Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANDAS sudah rencana Manila Water Company (MWC) mengambil alih pengelolaan air di Jakarta. Harapan itu pupus setelah Perusahaan Air Minum Jakarta (PAM Jaya) menegaskan kepada PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) bahwa mereka tak menyetujui peralihan saham Palyja ke anak usaha MWC, Manila Water South Asia Holding. "Kami akan menyampaikan kepada bursa ihwal perkembangan transaksi ini setelah mendapat cukup informasi," kata Asisten Sekretaris Perusahaan MWC Jhoel P. Raquedan dalam pemberitahuan mereka kepada Bursa Efek Filipina, awal Juli lalu.
Sembilan bulan sebelumnya—juga di Bursa Efek Filipina—MWC mengumumkan telah meneken perjanjian untuk membeli 51 persen saham Palyja (sales and purchase agreement/SPA). Mereka mengincar konsesi pengelolaan air di sisi sebelah barat Kali Ciliwung di Provinsi DKI Jakarta, yang dipegang Palyja. Tapi rencana itu tak bisa segera terwujud lantaran Suez Environnement, perusahaan asal Prancis yang menguasai 51 persen saham Palyja, belum mengantongi restu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat menandatangani SPA. Padahal dalam kontrak jelas disebutkan bahwa pengalihan saham harus melalui izin dari pemerintah Jakarta.
Peluang makin tipis bagi MWC karena pemerintah DKI Jakarta justru memanfaatkan momentum ini untuk mengambil alih pengelolaan air di Jakarta. "Kami menolak jual ke Manila Water," ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Selasa pekan lalu. Ahok—sapaan akrab Basuki—memahami ada banyak kelemahan dalam kontrak pengelolaan air PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra, yang menguasai pengelolaan air di sisi timur Kali Ciliwung.
Kelemahan itu, menurut dia, hanya bisa diperbaiki dengan renegosiasi kontrak. Dan renegosiasi kontrak, kata dia, lebih mudah dilakukan bila anak usaha pemerintah mengambil alih perusahaan pengelolaan air itu. "Kami menawarkan tiga opsi: jual saham ke kami dengan harga wajar, renegosiasi kontrak, atau kami sita kepemilikan mereka," ujar Basuki.
PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang 40 persen sahamnya dimiliki pemerintah DKI, didorong untuk membeli 51 persen saham Suez di Palyja. "Suez bilang hanya mau menjual saham ke perusahaan yang kompeten dan profesional. Mereka enggak punya alasan lagi. Pembangunan Jaya itu perusahaan bagus," Basuki menegaskan. Sisa 49 persen saham Palyja yang saat ini dimiliki PT Astratel Nusantara, kata dia, akan diakuisisi oleh PT Jakarta Propertindo, yang 100 persen dimiliki juga oleh pemerintah DKI.
Basuki bahkan tengah menghitung kemungkinan pemerintah membeli saham Aetra, yang mengelola air minum di sisi timur Jakarta. "Kami ingin jadi pemegang saham mayoritas. Kami ingin menguasai pelayanan air minum di Jakarta. Ngapain sih urusan air minum dikasih ke swasta? Kami mampu untuk itu," ucapnya. Adapun PAM Jaya, kata dia, akan bertindak sebagai regulator bagi dua operator air.
Kepada Philip Jacobson dari Tempo, juru bicara Suez Environnement mengatakan penolakan penjualan saham itu membatalkan kemungkinan untuk merealisasi investasi. "Niat DKI untuk membeli saham bisa menjadi alternatif yang bisa diwujudkan dengan harga yang adil, kondisi yang secara hukum aman, mirip dengan perjanjian yang dijamin pada 2012 dan dalam jangka waktu yang cukup singkat." Saat ini, menurut juru bicara perusahaan, pembicaraan dengan PT Pembangunan Jaya mulai dilakukan.
Rencana pengambilalihan Palyja memang baru dimulai. Perjanjian kerahasiaan pun baru akan diteken dalam waktu dekat. Namun sumber Tempo yang mengikuti proses ini menyebutkan nilai saham itu dipastikan tak jauh dari angka yang ditawarkan Manila Water, yaitu Rp 1,5 triliun. "Jumlah itu bukan cuma untuk membeli saham Suez, melainkan juga saham Astratel," ujar sumber itu.
PT Jakarta Propertindo, kata sumber ini, akan mendanai pembelian saham Astratel di Palyja dengan melepas aset mereka, yakni Mal Pluit Junction, kepada pemilik Emporium Mall, yaitu raja properti Agung Podomoro. Pengambilalihan oleh pemerintah daerah ini pun dinilainya tak akan membuat Astratel serta-merta hengkang dari bisnis air di Ibu Kota. "Saat Jakpro listed di bursa pada 2015, Astratel akan jadi pemegang saham Jakpro. Ibaratnya, untuk soal air, elu lagi-elu lagi."
Direktur Utama PT Jakarta Propertindo Budi Karya Sumadi masih belum mau terbuka soal dana pembelian saham Palyja. "Masih terlalu dini. Due diligence saja belum. Kami belum tahu berapa nilainya," ucap Budi. Dia juga menyebutkan bahwa opsi lego aset Pluit Junction belum final. "Okupansinya memang rendah, tapi belum ada keputusan soal itu."
Sekretaris Perusahaan PT Astratel Nusantara Abiyoso Solihin hanya mengatakan perseroan akan menunggu perkembangan lanjut dari pihak terkait dan para pemangku kepentingan. "Astratel mendukung keputusan yang terbaik untuk semua pihak."
Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Selamat Nurdin mengatakan Dewan juga setuju terhadap langkah yang diambil pemerintah. Ihwal pelepasan aset di Pluit, Selamat mengatakan aset yang dimiliki badan usaha milik daerah merupakan aset yang dipisahkan. "Tapi sebaiknya jangan dijual, dikerjasamakan saja."
MUHAMMAD Reza, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, sejak dulu kecewa terhadap cara pemerintah mengelola air di Jakarta. Bersama kawan-kawannya gabungan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat, ia membentuk Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). Kelompok ini menggugat pemerintah melalui citizen law suit (CLS). Pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, DPRD, PAM Jaya, Aetra, dan Palyja masuk daftar tergugat. Gugatan ini sekarang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Reza, pemerintah lalai dalam memenuhi hak warga negara atas air. Ini dibuktikan dengan buruknya pelayanan air dan sulitnya akses warga Jakarta terhadap air bersih. "Air itu hajat hidup orang banyak, yang mengurus harus negara. Kalau diserahkan ke mekanisme pasar, yang terjadi perusahaan cuma cari untung buat pemegang saham. Kalau jualan handphone, mau cari untung silakan, tapi ini air," kata Reza.
Hermawanto, pengacara KMMSAJ, mengatakan kontrak pengelolaan air melanggar hukum. Dalam Peraturan Daerah Tahun 1992 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, disebutkan yang berwenang dalam kerja sama dengan pihak swasta adalah PAM Jaya atas izin gubernur, DPRD dan badan regulator air. "Kenyataannya, kontrak tahun 1997 itu melangkahi proses itu," ucapnya. Hermawanto juga menekankan adanya kerugian negara yang muncul akibat kontrak itu.
Dalam kontrak itu diatur tarif harus naik setiap enam bulan sekali. Di sisi lain, PAM Jaya dan pemerintah berpotensi menanggung akumulasi kerugian atas beban utang imbalan air (shortfall) sebesar Rp 18,5 triliun. Repotnya, kontrak itu juga menyebutkan ada penalti yang besar bila pemerintah memutusnya secara sepihak sebelum 2022.
Namun, menurut Koalisi Rakyat, pemerintah sebenarnya dapat memutus kontrak yang jelas-jelas merugikan negara itu tanpa membayar penalti dengan menunggu putusan CLS. CLS adalah mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warganya. "Kalau majelis hakim memenangkan gugatan, kontrak batal demi hukum tanpa PAM atau DKI harus membayar," kata Hermawanto.
Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pun mengaku menyadari adanya peluang itu. Namun ia berhitung soal waktu yang akan habis di pengadilan. "Kami sempat berpikir, apa menunggu putusan itu saja. Tapi apa itu sudah pasti menang? Nanti ada naik banding, lalu kasasi. Mau berapa tahun lagi? Dua tahun? Tiga tahun? Target Millennium Development Goals bisa lewat, dong. Target kami, masyarakat mendapat pelayanan air. Akhirnya kami putuskan biarkan business to business saja," ujar Ahok.
Amandra Mustika Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo