Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA ditunjuk bosnya memimpin penelitian membuat kanvas rem dari ampas tebu, Agus Suhardjono cuma bondo nekat. Karyawan Pabrik Gula Rajawali II Cirebon, Jawa Barat, itu pun tak akrab dengan teknologi ini. ”Namanya juga bonek, modal saya cuma yakin bisa,” katanya tergelak kepada Tempo, pekan lalu.
Ketika itu awal 2004, tiga tahun setelah PT Graha Artha Citra, perusahaan suku cadang kendaraan bermotor dari Jakarta, datang menawarkan kerja sama memanfaatkan bagas—ya ampas tebu itu. Ditunggu-tunggu, tak ada tindak lanjut. Manajemen Rajawali II pun memutuskan jalan sendiri.
Selama enam bulan, Agus dan 20 anak buahnya berkutat di laboratorium, meracik dan menemukan formula yang pas. Lewat buku dan Internet, ia mengetahui zat campuran, lama pembuatan, suhu, dan tekanan. Dari 450 racikan yang dibuat, hanya satu yang paling sempurna.
Hasil uji Laboratorium Metalurgi Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung menunjukkan tingkat keausan bagas 1,18 mm3/mm gesekan. Badan Standar Nasional Indonesia menetapkan tingkat keausan kanvas rem 0,18-2,8 mm3/mm. Bagas, dengan begitu, paling memenuhi standar dibanding sabut kelapa, serat jagung, atau kulit kayu.
Rajawali kemudian membentuk PT Inti Bagas Perkasa pada awal 2005. Modalnya Rp 9,5 miliar, untuk membeli 16 mesin cetak, tungku pemanas, membayar tenaga ahli, dan mendirikan pabrik di lahan bekas Pabrik Gula Jatiwangi, Majalengka, seluas 1,6 hektare.
Tak ingin idenya ditiru orang, Agus, 50 tahun, mendaftarkan hasil eksperimennya ke Direktorat Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan World Intellectual Property Organization. Di dua lembaga itu, kanvas yang diberi nama Gasrem itu menduduki urutan pertama. Menurut Deni Verdian, peneliti metalurgi UI, laboratoriumnya baru pertama kali menguji kanvas dari ampas tebu ini.
Bagas memang masih lebih rapuh dibanding asbes—bahan baku umum bantalan rem—yang habis 0,9 mm3/mm. ”Justru karena itu bagas tak merusak cakram, karena lentur,” kata Deni. Karbon akibat gesekan mudah bersekutu dengan udara atau tanah, sehingga tak tergolong zat karsinogen penyebab kanker.
Dengan hasil penelitian yang meyakinkan itu, 9.000 set kanvas dibuat untuk dicoba pada kendaraan umum. Manajemen Rajawali mewajibkan kar-yawan memasangnya di kendaraan mereka. ”Lumayan juga,” kata Rudi, 40 tahun. Sudah setahun ini kanvas yang dipasang di sepeda motor karyawan Rajawali itu belum diganti.
Adapun yang dipasang di angkutan kota baru gundul setelah dipakai enam bulan, dan mobil pribadi sepuluh bulan. PT Inti makin percaya diri ketika mencetak 85 ribu set untuk disebar di Jawa dan Bali, pertengahan tahun lalu. Apalagi Gasrem harganya Rp 13.500-Rp 40.000, setengah harga kanvas asbes.
Ongkos produksi bisa ditekan karena bahan bakunya melimpah. Setiap hari ada 1.400 ton bagas dari seluruh pabrik gula di wilayah Cirebon. Hanya 150 ton yang diangkut ke PT Inti, sisanya dijual Rp 150 per kilogram untuk bahan bakar pabrik tekstil. Karyawannya juga sedikit, hanya 120 pekerja bergaji Rp 650 ribu per orang.
Cara membuatnya? Tak repot amat. Onggokan bagas dijemur hingga kering, sebelum dibakar di atas tungku bersuhu 600 derajat Celsius. Arang hasil pembakaran kemudian dicampur dengan binder padat, phenolic resin, dan zat aditif sebelum naik cetak dalam suhu 200 derajat Celsius. Adonan dalam cetakan itu kini sudah berbentuk kanvas rem. Satu kanvas hanya butuh 200 gram arang.
PT Inti kini mencetak Gasrem untuk 22 jenis kendaraan, termasuk kereta api. Hino, perusahaan truk dari Jepang, menyatakan minat menguji kelaikannya, tapi belum ada tanggapan hingga kini.
Di pasar lokal, Gasrem belum terlalu dikenal. Tim pemasaran PT Rajawali Nusindo, sebagai distributor, sampai harus menyertakan uang jaminan ke toko dan bengkel-bengkel. Enam bulan masa perkenalan, Gasrem kini mulai dilirik pembeli di Tangerang, Purwokerto, Surabaya, dan Bali. Perusahaan perakitan kendaraan bermotor juga mulai tertarik.
Omzetnya mencapai Rp 2 miliar sebulan. Mulai tahun depan kanvas yang dicetak dan dipasarkan ditargetkan tembus 1,2 juta. Meski penjualan belum lancar, Agus yakin, Gasrem bisa bersaing bahkan dengan kanvas Cina yang supermurah. ”Tiga tahun lagi kami akan jadi raja kanvas,” katanya.
Bagja Hidayat, Ivansyah (Majalengka)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo