Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berebut Pasar Mi Siap Saji

Persaingan bisnis mi instan semakin sengit setelah Mayora meluncurkan Bakmi Mewah. Dikuasai tiga korporasi besar.

28 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA bungkus Bakmi Mewah itu ludes terbeli di salah satu minimarket Alfamart di Palmerah Barat, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Enam jam sebelumnya, Azis Muslim, pegawai minimarket itu, baru mengisi 10 bungkus Bakmi Mewah di rak atas khusus mi instan. Sejajar di sebelah Bakmi Mewah, terpajang Indomie Real Meat dengan jumlah dua kali lipat lebih banyak. Hari itu, kata Aziz, tak ada konsumen yang membeli Indomie Real Meat. "Bakmi Mewah lebih laris ketimbang Indomie Real Meat. Apalagi sering ada diskon," ujarnya Kamis dua pekan lalu.

Bakmi Mewah dan Indomie Real Meat sedang bersaing. Kedua mi instan itu adalah varian baru mi siap saji yang dirilis pada tahun ini. Bakmi Mewah lebih dulu dirilis PT Dellifood Sentosa Corpindo, grup PT Mayora Indah Tbk, pada Januari lalu. Lima bulan kemudian, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk meluncurkan Indomie Real Meat.

Hadirnya Bakmi Mewah menambah pesaing baru bagi Indofood, yang menjadi raja mi instan selama puluhan tahun. Kepala Divisi Komunikasi Perusahaan Mayora Indah Sribugo Suratmo yakin Bakmi Mewah bisa "mencuri" kue bisnis pemain besar bisnis mi siap saji. Sribugo memupuk optimisme karena Bakmi Mewah mengusung konsep baru.

Konsep yang diklaim baru pada Bakmi Mewah adalah paket daging ayam dalam kemasan. Isi daging ayam itu, menurut Sribugo, adalah konsep baru karena selama ini inovasi mi instan sebatas menambah variasi aroma--seperti Indomie rasa soto mi, Supermi rasa ayam bawang, Sarimi rasa bakso sapi, dan Mie Sedaap rasa kari spesial. "Variasi mi instan monoton. Bakmi Mewah hadir dengan daging ayam asli, bukan aroma," kata pria yang pernah bekerja di Indofood selama 21 tahun itu.

Dengan mengusung konsep daging asli, Sribugo optimistis konsumen menyambut positif meski Bakmi Mewah dibanderol Rp 7.000-9.000 per bungkus. Harga ini jauh lebih mahal ketimbang Indomie dan Mie Sedaap, yang dipatok Rp 2.000-2.500.

Sribugo mengatakan Indofood sudah mengetahui kemunculan Bakmi Mewah sejak Mayora menggelar tes pasar produk baru pada November-Desember tahun lalu. Namun Indofood tidak menyangka rilis resmi Bakmi Mewah dilakukan pada Januari tahun ini. "Mereka kecolongan," ucapnya.

Mayora langsung tancap gas dengan jorjoran beriklan di awal peluncuran Bakmi Mewah. Riset Nielsen Indonesia mengungkap belanja iklan Bakmi Mewah mencapai Rp 247 miliar hingga kuartal ketiga tahun ini. Dari jumlah itu, Rp 119 miliar digelontorkan pada kuartal pertama. Sribugo membenarkan besarnya belanja iklan Bakmi Mewah bertujuan mengenalkan produk ini kepada konsumen.

Sribugo yakin Bakmi Mewah bakal sukses karena Mayora memiliki pabrik mandiri. Di masa lalu, Mayora pernah mengalami kegagalan saat merilis mi instan merek Mie Duo karena tak memiliki pabrik. "Soal rasa itu mudah. Kunci utama adalah kontinuitas bahan baku," ujarnya.

Tak mau pasarnya tergerus Bakmi Mewah, Indofood merilis Indomie Real Meat. Meski konsep, harga, dan kemasan Real Meat terkesan mirip dengan Bakmi Mewah, Indofood menolak jika dianggap meniru. General Manager Corporate Communication Indofood Sukses Makmur Stefanus Indrayana mengatakan peluncuran Indomie Real Meat mengacu pada riset pasar atas pertumbuhan kelas menengah. Hasil riset itu dipadukan dengan analisis tim pemasaran Indofood, yang membidik segmen baru mi instan.

Kombinasi hasil riset pasar dan pemasaran inilah yang menjadi pijakan manajemen meluncurkan Indomie Real Meat. "Jadi tidak boleh karena alasan sekadar meniru," katanya saat berkunjung ke kantor Tempo, Selasa dua pekan lalu.

Mengacu pada belanja iklan Indofood, belanja iklan Real Meat baru mencapai Rp 84 miliar hingga kuartal ketiga tahun ini. Porsi paling besar belanja iklan Indofood masih tercurah pada merek Indomie, yang mencapai Rp 629 miliar hingga kuartal ketiga 2016. Menurut data riset Nielsen Indonesia, jumlah ini paling besar ketimbang pesaing utama mereka, yaitu Mie Sedaap, mi instan milik Grup Wings, yang mencapai belanja iklan sebesar Rp 405 miliar sepanjang periode yang sama.

Sribugo Suratmo, yang juga Ketua Asosiasi Roti, Biskuit, dan Mi Instan, menilai perhatian Indofood masih tersita lebih banyak pada Wings Group sebagai kompetitor utama ketimbang Mayora. Belanja iklan Indofood untuk merek Indomie, Sarimi, dan Supermi mencapai Rp 1,2 triliun hingga kuartal ketiga tahun ini. Adapun Wings Group mencapai Rp 642 miliar untuk merek Mie Sedaap dan Sukses Isi 2.

Persaingan Indofood dan Wings berlangsung sejak Wings meluncurkan Mie Sedaap pada 2003. Sebelum hadirnya Mie Sedaap, pangsa pasar mi instan milik Grup Salim itu mencapai lebih dari 90 persen. Setelah Grup Wings mengenalkan Mie Sedaap, kedigdayaan Indofood berangsur menurun.

Sukses Grup Wings merilis Mie Sedaap, menurut Sribugo, karena penguasaan bahan baku serta pemanfaatan distribusi produk sabun dan detergen. Perusahaan yang bermarkas di Surabaya itu dikenal sebagai produsen terbesar bisnis sabun dan detergen. Seorang agen periklanan mengatakan laba dari bisnis sabun dan detergen inilah yang dipakai manajemen Wings untuk belanja iklan Mie Sedaap.

Cara Wings masuk ke bisnis mi instan membuat Grup Salim, induk Indofood, meradang. Mereka menyiapkan serangan balik dengan merilis sabun baru bermerek BuKrim pada tahun yang sama saat Mie Sedaap diluncurkan pertama kali. Sabun colek itu diproduksi PT Birina Multidaya, yang didirikan Salim Group di Pasuruan, Jawa Timur. Menurut Sribugo, distribusi BuKrim di Jawa Timur menggerus pasar sabun milik Grup Wings.

Demi membentengi serangan Mie Sedaap, Indofood menguatkan brand utamanya berdasarkan karakter daerah. Hasilnya, mi instan merek Supermi dikuatkan di pasar Sumatera, Sarimi berfokus di Jawa, dan Indomie disiapkan untuk semua kawasan.

Stefanus Indrayana enggan menanggapi pertanyaan seputar persaingan Indofood dan Wings Group. Indrayana menilai hadirnya pemain baru dipastikan menggerus pangsa pasar. Namun, kata dia, berkurangnya kue pasar bukan malapateka. "Yang utama ada pertumbuhan bisnis," ujarnya. Adapun manajemen Wings Group menolak permintaan wawancara Tempo.

Sribugo mengatakan ketatnya persaingan dipicu oleh pertumbuhan permintaan mi instan. Hitungan Asosiasi Produsen Roti, Biskuit, dan Mi Instan menyebutkan permintaan mi cepat saji diprediksi mencapai 16 miliar bungkus pada tahun ini. Jumlah ini lebih besar ketimbang permintaan tahun lalu sebesar 13,2 miliar bungkus. Jika harga mi instan dipukul rata Rp 2.000 per bungkus, valuasi pasarnya pada tahun lalu mencapai Rp 26,4 triliun.

Dari valuasi itu, menurut perhitungan Sribugo, ceruk pasar Indofood berada pada kisaran 50-60 persen, Grup Wings sekitar 20 persen, dan sisanya diperebutkan merek lain, termasuk produk impor. Besarnya valuasi pasar berimbas pada produsen kecil. Sribugo menilai produsen yang menguasai ceruk pasar 5 persen sudah bisa meraup keuntungan.

Akbar Tri Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus