pemerintah Indonesia memilih kebijakan menggenjot target transisi energi dan pengembangan biofuel B-30. Walhasil, dalam dua tahun terakhir, pemanfaatan untuk energi naik 24 persen, pangan turun 14,6 persen.
Ketika belakangan harga CPO melambung hingga 100 persen, harga minyak goreng terkerek sampai melampaui level Rp 20 ribu per kilogram. "Hal ini yang kemudian menimbulkan persoalan baru di dalam negeri, sedikit meningkatkan laju inflasi," katanya.
Ombudsman RI sebelumnya menemukan hingga kini stok minyak goreng di pasar modern maupun tradisional di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua masih langka. Harga komoditas itu khususnya di pasar tradisional, bahkan melampaui HET yang dipatok Rp 14 ribu per liter.
“Stok sangat terbatas di Aceh. Di pasar tradisional, harga minyak curah sampai Rp 15 ribu per liter,” ujar Kepala Asisten Bidang Pencegahan Malaadministrasi Ombudsman Aceh Muammar dalam konferensi pers pada Selasa, 22 Februari 2022.
Ombudsman melalui kantor perwakilan di daerah melakukan pengamatan terhadap stok dan harga minyak goreng dalam dua pekan terakhir. Pengamatan dilakukan setelah pemerintah mengeluarkan aturan mengenai HET disertai kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
Kondisi di Aceh juga dirasakan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Kepala Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat Yunesa Rahman mengatakan di pinggiran Kota Padang, stok minyak goreng di pasar kaget sampai minimarket tiris. Stok tersedia pada pagi hari, namun saat petang bahan pokok ini sudah lenyap dari rak.
Di Kalimantan Tengah, minyak goreng kemasan premium dengan harga Rp 14 ribu di pasar modern nyaris kosong. Stok tersedia di pasar atau toko tradisional, namun harga kemasan menembus Rp 22 ribu per liter.
Adapun di Jayapura, distribusi minyak goreng ke pasar modern masih sangat terbatas. Pembelian oleh masyarakat dibatasi maksimal 2 liter per orang. “Sedangkan di pasar, yang tersisa hanya stok lama dengan harga Rp 20-24 ribu per liter,” ujar Perwakilan Ombudsman Papua, Melania Pasifika Kirihio.
MUTIA YUANTISYA | FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.