Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Putusan Ironis untuk Sang Buron

Lebih dari sewindu menjadi buron, terpidana korupsi Sudjiono Timan kini lepas dari hukuman 15 tahun penjara. Berkat upaya peninjauan kembali yang penuh kejanggalan.

1 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hakim agung Andi Samsan Nganro tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Saat ia berbicara, tangan dan kakinya terus bergerak-gerak, mirip orang gemetar. Berbatang-batang rokok putih dia isap sepanjang obrolan hampir tiga jam, Kamis sore pekan lalu itu. "Terus terang tidak bisa tidur saya," kata Andi di ruang kerjanya di lantai empat gedung Mahkamah Agung.

Beberapa hari terakhir, Andi memang menjadi sorotan banyak orang. Soalnya, bersama tiga hakim agung lain, dia telah membuat putusan kontroversial: mengabulkan permohonan peninjauan kembali Sudjiono Timan. Bekas Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia itu berstatus buron setelah divonis 15 tahun penjara pada akhir 2004.

Setelah menjawab beberapa pertanyaan Tempo, Andi pun mengundang koleganya, Suhadi, ke ruang kerjanya. Suhadi adalah ketua majelis hakim peninjauan kembali perkara Sudjiono. Seperti Andi, Suhadi mengklaim putusan yang membebaskan Sudjiono dari hukuman itu murni didasari pertimbangan hukum.

Klaim Andi dan Suhadi tak meredakan rumor yang telanjur merebak. Akhir pekan lalu, pegiat antikorupsi yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan pun mengadu ke Komisi Yudisial. Mereka meminta Komisi segera memeriksa hakim agung yang membebaskan Sudjiono.

Komisi Yudisial sebenarnya sudah bergerak sebelum koalisi mengadu. Menurut Ketua Komisi Suparman Marzuki, lembaganya membentuk dua tim khusus untuk menelisik dugaan suap dan pelanggaran etik oleh hakim perkara Sudjiono. Kedua tim dibentuk setelah Komisi menerima laporan tiga pekan lalu.

Laporan yang diterima Komisi Yudisial lumayan detail. Pelapor, misalnya, menyebut siapa yang mengantar uang dan siapa yang menolak keras. Tapi Suparman menolak menyebutkan nama-nama itu. "Tim kami masih bekerja. Bila terbukti, kami tak segan memberi rekomendasi keras," ujar Suparman.

1 1 1

Sudjiono Timan, yang biasa dipanggil Yujin, berurusan dengan hukum sejak 2001. Tim jaksa yang dipimpin Fery Wibisono mendakwa dia menyelewengkan uang negara Rp 2,2 triliun. Jaksa pun menuntut Sudjiono dihukum delapan tahun penjara serta diharuskan membayar denda Rp 30 juta dan mengganti kerugian negara Rp 1 triliun.

Dalam berkas dakwaan setebal 475 halaman, jaksa membidik "dosa-dosa" Sudjiono saat menakhodai Bahana sejak 1993. Sebagian terkait dengan perusahaan keuangan di Hong Kong, Kredit Asia Finance Limited. Jaksa meyakini perusahaan ini hanya "kendaraan" Sudjiono untuk menggangsir kas Bahana, sebelum uangnya dialihkan lagi ke perusahaan lain yang juga terkait dengan dia. Kredit Asia ternyata belakangan diketahui milik Agus Anwar, teman dekat Sudjiono.

Indikasi manipulasi juga tercium jaksa saat Bahana mengucurkan utang US$ 19,025 juta ke Penta Investment Limited. Duit itu dipakai Penta membeli saham Philippine Global Communication, perusahaan yang dimiliki Sudjiono bersama Roberto V. Ongpin, Menteri Perdagangan Filipina pada era Presiden Ferdinand Marcos.

Pada 1998, ketika pasar modal digoyang krisis moneter, Sudjiono mendapat tugas khusus dari Kementerian Keuangan. Dia diberi modal Rp 250 miliar berupa Rekening Dana Investasi untuk menstabilkan pasar modal. Tapi Sudjiono memakai uang itu untuk membayar utang, membuka deposito, dan memutarnya di pasar uang antarbank. "Dia menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan negara," kata jaksa Fery pekan lalu.

Di persidangan, Sudjiono didampingi pengacara dari kantor Amir Syamsuddin dan Muhammad Assegaf. Menurut mereka, Sudjiono tak melakukan tindak pidana seperti dakwaan jaksa. Angin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpihak kepada Sudjino. Pada 25 November 2002, majelis hakim yang dipimpin I Gede Putra Djadnya memutus Sudjiono lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag). Hakim menganggap tindakan Sudjiono bukan perbuatan pidana, melainkan perdata.

Tak puas terhadap vonis hakim, jaksa mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 5 Desember 2004, majelis hakim yang dipimpin Bagir Manan mengabulkan permohonan jaksa. Hakim kasasi menyatakan Sudjiono bersalah secara bersama-sama melakukan korupsi. Majelis kasasi lantas menghukum Sudjiono 15 tahun penjara. Ia juga diharuskan membayar denda Rp 50 juta dan mengganti kerugian negara Rp 369 miliar.

Tapi putusan tinggal putusan. Lima hari setelah Mahkamah Agung menolak kasasi Sudjiono, jaksa gagal menjebloskan Sudjiono ke penjara. Dia raib dari dua rumahnya di Jalan Prapanca dan Diponegoro. Sejak itulah Sudjiono dinyatakan buron. Hingga akhir pekan lalu, nama dan foto Sudjiono masih terpampang di situs resmi Interpol.

Dua tahun setelah Sudjiono divonis bersalah, Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang mengagetkan kalangan pegiat antikorupsi. Mahkamah Konstitusi membatalkan penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Penjelasan itu menerangkan perbuatan melawan hukum bisa bersifat formil (melanggar pasal dalam undang-undang) dan bersifat materiil (melanggar rasa keadilan atau rasa kepatutan di masyarakat). Demi kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi memutuskan perbuatan melawan hukum hanya bisa didefinisikan secara formil.

Putusan ini menjadi amunisi baru bagi pihak Sudjiono. Awal tahun lalu, seorang perempuan yang mengaku istri Sudjiono mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Perempuan itu didampingi Hasdiawati, pengacara dari kantor Lucas, SH, and Partners.

Berkas PK masuk ke Mahkamah Agung pada Maret 2012. Sebulan kemudian, Ketua Muda Pidana Korupsi Mahkamah Agung Djoko Sarwoko menunjuk majelis hakim peninjauan kembali. Djoko menjadi ketua majelis didampingi Andi Samsan Nganro dan Abdul Latief sebagai anggota.

Dalam berkas permohonannya, menurut Djoko, pengacara melampirkan akta notaris yang menyebutkan perempuan pemohon peninjauan kembali itu istri Sudjiono. Tapi Djoko mengaku tak ingat nama perempuan itu.

Pengacara dan istri Sudjiono tak mengajukan bukti baru. Mereka hanya mengajukan dalil bahwa hakim kasasi keliru menerapkan hukum. Dasarnya putusan MK itu. Soal ini, Djoko mengklaim berbeda pendapat dengan pemohon dan dua anggota majelis hakim lain. "Saya cenderung menolak karena tak melihat kekeliruan dalam putusan kasasi," ujar Djoko. Toh, Djoko tak segera memutus perkara atau meyakinkan dua koleganya.

Sewaktu berkas perkara ngendon di ruang kerja Djoko, pada 28 Juni 2012, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengeluarkan surat edaran Mahkamah Agung (SEMA). Surat itu meminta hakim menolak permintaan peninjauan kembali oleh kuasa hukum atau ahli waris tanpa dihadiri terpidana. Berkas perkara seperti itu pun tak boleh dilanjutkan ke Mahkamah Agung.

Berkas perkara Sudjiono malah bergulir lagi. Itu setelah Djoko mengirim surat kepada semua hakim agung pidana korupsi pada November 2012. Djoko meminta agar tunggakan perkara korupsi dipercepat persidangannya. Kala itu, Djoko hampir memasuki masa pensiun.

Pada 20 Desember 2012, Djoko pun menunjuk majelis hakim baru perkara Sudjiono. Mereka adalah Suhadi (ketua), Abdul Latief, Andi Samsan, Sophian Marthabaya, dan Sri Murwahyuni. Soal penambahan hakim ini, Djoko menyatakan, "Agar yang mendukung pendapat saya bertambah."

Berkas perkara Sudjiono lalu ditelaah secara bergiliran. Dari Andi Samsan, berkas mengalir ke Abdul Latief, Sophian Marthabaya, Sri Murwahyuni, dan terakhir Suhadi. Berkas masuk ke meja Suhadi sekitar Mei 2013. Tapi di sini berkas kembali menginap hampir dua bulan. "Saya banyak tunggakan perkara," kata Suhadi beralasan.

Pada 31 Juli 2013, lima majelis hakim akhirnya menyidangkan kasus Sudjiono. Tak ada perdebatan sengit di forum itu. Di akhir sidang, Suhadi dan tiga hakim agung bersuara kompak mengabulkan permohonan istri Sudjiono. Hanya hakim Sri Murwahyuni yang menyatakan beda pendapat (dissenting opinion).

Senada dengan kuasa hukum istri Sudjiono, Suhadi dan tiga hakim agung menilai putusan hakim kasasi mengandung kekeliruan. Menurut Suhadi, hakim kasasi memutus Sudjiono bersalah hanya karena dia tak hati-hati dan melanggar kepatutan sewaktu memberikan kredit kepada debitor. "Itu perbuatan melawan hukum materiil yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi," ucap Suhadi.

Suhadi dan tiga koleganya juga sependapat dengan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kerugian negara dalam kasus Sudjiono, menurut mereka, tak bisa dipastikan karena belum ada audit. "Kami melihat ini juga perdata murni," ujar Suhadi.

Berbeda dengan empat koleganya, Sri Murwahyuni berpendapat permohonan peninjauan kembali oleh istri Sudjiono seharusnya ditolak. Alasan dia, istri bukan ahli waris yang otomatis bisa mengajukan permohonan kasasi. Status ahli waris baru muncul bila terpidana telah meninggal. Sudjiono, yang berstatus buron, kata dia, tak patut mengajukan permohonan PK. "Dia melawan hukum, tapi menuntut haknya. Ini ironis."

Hakim agung Gayus Lumbuun juga menyesalkan putusan itu. Gayus menunjuk Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan SEMA 28 Juni 2012 yang mengatur perihal permohonan PK. Ahli waris, menurut dia, baru bisa mengajukan permohonan PK jika terpidana sudah meninggal. "Putusan itu semestinya batal demi hukum," ujarnya.

Sejauh ini belum ada suara dari pihak Sudjiono Timan atau pengacaranya. Rabu pekan lalu, Tempo menyambangi kantor pengacara Lucas di lantai 14 Gedung Metropolitan 1, kawasan Sudirman, Jakarta. Namun di sana tak ada yang bersedia memberi penjelasan. Sekretaris Lucas, Grace, mengatakan Lucas dan pengacara istri Sudjiono sedang berada di luar kota.

Badan Pengawas Mahkamah Agung kini memeriksa para hakim PK Sudjiono itu. Kamis pekan lalu, yang pertama kali diperiksa adalah Sri Murwahyuni. Ketika ditanya Tempo apa yang ditanyakan tim pemeriksa, Sri hanya tersenyum. "Saya tidak bisa cerita," katanya. Kasus PK Sudjiono ini tampaknya akan segera berlanjut ke Komisi Yudisial, yang juga bersiap memanggil para hakim itu.

Jajang Jamaludin, Maria Hasugian, Aryani Kristanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus