Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

CEO Go-Jek, Nadiem Makarim: Kesuksesan Go-Jek dengan Pendekatan Budaya Lokal

Go-Jek terus melakukan ekspansi ke kawasan Asia Tenggara.

4 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Founder and Chief Executive Officer (CEO) Go-Jek, Nadiem Makarim, di Jakarta. [TEMPO/STR/Nurdiansah; ND2015102233]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Go-Jek terus melakukan ekspansi ke kawasan Asia Tenggara. Setelah resmi mengaspal di Vietnam pada September 2018, Rabu pekan lalu, satu dari empat unicorn Tanah Air ini beroperasi penuh di Bangkok, Thailand. Negeri Gajah Putih itu merupakan negara keempat langkah ekspansi Go-Jek di luar negeri setelah Vietnam, Singapura, dan Filipina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun ada langkah berbeda yang dilakukan Go-Jek. Sementara start-up lain tetap menggunakan nama yang sama dengan alasan branding ketika menjelajah negara lain, entitas rintisan Nadiem Makarim tersebut justru berubah nama dan identitas. Di Thailand, misalnya, Go-Jek berganti nama menjadi GET dan mengubah warna khas hijaunya menjadi kuning. Adapun di Vietnam menjadi Go-Viet dengan warna dominan merah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pendekatan kami memang beda dan tentu ini juga masih dalam masa percobaan," ujar Chief Executive Officer Go-Jek, Nadiem Makarim, kepada Andi Ibnu dari Tempo di Bangkok, Rabu lalu. Seperti apa strategi dalam berekspansi ke luar negeri, berikut ini petikan wawancara dengan pendiri Go-Jek, yang tercatat sebagai usaha rintisan dengan valuasi mencapai US$ 10 miliar.

Setelah resmi beroperasi di Vietnam, mengapa Go-Jek membidik Thailand?

Karena saya suka Thailand. Ha-ha-ha. Alasannya tentu karena potensi dan karakteristik yang sama dengan Indonesia. Kami tahu sendiri bagaimana Go-Jek di Indonesia bisa diterima sekali oleh konsumen. Lapangan pekerjaan menjadi terbuka banyak. Karena itu, Thailand juga harus bisa merasakan benefit yang sama. Khususnya buat sepeda motor, pemerintah Thailand punya aturan jelas. Makanya kami gandeng mitra driver yang resmi.

Bukannya di Bangkok moda transportasi umumnya sudah cukup lengkap, dari bus, taksi, hingga mass rapid transit?

Untuk transportasi umum, mungkin dampaknya buat ride hailing mobil seperti Go-Car. Tapi kalau sepeda motor, saya rasa tidak. Ojek bisa jadi last mail (transportasi perantara) ke transportasi umum. Kalau MRT sudah ada di Indonesia, justru saya makin senang. Orang makin banyak tinggalin mobil pribadinya karena dari atau ke stasiun pakai mobil ribet, kan? Jadi, opsi yang paling bagus, ya, naik sepeda motor. Potensinya bakal selalu strong.

Bagaimana Go-Jek bisa bersaing dengan aplikasi yang ada di Thailand sebelumnya?

Persaingan belum terlalu terlihat sekarang dan baru akan dimulai setelah kedatangan kami. Namun perlu dilihat juga dari sisi bagaimana para start-up yang ada menawarkan layanan digital kepada masyarakat. Bukan soal rebutan pangsa pasar saja. Di semua negara bakal seperti itu. Tawarkan layanan dulu, abis itu masuk ke sistem pembayaran. Di Indonesia, penetrasi digital cukup bagus karena memang persaingan yang ketat dan itu bagus buat masyarakat.

Setelah Thailand, benarkah akan ada ekspansi lagi ke Malaysia dan Myanmar?

Kalau negara lain, saya belum bisa berikan konfirmasi apa-apa. Selain di Thailand, Go-Jek sudah ada di tiga negara lain. Di Singapura, kami masih uji coba. Di Filipina, kami mulai dari layanan sistem pembayaran lebih dulu. Kami inginnya semua negara di Asia Tenggara merasakan benefit yang diciptakan super app kami.

Apa maksud klaim Anda soal super app?

Memang tergantung definisi saja. Super app buat kami itu semua layanan dan transaksi satu pintu. Masyarakat mau efisiensi dan kemudahan jika dikasih pilihan. Tak hanya enak dipakai. Buat kami, cost turun efisien juga. Jadi, bagi banyak orang, Go-Jek itu sudah seperti asisten. Kami bisa bilang, di dunia tak ada yang seperti Go-Jek. Wechat hebat dan mendunia, tapi agak beda. Mereka seperti social platform yang bisa memfasilitasi pemain lain untuk memasuki ekosistem mereka. Tapi Go-Jek beda, semua adalah layanan Go-Jek.

Kenapa Go-Jek tak mempertahankan nama dan warna hijaunya di luar negeri?

Itu poin yang bagus. Tapi kami harus percaya juga ke tim lokal kami. Go-Jek di Indonesia bisa sukses banget karena pendekatan lokal. Orang memilih kami karena mereka menganggap ini brand gue. Bukan dari sisi nasionalis saja, tapi juga pendekatan budaya. Kata "Go-Jek" di Thailand dan negara-negara lain tidak memiliki makna apa-apa. Go-Ride di sini namanya jadi Go-Win. Win itu bahasa Thailand untuk ojek. Tentu ini juga masih dalam percobaan. Tapi kami melihat responsnya lumayan. Dalam dua bulan masa percobaan, sudah ada 2 juta transaksi dan 10 ribu mitra yang terdaftar.

Tapi aplikasi beken lain bisa integrasi dengan aplikasi pusat?

Arahnya memang ke situ. Tapi ngomongin itu masih terlalu dini. Kami berfokus pada pengembangan internal di suatu negara dulu. Di Thailand belum ada payment-nya, nih. Kasihan kan kalau semua orang bayarnya masih pakai uang tunai.

ANDI IBNU


Nadiem Makarim

Profil
Umur: 34 tahun

Pendidikan:
- Sarjana International Relation University Brown, Amerika Serikat (2006)
- Magister Manajemen Administrasi Bisnis, Harvard Business School, Amerika Serikat (2009)

Pekerjaan:
- Co-Founder PT Aplikasi Karya Anak Bangsa/Go-Jek (2010-sekarang)
- Managing Director Zalora Indonesia (2011-2012)
- Chief Innovation Officer Kartuku (2013-2014)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus