Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bocah berumur 19 bulan itu mengerang di pangkuan ibunya. Berkali-kali ia mencoba menggerakkan kaki kirinya yang pegal, Fikri Ramdhani selalu gagal. Gelisah, kali ini dia menggunakan tangan kirinya. Kakinya yang layu, karena polio, tetap diam. Anak pasangan Mumu dan Yayat ini kembali mengerang.
Mumu, penjual es kelapa dorong di kota kecamatan Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, pasrah melihat kondisi anaknya. Istrinya, Yayat, mengakui bahwa Fikri belum pernah divaksinasi. Mumu tak punya uang untuk berobat. Penduduk Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, ini hingga kini belum juga memiliki kartu sehat, surat gratis ke puskesmas, atau rumah sakit yang dijanjikan pemerintah untuk orang tak mampu.
Nasib Saepuloh, 9 tahun, penderita polio lainnya, lebih tragis. Anak kelima Uben dan Warsih yang juga tinggal di Girijaya ini sudah delapan tahun tergolek karena polio. Kaki dan tangannya kecil dan bengkok. Umur setahun, dia terkena panas tinggi. Karena orang tuanya tak punya biaya, dia hanya diobati dengan obat tradisional.
Menjelang dua tahun, Saepuloh mulai sulit menggerakkan tubuhnya. Karena penasaran, Uben dan Warsih membawa anaknya ke puskesmas. Hasilnya mengejutkan. Saepuloh terkena polio. Uben, yang pekerja serabutan, tak punya duit untuk ke dokter. Warsih berjuang mendapatkan secarik surat keterangan tak mampu.
Bolak-balik ke kantor kepada desa, kartu sehat yang diiming-imingkan pemerintah sejak Januari lalu itu tak juga bisa didapatnya. Padahal Kepala Urusan Kesejahteraan Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Acep Sasmita, mengatakan ada 1.200 kartu sehat untuk dusunnya. Dari jumlah itu, baru 300 yang diproses. Itu pun belum selesai karena masih menunggu pendataan warga miskin di desa itu.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, Buhono Thahadibrata, mengatakan pasien polio tak perlu memegang kartu sehat untuk mendapat layanan gratis, baik di puskesmas maupun rumah sakit. "Dananya dari kompensasi BBM," kata Buhono. Perawatan gratis itu karena pemerintah sudah menetapkan kejadian luar biasa untuk polio.
Di Tangerang, lima anak diduga menderita polio dan kini dirawat di rumah sakit. Mereka tak punya masalah karena rata-rata sudah punya kartu sehat. Meski begitu, Dinas Kesehatan tetap membutuhkan dana tambahan untuk imunisasi yang akan dilakukan serentak pada akhir Mei dan Juni mendatang.
Kepala Bidang Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, Yuliah Iskandar, mengatakan Tangerang membutuhkan Rp 1,1 miliar untuk kegiatan itu. Dinas Kesehatan juga akan mendapat tambahan dari pemerintah daerah.
Carut-marut pengucuran dana kompensasi bahan bakar minyak makin mengkristal. Januari lalu, pemerintah menjanjikan tebusan kepada rakyat miskin agar tak terlalu tertekan dampak kenaikan harga BBM. Pemerintah sangat yakin uang ganti rugi itu akan membantu rakyat miskin yang jumlahnya mencapai 36 juta jiwa.
Pemerintah mengalokasikan tebusan Rp 17,6 triliun melalui program yang diberi nama dana kompensasi BBM ini. Duit akan disebar ke empat sektor, yaitu kesehatan, pendidikan, beras miskin, dan infrastruktur untuk desa tertinggal. Rakyat miskin yang mendapat ganjaran ini bisa berobat gratis, sekolah cuma-cuma, dan mendapat beras murah.
Empat bulan sudah sejak janji itu diucapkan. Namun, di lapangan, banyak masyarakat yang belum tersentuh. Jangankan berobat gratis, kebutuhan sehari-hari seperti beras dan biaya pendidikan juga tak kunjung datang. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan sudah membagikan 20 juta kartu sehat kepada rakyat miskin di seluruh Indonesia. Sisanya akan dibereskan akhir Juli mendatang. Itu janji sang Menteri, pertengahan April lalu.
Mengutip data Ibu Menteri, berarti hampir lebih dari 50 persen orang miskin sudah mendapat kartu sehat. Tapi Warsih di Sukabumi, yang jaraknya hanya empat jam dari Jakarta, tempat pusat kekuasaan berada, tak kunjung bisa mendapat kartu sehat itu, kartu sakti yang sangat dibutuhkannya bagi pengobatan anaknya yang sudah delapan tahun menderita polio.
Direktur Sumber Daya Mineral-Pertambangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bemby Uripto, mengakui ada banyak kendala dalam mendistribusikan dana itu. Yang paling utama adalah karena dari Rp 17,6 triliun yang direncanakan, belum seluruhnya disetujui DPR. "Baru Rp 7,3 triliun yang diketok palu, itu pun karena sudah ada dalam APBN 2005," katanya. Pemerintah, katanya, sudah berupaya agar DPR segera menyetujuinya sehingga sisa dana bisa segera dicairkan.
Namun, kalau menilik jauh ke dalam, persoalan tak hanya ada di Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah sangat tak siap menjalankan program yang sudah digeber sejak Oktober 2004. Ini terekam dalam sejumlah jawaban Bemby, yang mengakui banyak keruwetan di lapangan. Contoh paling kasatmata adalah data penduduk miskin yang tak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah.
Bappenas menggunakan data orang miskin dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menghitung anggaran yang dibutuhkan. Di lapangan, data itu tak banyak bicara karena tak sesuai dengan fakta yang ada. Di beberapa daerah seperti Tangerang dan Cirebon, jumlah penduduk miskinnya jauh lebih banyak dari yang diperkirakan.
Akibatnya, ratusan ribu orang tak berpunya di daerah itu harus gigit jari. Kartu sehat yang mereka idamkan sulit mereka dapatkan. Mungkin Warsih hanya satu dari ratusan ribu yang bernasib sial itu karena tak tercantum dalam data BPS dan BKKBN.
Bemby meminta agar pemerintah daerah berinisiatif menyelesaikan masalah ini. Pemerintah setempat sebaiknya menggunakan sebagian dari anggaran yang mereka miliki bagi masyarakat yang tidak tercatat itu. "Ini bagian dari pelayanan pemerintah daerah," katanya. Dia mengakui semua keruwetan di lapangan. "Memang tak sempurna," katanya, "tapi kalau menunggu sempurna, kita enggak jalan-jalan."
Namun, Bemby mengelak tudingan bahwa soal ini tak diantisipasi pemerintah. Semuanya, katanya, sudah diperkirakan, termasuk jangka waktu pengucuran dana, yang tadinya diprediksi sudah menetes sebulan setelah pemerintah menaikkan harga minyak. Pada kenyataannya, hingga kini masih sedikit dana yang mengucur. Bisa jadi baru beras miskin yang sudah dibagikan di beberapa titik. Bemby mengaku belum tahu berapa persisnya dana yang sudah disalurkan. "Laporannya baru masuk Juni nanti," katanya.
Susahnya, kata Bemby, pemerintah terhambat peraturan yang mengharuskan adanya persetujuan DPR sebelum bisa menggunakan seluruh dana kompensasi itu. Dia mengharapkan proses di gedung Dewan tak akan berlangsung lama. Tapi, sulit juga mengharapkan proses itu berjalan cepat.
Saat ini ada dua wacana yang berkembang di DPR. Satu kelompok mengatakan dana itu harus melalui ABPN Perubahan lebih dulu. Kelompok yang lain berpendapat pengucuran dana ini tak perlu melalui APBN Perubahan. Tapi, mereka belum menemukan mekanismenya. "Untuk kasus sepenting ini, harusnya ada toleransi," kata Bemby.
Dradjad H. Wibowo dari Komisi Keuangan dan Perbankan mengakui bahwa memang ada wacana yang berbeda soal dana kompensasi BBM. Tapi, katanya, dana kompensasi yang Rp 7,3 triliun sebenarnya bisa dipakai lebih dulu. "Saya perkirakan dana itu baru habis nanti pada Juni atau Juli," kata anggota parlemen dari Partai Amanat Nasional ini.
Pemerintah memang tak bisa sembarangan menjalankan APBN. Prosedur yang ada mengharuskan pemerintah meminta persetujuan DPR. Jika itu tidak dilakukan, pemerintah bisa terkena semprit BPK karena dianggap melanggar peraturan keuangan negara. "Tapi, kalau memang dianggap gawat, mestinya bisa dibuat perkecualian." Agar tak ada lagi kasus seperti di Sukabumi.
Leanika Tanjung, Deden Abdul Aziz (Sukabumi), Ayu Cipta (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo