Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cemas Harap Proyek Setrum

Pemerintah hanya memberikan jaminan tak langsung proyek listrik bertenaga batu bara. Investor Cina siap angkat koper.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA dua hal yang menyita pikir­an Harsusanto, Direktur Utama PT Barata Indonesia, belakangan ini. Bagaimana cara memenangi tender pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, dan adakah jaminan pemerintah atas kelangsungan megaproyek itu. Untuk yang pertama, ia kini sedang memelototi proposal penawaran harga, yang disiapkannya bersama PT PAL Indonesia dan Alstom Power Centrales—mitranya dari Prancis.

Untuk yang kedua, nah, ini yang bikin pusing. Semua masih serba remang. Padahal, kata Harsusanto, ”Tanpa jamin­an pemerintah, kontraktor sulit meminjam ke bank.” Buntutnya, proses pe­nyusunan proposal penawaran harga pun bisa-bisa mandek. Soalnya, dalam proposal itu para kontraktor sudah harus menyebut sumber pendanaannya, termasuk skema kredit ke bank.

Proposal ini mesti dimasukkan oleh 43 kontraktor yang sudah dinyatakan lulus prakualifikasi pada pertengahan bulan ini. Merekalah yang akan bertarung memperebutkan sepuluh proyek pembangkit listrik di Jawa, berkapasi­tas 300-400 megawatt dan 600-700 me­ga­watt. Ancar-ancarnya, pemenang ten­der sudah akan menandatangani kon­trak pada 20 Oktober. Setelah itu, pemba­ngunan langsung tancap gas.

Pemerintah memang berharap banyak dari pembangunan pembangkit listrik berkapasitas total 10 ribu megawatt ini. Pembangkit bertenaga batu bara itu diharapkan segera menggantikan pembangkit milik PLN, yang 28 persen masih berbahan bakar minyak. Pembangkit listrik rakus minyak itu, selama ini, membuat perusahaan setrum pelat merah ini megap-megap.

Akibat harga minyak dunia melonjak ke kisaran US$ 77 per barel, kocek yang mesti dirogoh PLN untuk belanja solar pada 2006 menembus Rp 52 triliun. Bia­ya pokok penyediaan listrik pun ikut-ikutan melar jadi Rp 2.250 per kilowatt jam (kWh). Dengan bahan bakar batu bara, biaya penyediaan listrik cuma Rp 250 per kWh. Padahal subsidi listrik yang diberikan pemerintah tahun ini hanya Rp 17 triliun—kemudian di­usulkan dalam RAPBN perubahan 2006 menjadi Rp 31,2 triliun.

Bila situasi ini dibiarkan berlarut, kantong PLN—dan tentu saja pemerintah—bakal tambah kempis. Belum lagi akibat pertumbuhan komsumsi listrik 6-7 per­sen per tahun, kebutuhan listrik saat beban puncak pada 2009 diperkira­kan bisa membengkak menjadi 29.358 megawatt. Angka itu jauh di atas beban puncak 2006, yang hanya 21.316 megawatt.

Asal tahu saja, kapasitas pembangkit ­di seluruh Indonesia yang sudah terpa­­sang hingga Agustus ini baru 27.347 megawatt. Itu pun sudah termasuk tambah­an pasokan dari tiga pembangkit baru berbahan bakar bukan minyak: PLTU Tanjung Jati B di Jepara, PLTU Cilacap, dan PLTGU Cilegon. Sedangkan untuk 2007 dan 2008 tidak ada tambahan pasokan, karena tak ada pembangkit listrik baru yang siap beroperasi.

Itu sebabnya pemerintah terus memacu proyek kilat pem­bangkit 10 ribu megawatt ini, yang ditaksir menelan biaya US$ 7-8 miliar (dengan asumsi ha­rga satu megawatt US$ 700-800 ribu). Rinciannya, 10 pembangkit dibangun di Jawa, 30 di luar Jawa. Pemerintah berikhtiar, sebelum 31 Desember 2009 semua pembangkit sudah beroperasi. Pada tahap itu, porsi pembangkit bertenaga solar diharapkan susut jadi tinggal 5 persen.

Semua pembangkit baru itu akan menjadi milik PLN. Imbalannya, PLN wajib membayar cicilan atas dana yang sudah dikucurkan kontraktor. Pada masa peralihan inilah para investor khawatir. ”Melihat kondisinya, kami meragukan kemampuan membayar pengembalian dana ke kontraktor tepat waktu,” kata Harsusanto.

Kecemasan Harsusant ber­alasan. Laporan PLN 2005 ­me­nunjukkan rapor ke­uangan perusahaan ini masih merah menyala. Kerugian yang ditang­gungnya mencapai Rp 4,9 tri­liun, naik 143 persen dari tahun sebe­lumnya. Padahal perusaha­an listrik ini juga masih punya utang ke Pertamina Rp 23,9 tri­liun. Beban ini masih bakal bertambah, karena dalam megaproyek ini PLN ikut menanggung 15 persen sumber pendana­an (85 persen tanggungan kontraktor).

Pemerintah bukannya tak memperhatikan kegundahan para investor, yang kebanyakan dari Cina. Pada akhir Juli lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla me­ngatakan, pemerintah akan menerbitkan surat jaminan berupa comfort letter. Lewat surat itu, pemerintah akan menjamin kesehatan keuangan PLN.

Belakangan, jaminan yang akan diberikan pemerintah berubah label menjadi letter of acknowledgment. Tapi ha­kikatnya sama saja. ”Pemerintah men­jamin subsidi PLN dalam menjalankan kewajiban pelayanan umum,” kata Yogo Pratomo, ketua pelaksana harian tim koordinasi percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik.

Dengan surat itu, kata M. Ikhsan, staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, arus kas PLN untuk membiayai kewajibannya dijamin pemerintah, se­suai dengan Undang-Undang BUMN No. 19/2003. Bila sudah begitu—meski tidak tertulis secara eksplisit—pemerintah pun otomatis menjamin cicilan yang mesti dibayar PLN ke kontraktor. Kelak, letter of acknowledgment ini akan diberikan ke setiap pemenang tender se­bagai bekal mencari pinjaman bank.

Masih ada pula skema pembagian ri­siko antara pemerintah dan kontraktor. Jenis risiko itu antara lain menyangkut keterlambatan pengadaan tanah dan kenaikan harga tanah, juga soal pembatalan dan penetapan tarif awal yang lebih rendah dari yang dijanjikan. Kompensasi risiko itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 38/2006 tentang pengelolaan risiko atas penyediaan infrastruktur, yang diterbitkan pada Mei lalu.

Tapi persoalannya, buat Harsusanto, hitam-putih jaminan itu belum terang benar. ”Siapa yang akan mengambil alih kewajiban PLN bila gagal membayar?” ia bertanya. Sebab, yang terang-terang­an disebut bakal dijamin pemerintah hanyalah arus kas PLN, bukan kewajiban cicilan PLN.

Lain soal bila PLN juga menyediakan jaminan bank buat kontraktor. Kejelas­an seperti inilah yang diharapkannya dituangkan lewat salah satu klausul dalam surat jaminan yang akan dike­luarkan pemerintah. Bila tidak, bisa-bisa investor asing malah mundur dari tender.

Kekhawatiran ditinggal re­kanan asing ternyata memang bukan isapan jempol. Syaiful Imam, Direktur Utama PT Adhi Karya, kini sudah merasakannya. ”Rekanan kami dari Cina berniat mundur,” kata­nya. Yang dimaksud Syaiful tak lain adalah Guang Xi Electric Po­wer, kontraktor asal Nan Ning, Cina.

Guang Xi siap-siap a­ngkat koper karena model jamin­an yang akan dikeluarkan peme­rintah ternyata tak cukup ”sakti” untuk bisa digunakannya mendapat dukungan dana dari perbankan Cina. ”Me­reka tadinya ingin terus,” kata Syaiful, ”tapi persoalannya tidak bisa menyediakan jaminan bank buat tender.”

Menurut Ikhsan, kecemasan para kontraktor seperti itu se­sungguhnya tak perlu. Sebab, salah satu sumber duit PLN untuk membayar cicilan akan berasal dari subsidi pemerintah, yang diselesaikan lewat mekanisme anggaran. Nah, jika memang begitu, tentu saja anggaran PLN harus dibuat lebih rapi. ”Tidak boleh lagi,” kata Ikhsan, ”di tengah jalan, tahu-tahu minta dana tambahan.”

Yandhrie Arvian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus