Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN pesawat jet pribadi, tiga petinggi Nike Inc. meluncur dari Beaverton, Amerika Serikat, ke Jakarta, Selasa dua pekan lalu. Mereka membawa misi mustahak: negosiasi dengan pemilik Grup Central Cipta Murdaya (CCM) tentang putusan penghentian kontrak bisnis sepatu, pada 6 Juli, yang memicu amarah 14 ribu buruh.
Namun para ekspatriat Nike keburu kabur ke Singapura, setelah kantor mereka di Jakarta berulang kali disatroni belasan ribu buruh anak usaha CCM, PT Hardaya Aneka Shoes Industry dan PT Nagasakti Paramashoes Industry. Hartati Murdaya, pemilik pabrik, juga masih diliputi amarah gara-gara keputusan Nike yang, menurut dia, arogan. ”Sudah untung tinggi, enak saja mau pindah,” kata Hartati, pertengahan Juli lalu.
Tak mengherankan jika suasana rada tegang ketika negosiasi berlangsung antara bos Nike dan pemilik CCM di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, dua pekan lalu. Sejak tiba di hotel, pagi 24 Juli, para pejabat Nike tak ditemui keluarga Murdaya. Suasana perundingan juga tak lazim. Meski menyita waktu enam jam—dari 10.00 hingga 16.00—tak ada tegur sapa dan tatap muka di antara mereka.
Menurut sumber Tempo, para pejabat teras Nike berdebat dari kamar di lantai 11. Mereka adalah Eric Sprunk, Wakil Presiden Global Footwear, Erin Dobson Direktur Komunikasi, dan Jim Carter, Kepala Bagian Legal Nike. Sedangkan keluarga Murdaya—Murdaya Poo dan Siti Hartati, serta putranya, Prajna Murdaya—bersama tim pengacara berlaga dari kamar di lantai 26. ”Mereka dipisah karena situasinya cukup emosional dan saling curiga,” kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Muhammad Lutfi, pekan lalu.
Agar negosiasi nyambung, giliran Lutfi ketiban pulung. Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai mediator perseteruan ini jadi pontang-panting. Ia naik-turun lift mengkomunikasikan butir-butir kesepakatan kepada kedua kubu.
Menjelang 16.00, sebetulnya konsep perjanjian sudah disiapkan. Pejabat Nike dan keluarga Murdaya akan dipertemukan untuk menandatangani. Eh, Nike tiba-tiba menolak. Menurut Lutfi, ada yang tidak cocok dalam teks kesepakatan. Tapi sumber lain menyebutkan, Hartati masih menuntut mereka ikut menanggung pesangon. ”Pertemuan langsung bubar,” ujar sumber itu. ”Tim Nike pun ngeloyor pergi.”
Nike tak mau menanggung pesangon dan berkeras menghentikan kontrak. Mereka punya dalih kuat di balik keputusan itu. Jauh sebelum kontrak diputus, mereka sudah memberikan surat peringatan berkali-kali. Bahkan pesanan dipangkas 50 persen pada Maret lalu, empat bulan sebelum putusan diumumkan. ”Kinerja Nagasakti dan Hardaya di bawah standar minimum mutu dan tenggat pengiriman,” kata juru bicara Nike, Erin Dobson.
Tentang keterlambatan pengiriman, sumber dekat Nike punya cerita. Ia menyebutkan contoh, pesanan sepatu untuk Desember baru dikirim pada Februari. ”Padahal, di pasar Eropa atau Amerika, model sepatu tergantung musim,” katanya. Itu belum menyinggung keterlambatan CCM membayar tagihan pemasok bahan baku.
Yang lebih parah, kata sumber itu, hasil investigasi detektif swasta yang disewa Nike mendeteksi bahwa sepatu juga dipasarkan sembunyi-sembunyi ke Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Dengan siasat ini, mereka bisa meraup untung besar. Itu bisa terjadi karena selisih harga sepatu kelewat jauh. CCM menjual ke Nike US$ 15, tetapi harga Nike ke konsumen US$ 100 per pasang.
Kasus tertangkapnya kontainer sepatu berisi 40 ribu pasang sepatu Nike dan Yonex oleh Bea Cukai Tangerang pada Maret lalu diduga bagian dari penjualan siluman itu. Sepatu yang mestinya diekspor malah keluar jalur kawasan berikat tanpa izin Bea dan Cukai. Hartati sempat menulis surat ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan tembusan ke Presiden (Tempo, 28 Mei 2007).
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi, yang sempat dimintai bantuan oleh Nike sebagai penengah, juga mendengar soal runtuhnya kepercayaan perusahaan beken dari Amerika terhadap Nagasakti dan Hardaya. ”Bahkan krisis kepercayaan sudah terjadi sejak empat tahun lalu,” katanya.
Namun semua tudingan dibantah oleh Grup CCM. Prajna Murdaya tak habis pikir atas berbagai tuduhan itu. Sebab, selama ini tim pengawas Nike rutin berkunjung ke pabriknya. Sementara tim dari Jakarta setiap hari ke pabrik, tim dari Amerika biasanya dua kali sebulan. Mereka selalu memuji mutu produk made in Hardaya dan Nagasakti. ”Mereka katakan good job, the best, atau number one-lah,” kata Prajna.
CCM memaparkan bukti lain, yakni tingkat pengembalian pesanan yang sangat kecil—cuma dua persen—dari pasokan kedua pabrik sebanyak 800 ribu-1 juta pasang sepatu setiap bulannya. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pengembalian kontraktor lain yang mencapai 20 persen. Bahkan, kata Hartati, sebulan sebelum kontrak diputus, Nagasakti dan Hardaya mendapat penghargaan Nike atas mutu produknya.
Tudingan bahwa Murdaya menjual produk tanpa setahu Nike juga ditampik. ”Itu tidak benar,” kata Hartati, seraya menekankan, jalinan bisnis ini sudah berjalan 18 tahun. ”Kami tak pernah menjual sepatu Nike diam-diam. Karena itu kami syok ketika mereka tiba-tiba memutus kontrak.”
Keluarga ini tak percaya Nike akan mengalihkan produksi ke perusahaan lain di Indonesia. Alasannya, di sini cuma ada tujuh kontraktor. Bila dua mitra ditutup dan dialihkan ke lima sisanya, kapasitas mereka tak cukup menampung. Sebab, kapasitas kedua pabrik CCM mencapai 20 persen dari total produksinya di sini. ”Saya menduga Nike secara bertahap akan pindah ke Cina,” kata Prajna. ”Apalagi Eropa akan menghapus kuota impor sepatu dari Cina.”
Keluarga ini bukan sekadar curiga, melainkan juga kecewa akan tindakan Nike yang mereka anggap sewenang-wenang. Karena itu, Hartati meminta Nike turut menanggung pesangon yang mencapai US$ 40 juta. Jika tak mau, ia akan menuntut secara hukum perusahaan kelas dunia yang ia juluki sebagai sweat shop atau toko keringat itu. Tawaran lainnya adalah perpanjangan kontrak dari sembilan bulan menjadi 18 bulan untuk Hardaya dan 30 bulan untuk Nagasakti.
Melihat kemelut yang bisa merusak iklim investasi dan mengancam ribuan buruh, pemerintah akhirnya turun tangan. Lutfi diberi tugas membujuk Nike ke Singapura. Mereka akhirnya mengalah. Dalam negosiasi di Ritz Carlton, sesungguhnya Nike siap memperpanjang kontrak menjadi 12 bulan untuk Hardaya dan 24 bulan untuk Nagasakti. Pesanan juga ditambah dari 320 ribu pasang menjadi 850 ribu pasang per bulan bagi setiap perusahaan.
Namun tawaran ini rupanya tak cukup memuaskan taipan yang punya kekayaan US$ 430 juta (Rp 3,8 triliun) itu. Melihat gelagat penolakan, pemerintah kemudian menekan keluarga Murdaya. Sikap pemerintah jelas: Nike tak patut dibebani pesangon karena cuma pembeli. Lutfi tetap melanjutkan negosiasi melalui email dan conference call.
Beberapa hari kemudian, pengusaha terkaya ke-16 versi majalah Forbes Asia 2006 itu akhirnya menyetujui tawaran produsen sepatu yang beroperasi di Indonesia sejak 1989 itu. Pada Rabu pekan lalu, Prajna, yang menjabat direktur operasi di kedua perusahaan, menandatangani perjanjian bersama pejabat Nike.
Selain soal perpanjangan dan tambahan order, perjanjian itu juga mencakup sejumlah hal. Misalnya, Murdaya berkewajiban menanggung kompensasi karyawan, memenuhi standar minimum jadwal pengiriman dan mutu produk, serta menepati tenggat pembayaran ke pemasok.
Sedangkan Nike berkomitmen memberikan perpanjangan waktu bagi CCM untuk transisi bisnis dan mencari solusi bagi karyawan. Nike membantah akan merelokasi pabrik ke Cina. ”Kami membeli 50 juta pasang sepatu dari Indonesia pada 2006,” ujar Erin Dobson kepada Tempo, pekan lalu. ”Kami akan tingkatkan di masa datang.”
Kini ketegangan telah redup. Pemilik 84 perusahaan itu mulai berbenah. Untuk menampung ribuan buruh yang terancam PHK, ia mulai merintis bisnis pertanian yang mengandalkan bibit unggul, seperti padi hibrida. Ia juga akan mengembangkan merek sepatu baru, League, sekaligus memperluas pemasarannya. ”Nanti, setelah sepatunya beredar, jangan lupa beli, ya,” kata Hartati berpromosi.
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo