Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tunjangan hari raya (THR) merupakan kewajiban yang harus dibayarkan pemberi kerja kepada pekerja/buruh paling lama 7 hari sebelum hari raya keagamaan yang diakui di Indonesia. Hal itu diatur dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“THR Keagamaan wajib dibayarkan oleh pengusaha secara penuh dan tidak boleh dicicil,” demikian bunyi poin ke-7 SE Menaker tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THR Keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 bulan secara terus-menerus atau lebih dan bagi pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha sebagaimana perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Bagi pekerja/buruh yang telah memiliki masa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih, berhak mendapatkan THR sebesar 1 bulan upah. Sementara bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 1 bulan secara terus-menerus, tetapi kurang dari 12 bulan atau 1 tahun, THR diberikan secara proporsional dengan sesuai dengan perhitungan masa kerja dikali 1 bulan upah dibagi 12.
Sebagai contoh, A adalah pegawai tetap atau PKWTT di PT XYZ yang telah bekerja selama 2 tahun. Setiap bulannya, dia mengantongi gaji pokok sebesar Rp 7 juta dan tunjangan tetap Rp 3 juta. Maka, THR yang akan didapatkannya sebesar satu kali upah, yaitu Rp 7 juta + Rp 3 juta = Rp 10 juta.
Contoh lainnya, B merupakan karyawan kontrak atau PKWT yang baru bekerja selama 6 bulan di PT KLM. Dia menerima gaji sebanyak Rp 5 juta per bulan. Dengan begitu, besaran THR yang diperoleh B adalah (6 bulan masa kerja/12) x Rp 5 juta = 0,5 x Rp 5 juta = Rp 2,5 juta.
Selanjutnya, SE Menaker Nomor M/2/HK.04/III/2024 juga mengatur pemberian THR bagi pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja harian lepas atau freelance. Bagi pekerja yang telah memiliki masa kerja 12 bulan atau lebih, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.
Sementara bagi pekerja/buruh harian lepas yang memiliki masa kerja kurang dari 1 tahun, upah 1 bulan dihitung berdasarkan upah rata-rata 1 tahun terakhir sebelum hari raya keagamaan.
Misalnya, C adalah freelancer selama 3 bulan. Pada Januari, dia mendapatkan upah Rp 4 juta, pada Februari Rp 5 juta, dan sebesar Rp 6 juta pada Maret. Maka, THR C adalah rata-rata upah setiap bulan, yaitu (Rp 4 juta + Rp 5 juta + Rp 6 juta) dibagi 3 atau Rp 15 juta dibagi 3 menjadi Rp 5 juta.
Kemudian, bagi pekerja/buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil, upah 1 bulan dihitung berdasarkan upah rata-rata 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.
Apabila nilai THR yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama (PKB), atau kebiasaan lebih besar dari nilai THR yang ditetapkan Kemnaker, maka pekerja/buruh berhak mendapatkan THR sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, PKB, atau kebiasaan perusahaan.
MELYNDA DWI PUSPITA
Pilihan Editor: Jokowi Terbitkan Aturan Pencairan THR dan Gaji Ke-13 untuk PNS, Berikut Regulasi dan Besaran Tiap Golongan