Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dalam sorotan Komisi Antikorupsi

Ratusan perusahaan perkebunan sawit di Riau tidak berizin. Diduga merugikan negara belasan triliun rupiah.

28 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYAHRUL Fitra berpura-pura menjadi penduduk setempat saat hendak menembus area kebun PT Surya Dumai Agrindo, Rabu pekan lalu. Datang sebagai peneliti hukum dari Yayasan Auriga Nusantara yang berlokasi di Jakarta, tampang Syahrul tak familiar bagi dua petugas keamanan di portal masuk perusahaan yang berlokasi di Desa Kampung Baru, Kelurahan Sungai Pakning, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis, Riau, itu.

Jadilah sore itu Syahrul ikut rombongan warga Kampung Baru yang hendak memancing ikan di kanal yang terletak di area kebun sawit milik Surya Dumai. Ada celah selebar setengah meter di samping portal sebagai akses masuk-keluar para pekerja. Jalan kecil itu biasa dimanfaatkan juga oleh penduduk untuk menuju kanal yang ada di sepanjang pinggiran perkebunan sawit. "Kalau masuk pakai mobil, pasti enggak bisa. Akhirnya pura-pura mancing," kata Syahrul saat dihubungi pada Kamis pekan lalu.

Sepanjang Selasa hingga Sabtu pekan lalu, Syahrul bersama dua rekannya bertugas keluar-masuk sejumlah perkebunan sawit di Riau. Kelompok organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu kelestarian sumber daya alam dan lingkungan ini menyambangi beberapa kebun sawit. Yang mereka datangi di antaranya kebun-kebun sawit yang berada di wilayah Kabupaten Siak, Bengkalis, dan Pelalawan.

Kedatangan Auriga hendak menindaklanjuti data dari Direktorat Jenderal Pajak yang diserahkan ke Tim Koordinasi dan Supervisi Bidang Pengelolaan Perkebunan Sawit Komisi Pemberantasan Korupsi. "Auriga bertugas supporting Korsup Sawit," ujarnya.

Rabu dua pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi bertemu dengan perwakilan Direktorat Jenderal Pajak. Pejabat bagian kepatuhan dan ekstensifikasi pajak datang memenuhi undangan. KPK—melalui Koordinasi dan Supervisi Sawit—ingin mendapat pasokan data pajak untuk mengimbangi laporan Panitia Khusus Monitoring Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau. Audit tersebut mencatat potensi kerugian negara dari tidak terpungutnya pajak perusahaan sawit di Riau mencapai Rp 15 triliun.

Ketua Tim Koordinasi dan Supervisi Sawit Sulistyanto membenarkan bahwa timnya saat ini sudah mengumpulkan semua data perizinan perusahaan perkebunan sawit. Selain penataan perizinan dan mendorong sistem data perkebunan sawit, salah satu program kerja Korsup Sawit adalah optimalisasi penerimaan negara. "Data dari pansus termasuk sebagai tambahan referensi," kata Sulis melalui pesan WhatsApp, Kamis pekan lalu.

Setelah sempat tak ada kelanjutannya, audit Panitia Khusus Monitoring Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit bentukan DPRD Riau yang rampung pada akhir tahun lalu ini kembali mengemuka dua bulan terakhir. Ini terjadi setelah Tim Pansus yang digawangi Komisi A DPRD Riau melaporkan sejumlah temuan mereka ke tim Pencegahan KPK saat komisi antirasuah berkunjung ke Riau, Agustus lalu. Salah satu yang mereka laporkan: perkebunan tidak memiliki izin dan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak, yang otomatis tidak melaksanakan kewajiban membayar pajak. Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di provinsi ini yang mencapai Rp 24 triliun, baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas negara.

l l l

AUDIT atas perusahaan perkebunan sawit oleh Pansus DPRD Riau digarap sejak kuartal pertama tahun lalu. Setelah kebakaran lahan di Riau, sejumlah pihak mendesak DPRD agar memeriksa lahan perkebunan milik sejumlah perusahaan sawit di sana. Dalam prosesnya, pemeriksaan tak cuma soal lahan, tapi juga menyangkut urusan audit perizinan.

"Temuan kami, dari 4,2 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau, 1,8 juta hektare tidak memiliki izin," kata Sekretaris Komisi A DPRD Riau Suhardiman Amby saat dihubungi pada Rabu pekan lalu. Ketika audit ini disusun, Suhardiman menjabat Ketua Tim Pansus Monitoring Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.

Suhardiman mengatakan Tim Monitoring menemukan ada beragam persoalan perizinan dari perusahaan sawit tersebut. Salah satu temuan, misalnya, perusahaan perkebunan sawit yang mengelola hak guna usaha (HGU) tak memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "Jadi perusahan itu punya HGU, posisinya di kawasan hutan, tapi tidak memiliki izin pelepasan hutan," ujar Suhardiman.

Menurut dia, urusan perizinan perusahaan sawit di sana memprihatinkan. Sebab, ada puluhan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bahkan sama sekali tidak memiliki izin. Dari izin usaha perkebunan (IUP), yang menjadi dasar pembukaan usaha perkebunan kelapa sawit, hingga tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan, izin usaha budi daya, dan izin HGU. "Bahasa kasarnya ini kebun bodong alias ilegal," katanya.

Meski demikian, Pansus tak serta-merta membuat kesimpulan. Suhardiman mengatakan Tim Monitoring juga melakukan pemeriksaan acak ke lapangan. Hasilnya, dari monitoring 510 perusahaan perkebunan sawit, 190 perusahaan terbukti tak memiliki izin dasar membuka usaha perkebunan, yakni izin usaha budi daya perkebunan dan izin usaha perkebunan. "Hasilnya, Pansus menghitung potensi keuangan negara yang tidak tertagih dari PPN, PPh, PBB perusahaan-perusahaan tersebut sekitar Rp 15 triliun," ujarnya.

Juru bicara Kantor Wilayah Pajak Provinsi Riau, Mariyaldi, mengetahui temuan Pansus Monitoring Sawit tersebut. Menurut dia, Kanwil Pajak sudah menindaklanjuti temuan tersebut. Mariyaldi mengatakan, sebelum Undang-Undang Tax Amnesty berlaku, Kanwil Pajak merespons temuan Pansus dengan mengklarifikasi ke perusahaan-perusahaan yang diduga tak membayar pajak. "Setelah ada klarifikasi, banyak perusahaan sawit yang ikut tax amnesty. Jadi sudah mendapat pengampunan," kata Mariyaldi lewat sambungan telepon, Kamis pekan lalu.

Ia mengklaim dana tebusan pengampunan pajak dari kelompok perkebunan sawit berkontribusi paling besar. Dari total dana tebusan amnesti pajak di Provinsi Riau sebesar Rp 1,6 triliun, perusahaan perkebunan sawit menyumbang 60 persen. Namun ia tidak merinci sudah berapa banyak perusahaan perkebunan yang memanfaatkan program pengampunan pajak untuk mendeklarasikan asetnya.

Mariyaldi berpendapat besarnya potensi tunggakan pajak dalam temuan Pansus DPRD Riau karena ada perbedaan asumsi sistem perpajakan yang dipakai oleh Tim Monitoring. "Kebanyakan perusahaan sawit di Riau ini sudah membayar pajak ke LTO (large tax office)," ujarnya. "Mayoritas perusahaan sawit di sini menyetor ke grupnya di pusat." Itulah, kata dia, yang menyebabkan Pansus tidak menemukan data tersebut di pajak di daerah.

Pajak yang bisa dipungut oleh kantor wilayah ataupun pemerintah daerah, menurut Mariyaldi, hanya pungutan izin lokasi, pajak penghasilan pasal 21, serta semua pungutan di luar pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan pasal 25. Itu sebabnya, PPh pasal 22, PPh pasal 23, serta pajak bumi dan bangunan juga dipungut di daerah.

Kalaupun masih terjadi perbedaan, Mariyaldi menduga karena ada perbedaan data antara kantor pajak dan perolehan lapangan. "Kalau izin perusahaan 10 ribu, ya, pajaknya 10 ribu," ucapnya. "Kalau di lapangan menemukan lebih dari itu, ya, itu ranahnya pemda, pajak, dispenda, dan DPRD untuk menyelaraskan data."

Siapa yang bertanggung jawab urusan perizinan juga saling lempar bola. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Riau Masperi mengatakan tak punya kewenangan apa-apa soal kebijakan pemberian izin ataupun kelengkapan administrasi perusahaan perkebunan sawit. "Itu kewenangan tiap daerah yang mengeluarkan izin," ujarnya. Itu sebabnya, ia mendorong dinas perkebunan di tiap kabupaten berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Program Gerakan Penyelamat Sumber Daya Alam menuntaskan persoalan perizinan.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Ferry H.C. Ernaputra juga mengatakan lembaganya tak punya kewenangan penuh mengurus pemberian izin untuk perusahaan-perusahaan perkebunan sawit tersebut. Ferry menyebutkan perannya saat ini sebatas menerbitkan rekomendasi teknis. "Rekomendasi teknis kami sampaikan saat proses pengurusan IUP," kata Ferry, Kamis pekan lalu.

Kalaupun ada perbedaan pencatatan data perizinan, itu terjadi karena izin usaha perkebunan yang diurus kabupaten sering tak menyertakan izin tata ruang yang mesti dikeluarkan gubernur. Akibatnya, data IUP di kabupaten tidak terdaftar di provinsi. "Inilah yang menyebabkan jumlahnya berbeda antara kabupaten dan provinsi," ujarnya.

Ayu Prima Sandi, Akbar T. Kurniawan (Jakarta), Riyan Nofitra (Bengkalis)

Perkembangan Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit (Juta Hektare)
2010: 8,4
2011: 9
2012: 9,6
2013: 10,5
2014: 11
2015: 11,4

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus