Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kemiskinan Ekstrem di Daerah Banyak Konsesi

Selain eksploitasi migas, penyebab kemiskinan di Kepulauan Meranti adalah semakin banyak perusahaan perkebunan di kawasan HTI, sehingga membuat warga setempat kehilangan lahan. Dibutuhkan terobosan kebijakan untuk mengatasi kemiskinan ekstrem ini.

17 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga membuat kerajinan tangan dari bambu di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. bokor.desa.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menduga berbagai penyebab kemiskinan ekstrem di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Selain faktor eksploitasi minyak dan gas, penyebab kemiskinan ekstrem adalah semakin banyak perusahaan perkebunan di kawasan hutan tanaman industri (HTI), sehingga membuat warga setempat kehilangan lahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua Jikalahari, Okto Yugo, mengatakan kedua sektor itu menjadi penyebab kemiskinan karena membuat lahan masyarakat semakin terkikis untuk kepentingan perkebunan di kawasan HTI maupun tambang minyak dan gas. “Fakta di lapangan, yang turut menyebabkan kemiskinan adalah lahan masyarakat diambil oleh beberapa perusahaan,” kata Okto, Jumat, 16 Desember 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Situasi kemiskinan di Kepulauan Meranti menjadi sorotan setelah Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil mengeluh soal pemberian dana bagi hasil (DBH) dari minyak dan gas ke daerahnya saat rapat koordinasi nasional optimalisasi pendapatan daerah di Pekanbaru pada 9 Desember lalu. Adil mengatakan wilayah yang dipimpinnya merupakan penghasil minyak, tapi justru masuk kategori daerah miskin ekstrem. Ia menuding salah satu penyebabnya adalah DBH yang diterima Kepulauan Meranti sangat sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan di sektor migas yang disumbangkan daerahnya ke pemerintah pusat.

Saat ini, Kepulauan Meranti masuk agenda pemerintah pusat dalam pengentasan kemiskinan ekstrem sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Menurut Okto, urusan DBH di sektor migas yang dipermasalahkan pemerintah daerah Kepulauan Meranti justru tidak secara langsung menyasar kantong ekonomi di perdesaan. Sebab, lokasi tambang migas tidak banyak mengikis lahan masyarakat. Berbeda dengan keberadaan HTI yang dikelola berbagai perusahaan justru membuat masyarakat kehilangan lahan dan pekerjaan.

“Kalau betul keberadaan HTI itu menguntungkan, penduduk Kepulauan Meranti seharusnya bukan lagi kategori miskin ekstrem," ujarnya.

Jikalahari meneliti penyebab kemiskinan ekstrem di Kepulauan Meranti sejak 2016. Hasil riset organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada penyelamatan hutan di Riau ini menemukan bahwa kemiskinan tetap bertambah parah meski terdapat eksploitasi migas, perusahaan pengelola HTI, dan perkebunan sawit.

Kondisi itu terjadi karena lahan masyarakat semakin berkurang, tapi penghasilan daerah dari DBH di HTI dan Provisi Sumber Daya Hutan-Dana Reboisasi sangat kecil. “Pajak lahannya hanya Rp 500 per hektare per tahun. Jadi, yang dilakukan Bupati itu betul, tapi kami juga mengingatkan bukan hanya soal sektor migas,” kata Okto.

 

Imunisasi anak balita di Kepulauan Meranti, Riau. merantikab.go.id

Konflik Lahan

Koordinator Jikalahari, Made Ali, menguatkan pernyataan Okto itu. Made mengatakan perebutan lahan produktif antara masyarakat dan perusahaan membuat warga semakin miskin. Pada umumnya warga kalah dalam perebutan lahan tersebut.

“Selain kemiskinan ekstrem, juga mengakibatkan konflik, merusak hutan dan gambut, serta kebakaran hutan dan lahan,” kata Made.

Ia mencontohkan konflik lahan antara PT RAPP dan masyarakat Pulau Padang, Kepulauan Meranti. Konflik agraria ini muncul sejak PT RAPP mendapatkan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI pada 2009. Adanya izin itu membuat masyarakat Pulau Padang kehilangan lahan yang biasa mereka garap.

Warga Desa Bagan Melibur, Pulau Padang, Syahrudin, mengakui masyarakat Pulau Padang dan perusahaan sudah berkali-kali terlibat konflik. Dalam konflik itu, warga sebagai pihak yang kalah karena kehilangan lahan dan sebagian dari mereka belum mendapatkan ganti rugi hingga kini.

“Memang masih ada warga yang belum menerima ganti rugi lahan, tapi perusahaan menetapkan strategi, yaitu masyarakat diajak kerja sama. Ada masyarakat yang sepakat dan ada yang tidak,” kata Syahrudin.

Warga Pulau Padang lainnya, Stevi Egeten, mengatakan, saat ini banyak penduduk di daerahnya bekerja sebagai pekerja serabutan akibat kehilangan lahan sejak adanya HTI. Sebagian lagi warga terserap bekerja di perusahaan pengelola HTI, tapi jumlahnya relatif sedikit dibanding pekerja perusahaan yang didatangkan dari luar Pulau Padang.

Pengamat ekonomi rural dari Universitas Riau, Almasdi Syahza, mengatakan konflik lahan kerap terjadi saat perusahaan baru masuk di permukiman maupun lahan produktif warga. Kondisi itu terjadi karena dalam area konsesi perusahaan terdapat lahan masyarakat maupun permukiman penduduk. Padahal masyarakat lebih dulu bermukim maupun mengelola lahan di kawasan tersebut.

“Masyarakat di sana ada pengembangan sagu. Mereka sudah tanam sagu sejak dulu. Tapi kalau pemerintah ujuk-ujuk memberi izin ke perusahaan, tentu akan terjadi konflik,” kata Almasdi.

Ia berpendapat, pemerintah pusat seharusnya teliti dalam menerbitkan izin perkebunan, apalagi di daerah kategori miskin ekstrem.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono, mengkategorikan penduduk miskin ekstrem adalah penduduk yang memiliki beban ketergantungan yang tinggi dengan jumlah anggota keluarga tidak produktif yang besar. Sebagian daerah miskin ekstrem mengandalkan pendapatan dari DBH, yang angkanya juga kecil.

Yusuf mengatakan masalah struktural kemiskinan ekstrem tak hanya terjadi di Kepulauan Meranti, tapi juga terjadi di banyak daerah. Karena itu, pemerintah pusat mesti mereformasi regulasi pertanahan, yang kini di bawah Undang-Undang Cipta Kerja. Regulasi itu dianggapnya sangat berpihak kepada investor dan rentan disalahgunakan untuk merampas tanah rakyat atas nama pembangunan. “Kebijakan pertanahan nasional harus dikembalikan ke roh UU Agraria 1960 yang berpihak pada kepentingan rakyat,” ujarnya.

Ketua tim kampanye bidang kelautan Greenpeace Indonesia, Afdillah, berpendapat bahwa konsep pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di daerah kepulauan mesti berpihak pada masyarakat kecil untuk membantu pengentasan kemiskinan. “Pengelolaan SDA saat ini lebih banyak berpihak pada industri ekstraktif dan kepentingan modal investasi,” kata dia.

ILONA ESTERINA PIRI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus