Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari baru saja terbit mengiringi rutinitas keseharian Burhan. Tapi, Kamis pagi pekan lalu itu ada yang tak lazim. Seusai sarapan, warga sebuah kompleks perumahan di Kota Madya Depok itu tak langsung memacu mobilnya menuju kantornya di kawasan niaga Jalan Sudirman, Jakarta. Ia masih menyempatkan mengelap Mitsubishi Kuda warna perak keluaran 2002 miliknya. ”Biar sedikit kinclong, siapa tahu ada yang tertarik dan mau beli,” katanya.
Bukan lantaran terdesak butuh uang jika hari itu niat melego mobil mampir di benak Burhan. Tapi berita yang ia baca di koran sehari sebelumnya membuatnya berpikir ulang untuk mempertahankan Kuda-nya. Berita itu mengabarkan adanya rencana PT Krama Yudha Kesuma Motors (KKM) menghentikan produksi dua model kendaraan Mitsubishi di Indonesia, yakni sedan Galant dan kendaraan serbaguna (MPV) merek Kuda, mulai 30 Juni mendatang. ”Saya takut nanti repot cari suku cadang,” kata Burhan.
Kekhawatiran konsumen memang sulit dihindari. Berita penutupan ini juga membuat banyak pihak sadar, mekarnya pasar otomotif yang terus terjadi sejak krisis beberapa tahun silam ternyata tak membuat semua produsen otomotif otomatis makmur ketiban rezeki di semua lini. Tahun lalu, rekor penjualan mobil dicapai pada angka lebih dari 422 ribu unit. Tak aneh jika banyak produsen menambah investasinya di Indonesia untuk membangun fasilitas perakitan baru. Agaknya, mereka tak ingin kehilangan peluang untuk memanfaatkan pasar yang tengah meluap (booming).
Tahun ini penjualan mobil diperkirakan akan menembus angka setengah juta unit. Meskipun demikian, tidak berarti setiap produk yang dilempar bisa laris manis diserap konsumen. Salah satu yang justru keteter di tengah riuh-rendah penjualan mobil itu adalah kendaraan-kendaraan penumpang keluaran Mitsubishi seperti sedan Mitsubishi Galant dan MPV Mitsubishi Kuda. Di kelas ini, pabrikan asal Jepang itu harus mengakui keunggulan para pesaingnya seperti Toyota, Honda, atau Isuzu.
Angka penjualan Kuda dan Galant memang terus merosot. Dan itulah alasan mengapa Mitsubishi terpaksa menutup satu pabriknya di Tanjung Priok, Jakarta Utara. ”Keputusannya diambil dalam rapat umum pemegang saham luar biasa, Juli tahun lalu,” kata Direktur Pemasaran PT Krama Yudha Tiga Berlian (KTB), Rizwan Alamsyah. KTB adalah distributor sekaligus agen tunggal pemegang merek Mitsubishi di Indonesia yang bersama-sama Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing (MKM) memiliki KKM. Masing-masing 99 persen dipegang KKM, dan 1 persen dimiliki KTB.
Rata-rata penjualan Galant, kata Rizwan, kini hanya berkisar 10 unit per bulan. Itu pun hanya dipasok untuk para pelanggan setia Mitsubishi, artinya nyaris tak ada konsumen baru yang signifikan. ”Kami juga hanya mematok target 120 unit Galant tahun ini,” katanya. Jumlah lebih banyak masih bisa dibukukan untuk penjualan Kuda, yang tahun ini ditargetkan hingga 2.200 unit, atau rata-rata 200-an unit sebulan.
Tapi angka itu pun masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan rata-rata penjualan merek yang ditawarkan produsen lain di kelas yang sama. Dibandingkan dengan mobil sekelas MPV medium, penjualan Kuda tahun ini diperkirakan hanya mendapat porsi tidak lebih dari tiga persen. Tahun lalu, penjualan Kuda masih lumayan, sekitar 8.400 unit dari total MPV kelas medium sekitar 113 ribu unit.
Angka penjualan Kuda jauh di bawah pemimpin pasar, Toyota Kijang. Dalam beberapa bulan terakhir, Toyota Astra Motor bisa menjual 7.000-an per bulan untuk Inova—keluaran paling gres seri Kijang. ”Tahun ini kami menargetkan bisa menjual 80 ribu Kijang Inova,” kata Manajer Humas dan Marketing Toyota Astra Motor, Hendrayadi Lastiyoso. Di segmen yang belakangan tumbuh paling bergairah, yakni kelas MPV di bawah 1.500 cc, tak banyak lagi peluang bisa dicuri oleh produsen lain setelah Toyota mengeluarkan Avanza.
Angka penjualan Galant dan Kuda yang terlampau kecil itu jelas tak lagi ekonomis untuk diproduksi di dalam negeri. Kapasitas mesin terpasang di pabrik KKM yang saat ini mempekerjakan 309 karyawan, termasuk direksi dan petugas pengamanan, itu baru akan efektif jika volume produksi mencapai setidaknya 1.500 unit kendaraan per bulan. ”Kalau hanya 200-an unit, lebih baik kami impor utuh (completely built up),” kata Rizwan. ”Apalagi sewa lahan pabrik di Tanjung Priok juga akan segera habis.”
Penutupan produksi untuk dua merek itu memang tak sampai menggoyang posisi Mitsubishi sebagai pemain pasar otomotif yang sudah sejak awal 1970-an ada di Indonesia. Tahun ini mereka masih menargetkan penjualan hingga 100 ribu unit, dengan produk-produk andalan di kelas kendaraan niaga atau komersial. Untuk jenis ini, Mitsubishi cukup berjaya. Seperti halnya Toyota memiliki Kijang di segmen MPV, di kelas mobil niaga Mitsubishi memiliki Colt Diesel dengan berbagai tipe yang mampu menguasai pasar di atas 60 persen, dengan rata-rata penjualan 5.000-6.000 unit per bulan.
Untuk memproduksi kendaraan niaga itu, pabrik-pabrik Mitsubishi lain yang berlokasi di kawasan industri Pulogadung, Jakarta Timur, masih aktif seperti biasa. Lebih dari seribu karyawan di sana sama sekali tak terpengaruh dengan rencana penghentian produksi Galant dan Kuda. ”Di sini adem-adem saja,” kata Mualim, salah satu karyawan, kepada Muchamad Nafi dari Tempo. ”Kami di Indonesia akan fokus di kendaraan niaga. Sementara produksi kendaraan penumpang ada di Thailand dan Filipina. Kita akan impor dari mereka,” Rizwan menambahkan.
Dengan pasar ASEAN yang semakin terbuka (AFTA) sejak 2003, praktis tak ada lagi hambatan bagi produsen mobil untuk melakukan strategi seperti Mitsubishi. Sistem yang diikuti dengan berlakunya kesepakatan Common Effective Preference Tariff (CEPT) di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina menetapkan bea masuk yang besarnya hanya tinggal lima persen untuk perdagangan produk dengan kandungan lokal ASEAN minimal 40 persen yang dihasilkan negara-negara ini. Karena itu, kebijakan impor ini dipastikan tak akan terlalu banyak mendongkrak harga.
Selama ini pun KTB sudah melakukan impor dari Thailand untuk sedan Lancer. ”Dengan begitu, konsumen tak perlu khawatir. Merek-merek itu masih akan kami jual di pasar, dan suku cadang pasti kami sediakan selama permintaan masih ada,” kata Rizwan. ”Colt Diesel yang kami produksi tahun 1970-an saja onderdilnya masih kami buat sampai sekarang.” Satu soal terjawab sudah, para pemilik Kuda atau Galant seperti Burhan tak perlu panik, apalagi sampai harus buru-buru menjual mobilnya.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo