Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dihimpit Dua Garuda

Utang Raja Garuda Mas dan Garuda Indonesia di Bank Mandiri sama-sama macet. Harga naik, cicilan mestinya ikut naik.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senyum Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo sesekali terkembang. Agus tengah bungah hati karena kredit macet 30 debitor kakap di Bank Mandiri sudah berkurang dalam setahun ter­akhir. Sejumlah perusahaan papan atas Indonesia itu mulai membayar cicilan utangnya yang sebelumnya macet di Bank Mandiri, antara lain Budi Acid Jaya, Sulfindo, dan Apac Inti Corpora.

Pembayaran itu membuat angka kre­dit macet para bos besar ini pada Juni 2006 berkurang menjadi Rp 14,84 tri­liun. Setahun lalu, utang macet mereka masih Rp 18,46 triliun. Proporsi utang macet para pengutang kakap ini terhadap total kredit seret (non-performing loan/NPL) juga turun dari 75 persen menjadi 56 persen. Sampai akhir 2006, kata Agus, akan ada lagi pembayaran cicilan utang sekitar Rp 4 triliun.

Namun, tak semua hal menggembira­kan. Di antara debitor yang kooperatif, terselip sejumlah nama yang bandel. Agus secara khusus menyebut Raja Garuda Mas. Menurut Agus, Mandiri sudah menegosiasikan utang perusahaan kertas terpadu milik Sukanto Tanoto ini selama dua tahun. ”Tetap tidak ada perbaikan itikad,” kata Agus, kali ini ­de­ngan mimik sangat serius.

Raja Garuda Mas mendapatkan pin­jam­an dari sindikasi bank nasional untuk membiayai pabrik kertas terpadu Riau Complex. Sindikasi yang terdiri dari Bank Mandiri, Bank BNI, Panin, Niaga, dan Danamon memberikan utang sebesar US$ 1,5 miliar atau Rp 13,5 triliun. Dari jumlah itu, andil Mandiri mencapai Rp 5,4 triliun. Kredit ini macet dan direstrukturisasi pada 2000. Setiap tahun, Raja Garuda Mas mencicil sebesar US$ 61 juta.

Yang menyesakkan Agus, tidak ada niat baik dari Sukanto untuk memperbaiki cicilan utangnya. Padahal, pen­dapatan Raja Garuda melonjak drastis setelah harga bubur kertas naik dari US$ 350 pada 2002 menjadi lebih dari US$ 600 per ton. Sejak 2004, pendapat­an yang diperoleh grup bisnis ini me­lonjak hampir mencapai US$ 1 miliar per tahun. Namun, cicilan utang Raja Garuda tetap saja US$ 61 juta. Itu pun masih harus dibagi ke anggota sindikasi.

Pembayaran itu—dengan bunga di ba­wah pasar, cuma 0,5 persen per tahun—menurut Peraturan Bank Indonesia dikategorikan sebagai kredit macet. Akibatnya, rasio kredit seret Mandiri dan BNI melonjak. Proporsi utang macet Riau Complex di Mandiri dan BNI memang cukup tinggi, yakni masing-masing 16 persen dan 15 persen dari total kredit seret di dua bank pemerintah tersebut.

Raja Garuda juga melanggar sejumlah isi perjanjian. Pelanggaran itu, kata Agus, antara lain dana hasil transaksi ekspor-impor tidak disimpan di Bank Mandiri dan kelebihan kas tidak dipa­kai untuk membayar kewajiban. Selain itu, jika harga bubur kertas naik, seharusnya cicilan yang dibayar juga naik. Tapi, hal itu tidak dilakukan. Raja Garuda juga melakukan berbagai investasi tanpa seizin kreditor. ”Transaksi pun dilakukan melalui anak perusahaan di Singapura.”

Sejak dua tahun silam, Mandiri sebe­tulnya sudah meminta Raja Garuda menambah cicilan utangnya menjadi US$ 120 juta per tahun. ”Kami sudah panggil, tetapi pemiliknya (Sukanto) tidak mau datang juga,” kata Agus. ”Kalau seperti ini, itikad baiknya apa? Lihat dong Argo Pantes, meski industri tekstil sedang susah, mereka mau jual properti bernilai untuk bayar utang.”

Agus mengingatkan, kesabarannya sebagai bankir ada batasnya. Apalagi, zaman sudah berubah. Tentunya, kata dia, akan ada gebrakan dan tekanan tinggi sekali dari berbagai pihak, seperti publik, Badan Pengawas Pasar Mo­dal, Bea-Cukai, dan Pajak. ”Jangan lupa, pe­merintah sebagai pemegang saham Mandiri marah sekali atas keadaan ini. Kami akan mengambil tindakan tegas,” ujarnya.

Berbeda dengan Mandiri, Raja Garuda tetap merasa sudah kooperatif. Bahkan, menurut Troy Pantouw, juru bicara PT Riau Andalan Pulp and Paper, anak perusahaan Raja Garuda, perundingan masih terus berlangsung. ”Kami tetap beritikad baik. Cicilan pasti dinaikkan, tetapi belum ada keputusan,” ujar Troy pekan lalu.

Troy juga berpendapat perundingan ini tidak perlu menghadirkan Sukanto Tanoto sebagai pemilik, sebab negosiasi bersifat business to business sehingga cukup ditangani oleh manajemen Raja Garuda dengan kreditor. ”Saya kira pendapat bahwa Sukanto harus datang itu kurang bijaksana.”

Belum beres dengan urusan Raja Garuda, manajemen Mandiri dihadapkan pada ancaman beban baru. Utang Garuda Indonesia berupa mandatory convertible bond (MCB), obligasi yang bisa ditukar dengan saham, dengan jaminan pemerintah senilai Rp 1 triliun jatuh tempo pada 7 September. Karena masih rugi ratusan miliar rupiah, Garuda tidak mampu membayar dan meminta agar obligasi tersebut dikonversi menjadi penyertaan saham.

Tentu saja usulan ini membuat ma­najemen Mandiri meradang. Bila itu dilakukan, obligasi akan dikategorikan macet sehingga Mandiri, lagi-lagi, harus menyediakan pencadangan hingga Rp 1 triliun. Ini akan menggerus keuntungan bank yang cuma Rp 815 miliar pada Juni lalu. Bukan hanya itu. Bank negara ini tidak akan lagi menikmati bunga sebesar 4 persen per tahun.

”Kami tidak mau mengkonversi karena pada akhirnya akan merugikan Bank Mandiri,” ujar Agus. Surat penolakan sudah disampaikan beberapa pekan lalu. Konversi obligasi dianggap sebagai bentuk lain dari write off (penghapusbukuan) utang.

Agus mengakui dalam perjanjian restrukturisasi utang pada 2001 memang disebutkan bahwa setelah Garuda masuk bursa (target semula 2003), obligasi bisa ditukar menjadi saham untuk selanjutnya dijual. Namun, keputusan konversi bukan hak Garuda, melainkan ada di tangan bank. ”Yang perlu sekarang adalah meyakinkan pemerintah agar tetap mau menjamin kembali obligasi dan Garuda melanjutkan mencari investor strategis.”

Garuda sendiri yakin bahwa Mandiri akan bersedia mengkonversi utangnya menjadi saham. Keyakinan manajemen Garuda diperkuat oleh sinyal pejabat tinggi di Kementerian BUMN yang menyatakan agar utang BUMN di bank-bank negara dihapusbukukan (write off) setelah diterbitkan peraturan pemerintah yang akan memisahkan harta negara dengan harta BUMN. Bila itu dilakukan, Garudanya selamat, Mandiri bakal menjadi korban. ”Ini juga akan merugikan para investor atau pemegang saham Mandiri,” kata Agus.

Direktur Keuangan Garuda Indonesia Alex Maneklaran membantah meminta write off atas utang ke Mandiri. Menurut dia, konversi utang menjadi saham sudah tertuang dalam perjanjian yang diteken September 2001. ”Setelah dibahas dengan peme­rintah, kami akan ajukan propo­sal resmi restrukturisasi utang kepada para kreditor, awal September ini,” ujar Alex kepada Tempo pekan lalu.

Jika urusan ini beres, Garuda bisa menggunakannya untuk menegosiasikan utangnya dengan kreditor lain. Selain kepada Mandiri, Garuda juga masih punya utang kepada European Export Credit Agency (ECA) senilai US$ 500 juta (Rp 4,5 triliun). Utang ini dulu dipakai untuk membeli enam unit pesawat Airbus 330.

Lampu hijau untuk membuka pintu negosiasi sudah terlihat dari pertemuan dengan ECA di London, Juni lalu. Ini berbeda dengan kondisi sebelumnya karena ECA sama sekali menutup pintu kepada Garuda. ECA selalu minta jaminan dari pemerintah soal restrukturisasi ini. Tapi karena aturan hukum di Indonesia menyatakan pemerintah tak boleh menjamin utang perusahaan, ECA mau mendiskusikan penyelesaian utang. ”Kami inginnya tetap berbagi beban utang,” kata Alex.

Untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan ECA, beredar kabar Komite Korupsi Garuda sedang melakukan investigasi atas penggelembungan harga pembelian enam pesawat Airbus tersebut. Namun, Alex menyangkal temuan itu akan dijadikan senjata nego­siasi. ”Hasilnya saja belum ada. Kami ingin fokus ke strategi membagi beban itu saja.”

Heri Susanto, Bagja Hidayat

Debitor Kakap Bank Mandiri

Kiani Kertas Pemilik: Prabowo Subianto Nilai Utang: Rp 2 triliun Kategori: Tidak kooperatif

Great River Pemilik: Sunjoto Tanudjaja Nilai Utang: Rp 300 miliar Kategori: Tidak kooperatif

Raja Garuda Mas Pemilik: Sukanto Tanoto Nilai Utang: Rp 5,4 triliun Kategori: Belum kooperatif

Garuda Indonesia Pemilik: BUMN Nilai Utang: Rp 1,3 triliun Kategori: Belum kooperatif

Djajanti Group Pemilik: Burhan Uray Nilai Utang: Rp 869 miliar Kategori: Belum kooperatif

Suba Indah Pemilik: Benny Tjokrosaputro Nilai Utang: Rp 1 triliun Kategori: Belum kooperatif

Domba Mas Pemilik: Susanto Liem Nilai Utang: Rp 1,9 triliun Kategori: Mulai Kooperatif

Argo Pantes Pemilik: The Nin King Nilai Utang: Rp 2 triliun Kategori: Kooperatif

A Latief Group Pemilik: Abdul Latief Nilai Utang: Rp 720 miliar

Batavindo Pemilik: Habil Marati Nilai Utang: Rp 540 miliar

Sumber: Bank Mandiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus