Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lokomotif INKA diminati operator kereta barang, khususnya tambang, di beberapa negara.
INKA menjalin kerja sama pengadaan 100 unit lokomotif dan sarana kereta api di Republik Demokratik Kongo.
Di pabriknya di Madiun, Jawa Timur, perusahaan hanya sanggup memproduksi satu unit lokomotif per hari.
JAKARTA – Tak cuma bermain di pasar Asia, PT Industri Kereta Api (Persero) atau INKA kini berupaya memperluas lingkup ekspor lokomotif ke beberapa negara besar lintas benua. Direktur Utama PT INKA, Budi Noviantoro, mengatakan produk mesin penarik rangkaian kereta itu cenderung diminati operator kereta barang, khususnya tambang, di beberapa negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Potensi pasar kami sampai kawasan Afrika. Distribusi tambang mereka masih banyak melalui rel (kereta),” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana membidik pasar Afrika akan ditempuh setelah perusahaan pelat merah ini mengirim tiga lokomotif bersama 15 gerbong kereta api ke Filipina melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Jawa Timur, pada 12 Desember lalu. Pengiriman tersebut merupakan ekspor perdana produk lokomotif yang mereka buat. Kontrak ekspor tersebut bernilai Rp 363 miliar.
Perseroan tercatat pernah mengirim barang serupa ke Filipina pada 1996. Namun lokomotif itu masih hasil kolaborasi, bukan murni rakitan INKA. “Lokomotif murni INKA baru diproduksi pada 2012 dan selama ini baru dipakai di dalam negeri saja,” tutur Budi.
Menurut Budi, pembelian lokomotif INKA sudah masuk dalam kontrak kerja sama pengembangan jaringan kereta api terintegrasi yang sedang dijalin perseroan dengan Republik Demokratik Kongo. Manajemen sudah meneken kontrak sebesar US$ 11,7 miliar. Sebanyak US$ 2,1 miliar dari jumlah itu, ujar dia, difokuskan untuk pengadaan sarana kereta di Kongo. Proyek yang akan dikerjakan dalam delapan tahun tersebut juga mencakup paket pengerjaan rel dan pembangunan berbagai prasarana penunjang perkeretaapian.
Ekspor gerbong kereta api di Terminal Jamrud Utara, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur. Tempo/Aris Novia Hidayat
“Sudah mencakup kontrak lebih dari 100 unit lokomotif, selanjutnya tinggal dipromosikan ke negara lain di sekitar Afrika,” kata dia.
Di Asia Tenggara, perusahaan pun memasarkan produk ini ke negara yang distribusi kargonya masih banyak memanfaatkan jalur darat, seperti Malaysia dan Thailand.
Saat ini, Budi melanjutkan, INKA baru sanggup memproduksi satu unit lokomotif per hari di pabrik yang berada di Madiun, Jawa Timur. Frekuensi perakitannya baru bisa ditingkatkan menjadi dua unit per hari bila pabrik anyar INKA di Banyuwangi sudah beroperasi penuh. Produksi lokomotif tak mudah karena tingkat komponen dalam negeri (TKDN) berkisar 42 persen. Ini berbeda dengan TKDN produksi gerbong kereta yang persentasenya bisa jauh lebih tinggi.
Komponen mesin yang harus dipesan dan diimpor secara berkala pun membuat tarif jual lokomotif lebih tinggi dari produk kereta. “Kalau nilai per unit kereta Rp 5-6 miliar, bergantung pada interior. Sementara itu, lokomotif sampai US$ 3 juta atau sekitar Rp 40 miliar,” ucap Budi.
Kepala Seksi Pengembangan Jaringan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Awang Meindra, membenarkan bahwa potensi penjualan domestik lokomotif INKA masih tinggi seiring dengan pengembangan jaringan rel kereta tambang. Dia mencontohkan distribusi tambang di Sumatera Selatan dan Lampung. “Beberapa operator tambang, seperti PT Bukit Asam, juga masih ingin meningkatkan volume angkutan batu bara dua kali lipat dari volume saat ini,” katanya.
Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika (Dirjen ILMATE) Kementerian Perindustrian, Taufiek Bawazier, mendorong INKA lebih menguatkan inovasinya, dari sistem digitalisasi hingga artificial intelligence.
Senada dengan Taufiek, Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia, Aditya Dwi Laksana, juga menyarankan INKA lebih memperhatikan penguatan kualitas produk ketimbang pemasaran. “Untuk kereta saja PT Kereta Api Indonesia (Persero) lebih sering beli bekas Jepang,” ujar Aditya. "Itu sebabnya INKA harus menguatkan kapasitas produksi agar bisa bersaing."
YOHANES PASKALIS | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo