TURIS asing tampaknya mulai betah di Indonesia. Hasil survei Biro Pusat Statistik (BPS) yang diterbitkan belum lama ini menunjukkan bahwa rata-rata tinggal tamu asing di sini sudah mencapai 12,7 hari - padahal dua tahun lalu, konon, rata-rata tinggal mereka hanya 7,5 hari. Turis dari Belanda, bahkan, bisa berangin-angin di sini selama 26 hari. Tapi turis Singapura dan Malaysia paling lama bertahan 6 hari. Banyak alasan bisa dikemukakan untuk mengusut mengapa rata-rata tinggal turis itu masih belum begitu panjang, apalagi dari dua negara tetangga. Salah satu penyebabnya faktor jasa pelayanan umum. Kualitas pelayanan taksi, bis, dan kereta api, misalnya, disebut buruk oleh sekitar 45% dari 22.500 turis yang ditanya di Bandar Udara Ngurah Rai (Denpasar), Halim Perdanakusuma (Jakarta), dan Polonia (Medan). Sedang pelayanan jasa informasi turis, yang biasanya dikelola pemerintah daerah dan Ditjen Pariwisata untuk merangsang masuknya mereka, hanya dianggap baik oleh 28% responden. Yang menganggap buruk malah lebih dari 29%. "Sekarang kami bisa tahu yang buruk-buruk dari hasil survei itu," kata Dirjen Pariwisata Joop Ave. "Semua kritik kami tampung, dan menjadi kewajiban kami untuk memperbaikinya." Survei BPS bersama Bank Indonesia itu tampaknya cukup unik. Penelitian terhadap turis itu dilakukan di tiga pelabuhan udara utama, pintu gerbang masuk Indonesia, dengan mengajukan pertanyaan tertulis saat mereka sedang menunggu. Survei dilakukan dua gelombang: Agustus sampai September 1984 dan akhir Februari sampai awal Maret 1985 - saat musim turis sedang ramai-ramainya. Dari contoh tamu asing, yang terbanyak ditanya adalah Jepang (15,4%), lalu Australia (15%) dan Inggris (9.1%). Cukup wajar kiranya jika ada beberapa golongan pemberi jasa merasa tersenggol dengan hasil survei yang terus terang itu. T. Hasan Basri, Kepala Humas Kantor Pusat PJKA di Bandung, misalnya, beranggapan bahwa penyebutan pelayanan kereta buruk itu hanya dikeluarkan oleh turis individual, yang disebut ingin mengeluarkan biaya sehemat mungkin. "Turis yang tergabung dalam rombongan selalu puas dengan pelayanan kereta api," katanya. Sekalipun pelayanan kereta api dianggap buruk, hampir separuh dari responden beranggapan jasa angkutan ini murah harganya. Benar. Sebab, kata Winarno Sudjas, Kepala Humas Ditjen Pariwisata, kereta api adalah alat angkutan bagi rakyat untuk memperlancar kegiatan ekonomi. Karena fungsi utamanya adalah alat angkut, soal kenyamanan dan layanan jelas nomor dua. "Khusus buat turis, ya, belum ada. Tapi apa mungkin diadakan dengan kelas khusus?" tanyanya. Toh, ada juga pihak penyelenggara jasa yang bersikap terbuka terhadap hasil survei tadi. Misalnya Purnomo Prawiro, Direktur Operasi PT Blue Bird, mengakui keadaan mobil kebanyakan perusahaan taksi sudah tua-tua. Menurut taksiran dia, sekitar 60% dari seluruh armada taksi yang berseliweran di Jakarta merupakan mobil bikinan tahun 1975-an. Menyadari kondisi itu, dalam tiga tahun terakhir ini, Blue Bird sudah menempatkan 140 taksi baru dalam jajaran 550 mobilnya. Pelayanan dari pengemudi juga coba diperbaiki, dengan mengajari mereka bersopan santun. Menurut Purnomo, pengemudi pada perusahaan taksi hakikatnya adalah ujung tombak penjualan jasa itu. Pengemudi juga dididik agar memiliki perbendaharaan informasi yang bagus. Maklum, tidak semua turis tahu jalan di sini, dan paham mengenai obyek yang akan dikunjunginya. "Bahasa Inggris yang praktis-praktis juga diajarkan," tambahnya. Swasta tampaknya lebih siap dan terbuka dalam menghadapi keinginan pemerintah untuk menggalakkan pariwisata. Mungkin juga dalam menyiasati kenyataan bahwa dari hasil survei itu setiap tamu asing hanya mengeluarkan uang US$ 699 (Rp 717 ribu lebih) selama tinggal di sini - di luar biaya karcis pesawat terbang pulang-pergi. Jadi, dalam sehari pengeluaran mereka hanya US$ 55. Hanya turis Timur Tengah yang royal: mengeluarkan US$ 187 setiap hari. Dari pengeluaran sebesar itu, sekitar 35% dibayarkan untuk akomodasi, hampir 18% untuk makan dan minum, sekitar 15% buat suvenir dan belanja, serta hampir 7% untuk paket tour. Dengan kata lain, sebagian terbesar dolar ternyata lebih banyak disedot para pengusaha kuat pemilik tempat tidur. Tapi jangan heran jika paket wisata hanya kebagian dolar sedikit karena obyek turis yang harus mereka lihat letaknya berjauhan. "Penerbangan Jakarta-Medan itu kalau di Eropa 'kan melampaui tiga negara," ujar Winarno Sudjas dari Ditjen Pariwisata. Kurangnya kualitas pelayanan, berjauhannya obyek yang akan dilihat, dan buruknya promosi Indonesia di luar negeri, mungkin, merupakan beberapa faktor yang menyebabkan turis belum suka kemari. Lihat saja semester pertama tahun ini: baru 200 ribu turis masuk. Padahal, tahun lalu jumlahnya 700 ribu lebih. Entahlah, sekalipun visa sudah tidak diharuskan diminta, hiruk-pikuk turis kok masih belum ramai juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini