SALJU-salju pertama mulai membasahi Wina, ibukota Austria, di
Minggu pagi lalu, bertepatan dengan pembukaan sidang regular
organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Di sebelah
Hotel Inter-Continental, di sebuah lapangan tenis besar, puluhan
anak muda nampak asyik bermain ice-skating, menari-nari di atas
es, tak menghiraukan sidang para menteri OPEC.
Di dalam ruangan Johann Strauss yang gemerlapan dengan nyala
lampu-lampu kristal, tempat berlangsungnya konperensi, juga
terasa suasana akrab. Di luar dugaan banyak orang, delegasi Iran
yang berjumlah 16 orang, dan paling besar, kali ini duduk
bersebelahan dengan delegasi Irak yang cuma lima orang, sesuai
dengan abjad. Biasanya, seperti dalam konperensi OPEC di Bali
dan di Jenewa tahun lalu, kursi kedua anggota yang masih
bermusuhan itu, ditengahi oleh kursi Indonesia.
Saling tuding antara Iran dengan Arab Saudi, seperti terjadi
dalam sidang di Quito, ibukota Ekuador, enam bulan lampau, juga
tak terjadi. Dan Menteri Perminyakan Arab Saudi heikh Zaki
Yamani, yang beberapa hari sebelum sidang, mengancam akan
menurunkan harga patokan minyaknya dengan dua dollar, nampak
banyak senyum, dan tak lupa menyapa Mohamad Gharazi. "Tadinya
kita khawatir akan terjadi apa-apa, tapi sungguh di luar dugaan
sidang kali ini berjalan cukup lancar," kata Menteri
Pertambangan dan Energi Subroto. Adapun yang menolong
terciptanya suasana yang baik itu, menurut ketua delegasi
Indonesia, disebabkan "semua anggota merasa prihatin dengan
gambaran ekonomi yang suram pada tahun 1983."
Adanya kepentingan bersama itu pula yang membuat segenap
anggota, termasuk yang suka main banting harga, seperti Nigeria,
Lybia, dan Iran, bersepakat untuk tetap bertahan pada harga
patokan setinggi US$ 34 per barrel. Kepastian untuk
mempertahankan harga patokan jenis Arabian Light Crude,
pagi-pagi juga sudah dilontarkan oleh Mana Saeed Otaiba, ketua
delegasi Persatuan Uni Emirat Arab. Berbicara sebagai salah
seorang anggota panitia monitoring harga minyak, Al-Otaiba,
sehari sebelum dimulainya sidang, menandaskan kepada pers tekad
OPEC tersebut. "Ingin saya tandaskan secara hitam-putih -- OPEC
tetap memperta nkan harga pada tingka 34 dollar per harrel,"
katanya.
Suara-suara di luar sidang agak terkejut juga dengan tekad OPEC
itu. Sebab Arab Saudi sendiri telah menjual minyak jenis ALC itu
di pasaran tunai spot) dengan US 31 per barrel. Berapa
besarnya porsi pasaran tunai itu memang sulit ditebak. Sebuah
sumber yang mengetahui menduga sekitar 35% dari ekspor minyak
OPEC telah dijual di pasaran tunai, yang tentu saja, jauh lebih
murah dibandingkan dengan harga kontrak. Tapi bagi negara-negara
non-OPEC, seperti Meksiko, dan Inggris, keputusan OPEC untuk
bertahan pada harga resminya itu disambut hangat. Sebab di mata
mereka, penurunan harga di saat lembeknya pasaran minyak
sekarang, hanya akan membuat harga itu sendiri bertambah runyam.
Meksiko yang dilanda utang besar, kini menghasilkan sekitar 2,7
juta barrel sehari, dan sekitar 85% dari ekspornya pergi
ketetangganya: AS. Inggris dan Norwegia, produsen minyak jenis
North Sea Crude yang kurang lebih setingkat dengan jenis Minas
kita, masing-masing menghasilkan 1,7 juta, dan sekitar 500 ribu
barrel sehari .
Kalau masalah harga patokan resminya sudah dianggap bukan soal,
maka yang paling pelik buat para menteri OPEC adalah: bagaimana
membagi kue produksi yang kini mengecil itu secara merata. Dalam
suatu sidang istimewa di Wina bulan Maret lalu, para menteri
OPEC bersepakat untuk menetapkan alokasi tertinggi kuota
sebanyak 17,5 juta barrel sehari bagi segenap anggotanya.
Indonesia kebagian kuota 1,3 juta barrel, diam-diam telah
menggenjot produksi jauh di atas kuota. Terakhir, menurut
catatan para pengamat ekonomi di Wina, mereka telah memompa
produksinya antara 2,5 - 2,7 ju ta barrel sehari, dan sekaligus
melakukan banting harga hingga US$ 31 per barrel untuk ekspor
minyaknya termasuk biaya pengangkutan (cost and freight).
Nigeria juga secara terang-terangan melanggar konsensus OPEC,
dengan melakukan berbagai macam potongan harga kepada para
pembelinya di Eropa, dan menaikkan produksinya di atas kuota 1,3
juta barrel. Begitu pula Lybia. Tapi yang paling menarik adalah
Venezaela, salah satu pendiri OPEC. Yang tak mau kalah ikut
melakukan penyimpanan: dari kuota 1,5 juta menjadi 2,3 juta
barrel sehari per November lalu. Merka, tentu saJa menyajikan
setumpuk alasan mengapa sampai melangkah jauh dari keputusan
bersama di Wina. Itu pula sebabnya Sheikh Yamani dua hari
sebelum sidang mengeluarkan ansaman, kalau beberapa rekannya
terus-terusan membuat tindakan sepihak. Pukul rata, sejak Maret
sampai akhir November lalu, telah terjadi penyimpangan produksi
sebanyak 1,8 juta barrel sehari.
Kini mereka kembali berkumpul untuk mencapai konsensus baru.
Minggu malam itu mereka berunding di salon Belvedere Gloriette,
lantai paling atas dari hotel yang bertingkat 12, dipimpin Ketua
OPEC Yahaya Dikko, yang juga ketua delegasi Nigeria. Tak begitu
jelas apakah para menteri menikmati sampanye Austria Hofburg
Cuvee yang disediakan bagi mereka. Tapi dalam sidang yang
disambung esok paginya mulai pukul sebelas hingga lepas makan
siang para menteri OPEC itu bersepakat untuk mengangkat jumlah
kuota bersama mereka dari 17,5 juta menjadi kurang lebih 18,5
juta barrel sehari. Batas kuota yang baru itu memang tak
sepenuhnya memuaskan para anggota OPEC, khususnya bagi negeri
seperti Nigeria, Iran dan Lybia yang merasakan kesulitan dana
untuk membiayai kebutuhan dalam negeri. Tapi itulah jalan
tengah yang dianggap cukup untuk tak merusak pasaran minyak.
Kini tiba soalnya unnlk membagibagi kuota 18,5 juta barrel itu,
begitu rupa, sehinga bisa disetujui para anggota. Sebab,
bagaimanapun juga, sidang OPEC sekali ini harus keluar dengan
suatu keputusan yang berarti. "Bukan seperti waktu-waktu lalu,
di mana OPEC keluar dengan pernyataan setuju untuk tidak
bersetuju," kata Menteri Subroto. Sikap mengambang seperti itu,
dianggap berhahaya kali ini. "Bisa menghancurkan OPEC," kata
seorang anggota delegasi Iran.
Ketua delegasi Indonesia itu lalu mengajukan suatu pandangan
yang cukup menarik: bahwa kuota 18,5 juta barrel itu bisa naik
turun tergantung dari keras tidaknya pasaran. Menurut Subroto,
pada kuartal pertama dan keempat, di saat negara-negara pembeli
di Eropa dan Jepang memasuki musim dingin, seluruh kuota
diperkirakan bisa naik dengan 5,4% menjadi 19,5 juta barrel.
Sebaliknya pada kuartal kedua dan ketiga, menjelang musim
dingin, akan terjadi penurunan yang juga sektar 5,4% sehingga
kuota waktu itu menjadi 17,5 juta barrel sehari.
Tak diketahui apakah Dr. Subroto juga sudah melontarkan
pembagian kuota produksi nasional itu. Tapi sidang pun mulai
kacau ketika Iran menolak usul yang dikemukakan oleh Mana Saeed
Al-Otaiba. Dalam batas-batas 18,5 juta barrel itu, Dr. Otaiba
beranggapan Arab Saudi perlu menekan produksinya menjadi 5,5
juta barrel, agar memberi kelonggaran bagi beberapa anggota yang
lain. Maka menurut menteri perminyakan Persatuan Emirat Arab
itu, Iran perlu mendapat jatah yang jauh lebih besar dari
sebelumnya 2,5 juta barrel. Gharazi setuju dengan pendapat
Otaiba, asal saja jumlah itu dianggap jatah untuk ekspor
negerinya. Sedang untuk kebutuhan dalam negerinya, orang Iran
itu minta tambahan sebanyak 700 ribu barrel lagi. Tentu saja
permintaan Iran sulit untuk diterima sidang. Mungkin karena ada
instruksi dari Teheran, Mohamad Gharazi tak mau mundur dari
jumlah 3,2 juta barrel.
Suasana rembukan bertambah kacau ketika Dr. Humberto Calderon
Berti dari Venezuela juga menuntut jatah 1,9 juta barrel.
Rekan-rekannya lebih setuju kalau ia bisa menerima kuota 1,6
juta barrel. Sungguh di luar dugaan bahwa Venezuela, yang
biasanya tampil sebagai penengah, kali ini bersikeras. Ada yang
bilang, itu antara lain disebabkan banyak anggota yang "telah
memojokkan Venezuela selama sidang." Benar tidaknya, entahlah.
Tapi yang pasti, suasana sldang yang semula lancar itu, sama
sekali berubah, selepas pukul dua siang. Sheikh Ahmad Yamani
lalu minta diri dan berkemas-kemas untuk pulang ke Ryadh sore
itu juga, diikuti banyak anggota yang lain. Dan sidang OPEC di
Wina yang semula diharap-harap, telah gagal mencari jalan
keluar.
Sebuah edaran pers yang dibacakan oleh sekretaris jenderal OPEC,
hanya menyebutkan dasar produksi total OPEC untuk tahun 1983
tidak melampaui batas 18,5 juta barrel sehari. Edaran itu tak
menyebutkan suatu ancer-ancer waktu, kapan orang-orang minyak
itu akan kembali kumpul untuk membicarakan kuota produksi
nasional. Juga tak disebut-sebut bahwa OPEC bertahan pada harga
patokannya.
Bagi Indonesia yang dikenal patuh, itu tidak berarti bahwa
produksi minyak akan tetap bertengger pada kuota 1,3 juta
barrel. Kini, kalau saja Indonesia mau, produksi bisa dinaikkan
menjadi 1,5 juta barrel, sesuai dengan usul yang dibawa oleh
Menteri Subroto. Ia juga bisa memilih kuota produksi 1,4 juta
barrel, sesuai dengan proyeksi produksi yang akan dianggarkan
untuk tahun hskal mendatang. Bahayanya, kalau negeri seperti
Iran dan Nigeria melanjutkan siasat banting harga, itu pasti tak
baik untuk OPEC. Mudah-mudahan saja, Arab Saudi tak sampai
melaksanakan ancamannya untuk menurunkan harga patokan
minyaknya. "Kalau sampai itu terjadi, keadaan bisa semakin
parah," kata seorang delegasi. Itulah OPEC, yang kini berusia 23
tahun, tapi belum juga dewasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini