Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERITA lama kontroversi pengadaan pesawat Merpati Nusantara Airlines tipe MA-60 sampai juga ke telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kamis siang pekan lalu, Presiden langsung memimpin rapat kabinet untuk membahas pesawat yang dibeli dari Xi’an Aircraft Industrial Corporation, Cina, itu. Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar dan Menteri Perhubungan diminta menjelaskan latar belakang pembelian pesawat tersebut. ”Biar masyarakat dapat penjelasan gamblang,” kata Yudhoyono di Jakarta.
MA-60 jadi buah mulut setelah jatuh ke laut dekat Bandar Udara Utarung, Kaimana, Papua Barat, Sabtu dua pekan lalu. Sebanyak 19 penumpang dan 6 awak Merpati tewas. Media lalu mengungkit-ungkit pengadaan pesawat berbaling-baling ganda itu, yang prosesnya dilakukan sejak enam tahun silam. MA-60 semakin menjadi bola panas setelah Dewan Perwakilan Rakyat ikut berkoar-koar.
Dalam rapat dengar pendapat di Gedung DPR, Selasa dan Rabu malam pekan lalu, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat mencecar perwakilan pemerintah yang dipimpin Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Mulia Nasution. Para anggota Komisi Keuangan tak menggubris penjelasan tentang kinerja keuangan Merpati. Mereka hanya berfokus menyoroti kontroversi pengadaan MA-60 dari Tiongkok.
Anggota Komisi XI, Arif Budimanta, merasa ada kejanggalan dalam pembelian MA-60. Semula proses pengadaannya dilakukan secara bisnis (business to business) antara Merpati dan Xi’an. Tapi belakangan diubah menjadi kesepakatan antarpemerintah (government to government). ”Ini mengherankan,” ujar anggota dari Fraksi PDI Perjuangan itu. ”Kami minta penjelasan mengapa kontrak sudah dulu diteken sebelum ada persetujuan dari DPR,” ujar Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis menambahkan.
PENGADAAN MA-60 bermula dari keinginan Merpati memiliki pesawat komuter propeler berkapasitas 50 penumpang yang bisa menjangkau 200 kabupaten, terutama di Indonesia timur. Sumber Tempo mengisahkan, manajemen Merpati telah menemui pabrikan pesawat top, seperti Bombardier Prancis (produsen pesawat Q-400), Avions de Transport Regional (produsen pesawat patungan Italia dan Prancis), serta Embraer (produsen pesawat Brasil).
Tapi pendanaan selalu menghambat upaya ini. ”Mereka tidak bersedia memberi 100 persen pembiayaan,” ujarnya. Bank Exim dan pemerintah produsen pesawat tersebut memasang bunga komersial. Itu pun mesti dijamin pemerintah Indonesia.
Awal 2005, kata dia, Xi’an menawarkan MA-60. Semula manajemen Merpati menolak karena ”sindrom buatan Cina”. Tapi manajemen Xi’an menjelaskan semua komponen utama MA-60 menggunakan teknologi Barat. Mesinnya dari Pratt Whitney Amerika Serikat atau propeler dari Sustrand Amerika. Desain Cina hanya modifikasi bingkai udara, yang aslinya dari Antonov Rusia. Manajemen Merpati kepincut.
Singkat cerita, Direktur Utama Merpati saat itu, Hotasi Nababan, menandatangani kontrak jual-beli pesawat dengan Xi’an. Merpati setuju membeli 15 unit MA-60 senilai US$ 232,4 juta (sekitar Rp 2 triliun) pada 7 Juni 2006. Awalnya, transaksi akan dilakukan secara bisnis antara Merpati dan Xi’an. Tapi, lantaran Merpati tak punya uang, skema diubah menjadi perjanjian antarpemerintah.
Kebetulan pemerintah Cina dan Indonesia juga setuju. Lalu dituangkan dalam sebuah perjanjian pinjaman (government concession loan agreement) antara Bank Exim Cina (The Export-Import Bank of China) dan Departemen Keuangan pada 5 Agustus 2008.
Bank Exim Cina akan memberikan fasilitas pembiayaan maksimal 1,8 miliar renminbi. Masa pinjamannya maksimal 15 tahun, dengan bunga 2,5 persen per tahun. Lantaran pinjaman Bank Exim Cina diberikan kepada pemerintah Indonesia, Merpati harus menandatangani perjanjian penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement) dengan Departemen Keuangan, agar bisa mendapatkan kredit pembelian pesawat itu.
Namun transaksi tak berjalan mulus. Pemerintah tak kunjung meneken perjanjian penerusan pinjaman dengan Merpati. Penyebabnya, Komisaris Utama Merpati Said Didu menolak meneken rekomendasi kepada direksi untuk melakukan transaksi itu. Said keberatan harga jual MA-60 US$ 15 juta sebiji dan risiko bisnis yang ditanggung Merpati. ”Saya minta kontrak diamendemen,” ujarnya di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Dalam kontrak amendemen, kata Said, komisaris dan direksi Merpati meminta transaksi dilakukan dalam mata uang rupiah. Tujuannya menghindari dampak depresiasi (pelemahan) renminbi Cina terhadap dolar Amerika, dan juga rupiahsemakin lemah yuan Cina, nilai yang dibayar Indonesia semakin mahal.
Selain itu, Xi’an Aircraft harus memberikan perawatan gratis, termasuk suku cadangnya, tatkala MA-60 rusak akibat baby sickness alias kerusakan dini ketika pesawat baru saja dioperasikan. Xi’an juga, ujar Said, harus membeli kembali MA-60 bila pesawat itu rusak sebelum massa kontrak habis 25 tahun. ”Xi’an harus ambil dengan harga buku, bukan harga pasar.”
Keinginan Merpati merevisi kontrak pembelian MA-60 mentok. Xi’an belum merespons. Pemerintah Negeri Tirai Bambu memprotes karena Indonesia tak kunjung meneken perjanjian penerusan. Hampir dua tahun pembelian MA-60 terkatung-katung. Belakangan Xi’an melunak. Produsen pesawat berbasis di Distrik Yanliang, Provinsi Shaanxi, ini mau mengamendemen kontrak jual-beli MA-60 pada Oktober 2009. ”Dengan kontrak baru, Merpati tak punya risiko bisnis lagi,” kata Said.
Kementerian Keuangan juga mengubah perjanjian penerusan dengan Merpati. Transaksi disetujui dalam mata uang rupiah dengan kurs dolar dipatok maksimal Rp 10 ribu. Dengan amendemen kontrak dengan Xi’an dan pemerintah, kata Said, harga MA-60 jadi turun menjadi US$ 11,2 juta dari sebelumnya US$ 15 juta.
Setelah kontrak baru direvisi, akhirnya Said Didu mau meneken rekomendasi buat direksi. Selanjutnya perjanjian penerusan pinjaman dengan Merpati akhirnya diparaf Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada Juni 2010. Lima bulan kemudian, MA-60 akhirnya datang ke Indonesia.
SETELAH MA-60 diterima Merpati, bukan berarti persoalan tuntas. Maskapai pelat merah ini malah kelimpungan karena pemerintah ”ingkar janji”, tak mengucurkan modal kerja Rp 30 miliar buat keperluan operasional 15 pesawat itu. ”Dana ini buat modal membeli avtur (bahan bakar),” ujar Direktur Utama Merpati Sardjono Jhony Tjitrokusumo di Jakarta pekan lalu.
Akhirnya Merpati gali lubang untuk menutup seretnya bantuan dana. Padahal keuangan perseroan ini sedang kembang-kempis. Sejak dua tahun lalu, Merpati meminta setoran tambahan duit Rp 600 miliar, plus konversi utang pembelian MA-60 senilai Rp 2,1 triliun menjadi saham.
Memiliki MA-60 juga tak lantas membuat Merpati sehat. Penyebabnya, hasil operasi pesawat itu tak bisa dinikmati maskapai ini karena harus disetorkan ke rekening penampungan pemerintah. ”Merpati sekadar mengoperasikan, tak menerima apa pun,” kata Said.
Derita tak berhenti di situ. Meski sudah meneken pinjaman penerusan, sampai sekarang ternyata Merpati masih belum membayar management fee pengadaan MA-60 dan belum melunasi denda-dendanya. ”Memang tak sanggup bayar, mau bagaimana lagi?” kata Sardjono.
Kecelakaan MA-60 di Papua jadi pukulan baru. Senin sore pekan lalu dua hari setelah insidenMenteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar menggelar rapat mendadak bersama komisaris dan direksi Merpati di kantor Kementerian BUMN.
Menurut sumber Tempo, Menteri mengkhawatirkan kontroversi pengadaan MA-60. Sejumlah petinggi kementerian itu mengusulkan pemerintah, komisaris, dan direksi Merpati menyamakan persepsi agar masalah MA-60 tak menggelinding jadi bola liar. ”Persepsi yang mau disamakan soal tak ada makelar dalam pengadaan MA-60,” tuturnya.
Said Didu menolak usul ini. ”Biarkan informasi pengadaan MA-60 sesuai dengan faktanya,” ujar sumber Tempo mengutip Said. Sayangnya, bekas Sekretaris Menteri BUMN ini enggan berkomentar banyak. ”Tak perlulah diceritakan,” ujarnya.
Kini Merpati pusing tujuh keliling. Sebelum insiden kecelakaan dan polemik pengadaan MA-60 mencuat, tingkat keterisian penumpang pesawat lebih dari 65 persen. Sekarang paling banter hanya 60 persen. Sardjono pun waswas, ribut-ribut MA-60 membuat Merpati makin sempoyongan.
Padjar Iswara, Anne Handayani, Bunga Manggiasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo