Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISRUH revitalisasi tambak udang eks Dipasena di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, memasuki babak baru. Kini Badan Pengawas Pasar Modal mulai turun tangan. Bahkan wasit pasar saham itu diam-diam sedang menggeber investigasi di area tambak udang yang dikelola PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima) tersebut.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam Sardjito telah meneken surat perintah pemeriksaan terhadap CP Prima pada 27 April lalu. Ia juga membentuk tim beranggotakan tiga orang, yakni Irhamsah, Slamet Riyadi, dan Abu Abadi Sarewa, untuk memeriksa perusahaan agrobisnis yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia itu. ”Proses sedang berjalan,” kata Sardjito kepada Tempo pekan lalu.
Bapepam hadir pada saat para petambak sedang bersitegang dengan CP Prima—perusahaan yang dikendalikan Charoen Pokphand, Thailand. Dalam tiga pekan terakhir, suasana di area tambak udang bekas milik pengusaha Sjamsul Nursalim ini mendidih. Para petambak berunjuk rasa, bahkan sempat menduduki kantor PT Aruna Wijaya Sakti, perusahaan terafiliasi CP Prima. Suasana makin mencekam setelah dua ratusan marinir dari Brigade Infanteri III Lampung mendadak muncul di dekat lokasi Aruna Wijaya. Tentara melakukan perang-perangan tak jauh dari kampung para petambak.
l l l
SUWARDI, 41 tahun, menolak benur benih udang kiriman Aruna Wijaya. Adu mulut pun terjadi antara anggota staf perusahaan itu dan petambak dari Blok II Kampung Dipasena Makmur tersebut. Suwardi kesal lantaran perusahaan itu menahan duitnya, sisa hasil usaha sebesar Rp 15 juta sejak Februari. Padahal, dalam perjanjian kerja sama petambak dengan Aruna Wijaya, keuntungan budi daya dibayar paling lambat 14 hari sejak udang disetor ke gudang pendingin. ”Bayar dulu, baru tebar benur,” kata Suwardi dengan nada tinggi. ”Kami tidak mau rugi lebih banyak karena dikemplang perusahaan.”
Tiga ribuan petambak plasma bernasib seperti Suwardi. Perhimpunan Petambak Udang Windu Dipasena mencatat Rp 30 miliar duit petambak nyangkut di Aruna Wijaya. Uang ini selisih antara ongkos budi daya udang dan nilai penjualan sekali siklus.
Tak berhenti di situ, menurut Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Udang Windu, Thowilun, Aruna Wijaya dan CP Prima mendorong ribuan petambak meneken akad kredit. Para petani udang didatangi hingga ke lokasi tambak dan dipanggil ke kantor kepala kampung untuk menandatangani akad kredit dengan Bank BNI, BRI, serta CIMB Niaga. Tiga ribu lebih petambak terpaksa memaraf akad kredit sebesar Rp 126 juta per orang. ”CP Prima dan Aruna Wijaya kini memegang uang para petambak lebih dari Rp 3,7 triliun,” ujar Thowilun.
Lantaran kesal tak mendapat kejelasan penggunaan dana dan keadilan kerja sama, para petambak menduduki kantor Aruna Wijaya selama tiga pekan. Manajemen Aruna Wijaya membalas aksi petambak itu dengan memutus aliran listrik. Kincir air mandek. Ratusan ton udang vannamei pun mati mengambang. Area tambak seluas 16.250 hektare gelap-gulita pada malam hari.
Kucuran utang bulanan untuk biaya hidup bulanan plasma—petambak—pun dihentikan. Pembayaran sisa hasil usaha juga ditunda. ”Perusahaan tidak mungkin lagi mendanai sektor yang tidak produktif,” tulis Direktur Utama Aruna Wijaya, Achmad Roswantama, dalam surat yang dikirim kepada seluruh petambak. Surat tembusan juga dikirim kepada Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P., Kepala Kepolisian Daerah Lampung Brigadir Jenderal Sulistyo Ishak, serta Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad.
Menurut Wakil Presiden Direktur CP Prima Mahar Sembiring, perubahan rencana bisnis jadi akar penyebab tertundanya revitalisasi tambak udang Dipasena. Apalagi perseroan mengalami kesulitan keuangan setelah terkena dampak krisis global tiga tahun lalu. Perusahaan juga terkena musibah lain: pabean Amerika Serikat menolak masuk udang CP Prima karena terindikasi terkena virus.
Walhasil, kata Mahar, jadwal revitalisasi area tambak udang mundur dari target awal 2009. Baru sekarang proses revitalisasi rampung sesuai dengan rencana bisnis yang telah direvisi. Biaya yang telah dikeluarkan untuk revitalisasi tambak Aruna Wijaya dan Wahyuni Mandira sebesar Rp 1,1 triliun. Sedangkan total biaya revitalisasi Dipasena Group senilai Rp 3,6 triliun. ”Biaya revitalisasi itu tak hanya dari petambak, tapi juga dari bank dan kas perseroan.”
Namun perubahan rencana bisnis ditolak petambak. Padahal, menurut Mahar, semua perubahan diatur dalam berita acara yang diteken CP Prima, Aruna Wijaya, dan para petambak. Berita acara itu menjadi satu kesatuan dengan perjanjian kerja sama antara CP Prima dan Aruna Wijaya sebagai inti serta petambak udang sebagai plasma. Nyatanya, konflik terus berlanjut.
Di tengah konflik ini, Bapepam mulai terlibat. Tim pemeriksa Bapepam diberi tugas menelusuri kejanggalan investasi. Di Tulang Bawang, seorang kepala kampung diminta menemani tim menemui beberapa petani udang pada akhir April lalu. Tim pemeriksa, kata si kepala kampung, menanyakan banyak hal, termasuk pinjaman perbankan, proses akad kredit, penggunaan pinjaman, dan kebutuhan modal untuk sekali siklus produksi udang.
Sampai saat ini tim Bapepam di Lampung masih terus melakukan pemeriksaan. Ternyata, di Jakarta, Bapepam juga mengendus indikasi pelanggaran peraturan tentang keterbukaan informasi. ”Seharusnya peristiwa yang mempengaruhi perusahaan, termasuk perselisihan tenaga kerja, dilaporkan,” kata Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil Bapepam Anis Baridwan.
Manajemen CP Prima dan Aruna Wijaya telah mendengar kabar kehadiran penelisik Bapepam ini. Namun Mahar membantah jika dikatakan Bapepam menyelidiki persoalan kredit dan investasi. Lembaga itu hanya menelaah perkembangan revitalisasi tambak dan dampak penghentian operasi perusahaan. Menurut Mahar, tuduhan kepada CP Prima dan Aruna Wijata memutar alias menggunakan dana kredit petambak mengada-ada. ”Wong separuh petambak lainnya akad kredit.” Jangan lupa, Mahar sesumbar, penjamin petambak adalah perusahaan.
Berlarut-larutnya kisruh di area tambak udang eks Dipasena tersebut memaksa Fadel Muhammad turun tangan. Jumat sore pekan lalu, Fadel menggelar pertemuan dengan manajemen CP Prima di kantor Kementerian, Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu, seharusnya pengurus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, dan Koalisi Anti Utang hadir. Namun perwakilan lembaga-lembaga swadaya itu menolak hadir karena petambak udang tak diundang. ”Jadi kami tak hadir. Fadel hanya menggelar pertemuan dengan CP Prima,” kata sumber Tempo.
Fadel membenarkan adanya pertemuan itu. Kementerian Perikanan mempertanyakan proses revitalisasi tambak udang Dipasena. ”Saya ingin ada perlakuan adil buat plasma (petambak),” ujarnya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Menteri berharap petambak dan CP Prima mencari solusi saling menguntungkan agar tambak Dipasena beroperasi kembali.
Retno Sulistyowati, Anne Handayani, Nurochman Arrazie (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo