Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM pupus dari ingatan ketika Aburizal Bakrie ”mengibarkan bendera putih” di depan ratusan kreditornya, empat setengah tahun silam. Pemimpin kerajaan bisnis Grup Bakrie itu menyatakan secara terbuka: keluarganya rela melepas kepemilikan saham di PT Bakrie & Brothers Tbk, dari semula 58,42 persen menjadi tinggal 2,92 persen.
Kepemilikan saham mayoritas ber-pin-dah ke tangan kreditor, sebagai -buah -per-janjian restrukturisasi utangnya - US$ 1,1 miliar (sekitar Rp 10 triliun). Tapi, kata Aburizal, ”Jika ada kesempat-an, saya akan beli kembali saham-saham itu.” Konglomerasi ini, bagaima-napun, dengan susah payah dibangun ayahnya, Haji Achmad Bakrie, sejak 1942.
Hingga kini Ical memang belum bisa mewujudkan impiannya itu. Tapi pundipundi kekayaannya kini jauh menggelembung. Menurut majalah Forbes, pada 2004 saja kekayaannya mencapai US$ 735 juta atau sekitar Rp 6,6 triliun-. Padahal, satu dekade sebelumnya ia cuma punya US$ 250-500 juta.
Belum lagi hasil penjualan tiga per-usahaan batu baranya, Maret lalu. PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin -Indonesia, dan PT Indocoal Resources Ltd di-jual ke PT Bumi Resources Tbk, yang juga milik keluarga Bakrie, senilai US$ 3,2 miliar atau sekitar Rp 29 triliun. Tak sampai lima tahun, keluarga Bakrie telah kembali ke papan atas orang terkaya di Indonesia.
Jika dirunut ke belakang, kisah -sukses Bakrie sebetulnya bukan tanpa san-dungan. Upaya pertama yang dilakukan Bumi pada 1999 mengundang kontroversi. Saat itu perusahaan ini akan mengakuisisi Gallo Oil, pemilik kon-sesi ladang minyak di Yaman, se-nilai -Rp 9,3 triliun.
Dunia pasar modal geger. Soalnya, Bumi waktu itu masih membukukan rugi bersih Rp 4,3 miliar. Kecurigaan pun meruap: jangan-jangan aset Bumi sengaja digendutkan supaya bisa dipakai melunasi utang Bakrie di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Dan memang, ladang itu ternyata tak mengucurkan minyak seperti yang diharapkan.
Bakrie tak menyerah. Kejutan berikut-nya terjadi ketika Bumi kembali me-lakukan langkah ambisius membeli PT Arutmin Indonesia, tambang batu bara di Kalimantan Selatan, pada akhir 2001 seharga US$ 180 juta. Geger terbesar terjadi ketika Bumi berhasil ”menya-lip di tikungan” dengan mengakuisisi saham PT Kaltim Prima Coal, pada saat pemerintah bernegosiasi dengan PT Rio Tinto Ltd dan BP International Ltd.
Tanpa disangka, kedua raksasa tambang dunia itu malah menjual dua induk perusahaan KPC (Sangatta Holdings Ltd dan Kalimantan Coal Ltd) kepada Bumi. Nilai jualnya pun amat rendah, cuma US$ 500 juta—jauh di bawah patokan harga pemerintah US$ 822 juta.
Menurut sumber Tempo, keberhasilan ini tak le-pas dari taktik cerdik Abu-rizal Bakrie sebagai pe-nasihat transaksi. Bumi langsung menyodorkan ta-waran menarik ke Rio Tinto dan BP. ”Mereka setor US$ 40 juta sebagai down payment,” katanya.
Kompensasinya, Bumi mendapat hak eksklusif untuk menegosiasikan pembelian KPC selama enam bulan. Jika hingga tenggat itu Bumi gagal menyediakan duit pembelian US$ 500 juta, uang panjar pun hilang. Dan ternyata perkara dana tak jadi soal.
Dibantu Credit Suisse First Boston, dana pinjaman asing mengucur deras. Saham tambang batu bara di Kalimantan Ti-mur itu sebagai jamin-an-nya. ”Para kreditor jelas mau, karena KPC penghasil batu bara dengan kualitas terbaik di dunia,” ujarnya.
Uluran dana itu pun buah dari langkah berani keluarga Bakrie, yang mau melepas sahamnya ke para kreditor saat merestrukturisasi utang. Langkah ini berbeda dengan kebanyakan konglo-merat Indonesia yang cenderung memperpanjang pelunasan utang, dan enggan- menyerahkan aset perusahaan.
Tinggallah Laksamana Sukardi, Menteri Negara BUMN saat itu, gigit jari. Kekalahan pemerintah, kata sumber tadi, semata-mata karena kalah cerdik. Apalagi David Salim, mitra yang digandeng pemerintah, tak cukup berpeng-alaman dalam merestrukturisasi aset. Ia hanya dikenal sebagai pemilik apartemen Four Seasons di kawasan Kuning-an, Jakarta Selatan.
Lepas dari berbagai langkah cerdik itu, bintang Bakrie rupanya memang sedang terang. Belum genap setahun KPC dibelinya pada Oktober 2003, harga batu bara di pasaran dunia melonjak ke harga tertinggi, US$ 60 per ton. ”Inilah se-sungguhnya titik balik menuju puncak kejayaan bisnis Grup Bakrie,” ujarnya.
Metta Dharmasaputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo