Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Usul Komersialkan Halim Kembali

Pemda Jakarta berniat menghidupkan kembali Bandara Halim Perdanakusuma. Kata akhir di tangan TNI Angkatan Udara.

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA tiga bulan terakhir, Dinas Perhubungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta sibuk menggelar rapat. Sejumlah perwakilan dari Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) dan pengelola Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, selalu diundang hadir.

Dalam rapat perdana di markas Dinas Perhubungan DKI di kawasan Jati Baru, Jakarta Pusat, 3 Mei lalu, Kepala Sub-Dinas Perhubungan Udara, D.A. Rini, menyampaikan keinginan instansinya agar pemerintah pusat menghidupkan Bandara Halim Perdanakusuma. Yang dimaksud Rini adalah mengaktifkan kembali bekas bandara yang dulu bernama Lapangan Terbang Tjililitan itu untuk jalur lalu lintas penerbangan komersial reguler. Sejak Bandara Internasional Soekarno-Hatta beroperasi pada 1985, pamor Halim kian redup.

Satu terminal memang tetap digunakan sebagai pangkalan TNI Angkatan Udara. Namun satu terminal lain, yang dijatahkan untuk penerbangan pesawat sipil, praktis mati suri. ”Tingkat utilisasinya jauh dari maksimal,” kata Rini, Selasa pekan lalu.

Hanya helikopter, pesawat VIP, VVIP, dan carteran yang biasa beroperasi. Padahal, berdasarkan aturan pemerintah, penerbangan reguler dapat diselenggarakan di sana. Nah, peluang inilah yang tampaknya ingin dihidupkan kembali oleh Dinas Perhubungan Jakarta. ”Kami ingin menagih agar keputusan ini direalisasikan,” kata Rini.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 32/2003, yang saat itu dijabat Agum Gumelar, peluang menggunakan Halim sebagai bandara penerbangan reguler memang terbuka. Namun pesawat yang boleh masuk dihadang sejumlah persyaratan. Salah satunya, jumlah tempat duduk tak boleh lebih dari 110.

Artinya, hanya jenis pesawat kecil dan menengah yang dapat beroperasi, seperti Fokker F-27 sampai F-100, atau Boeing 737 seri 200. Waktu mengudara juga tidak boleh melebihi satu jam, dan bandara yang dituju terbatas, seperti Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Semarang, dan Lampung.

Untuk merealisasikan keinginan itu, sejumlah pertemuan lanjutan telah dilakukan. ”Kami sudah beberapa kali mengadakan rapat,” kata Kepala Dinas Perhubungan Jakarta, Nurrachman. Pendekatan informal juga dilakukan ke sejumlah maskapai dan Departemen Perhubungan.

Rencananya, pekan depan rancangan usulan operasionalisasi Halim akan disampaikan ke Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Usul itu mencakup perbaikan infrastruktur seperti perpanjangan dan penambahan landasan pacu, yang saat ini baru satu buah.

Menurut Rini, pengaktifan kembali Bandara Halim akan mendatangkan sejumlah keuntungan. Lokasinya di Jakarta Timur, yang jauh lebih dekat ketimbang Bandara Soekarno-Hatta, akan memangkas waktu tempuh. ”Ini menyangkut efisiensi,” ujarnya. ”Masak, penerbangannya cuma setengah jam tapi ke bandaranya lebih dari satu jam.” Buat perekonomian Jakarta, ini tentu bakal mendatangkan pemasukan tidak sedikit.

Direktur Utama Merpati, Hotasi Nababan, mendukung usul itu. ”Ini menarik,” katanya. ”Fokker 28 kami bisa langsung ditempatkan.” Pendapat senada datang dari Adam Aditya, Direktur Utama Adam Air. Jika terwujud, katanya, para pengusaha dengan mobilitas tinggi, yang kerap terbang dari satu kota ke kota lain, akan menjadi target penumpang yang dibidiknya.

Meski begitu, ia meminta waktu terbang ditingkatkan tidak hanya 60 menit. Sebab, ke kota besar seperti Surabaya memakan waktu tempuh satu jam lima belas menit. Padahal, ”Di sana pasarnya besar.” Karena itu, ia tak ragu mengemas ulang beberapa pesawatnya, maksimum 110 tempat duduk, sesuai dengan persyaratan.

Dirjen Perhubungan Udara Budi Mulyawan Suyitno menyatakan, rencana ini masih harus dibicarakan dalam forum antarinstansi. Sebab, semua aset Bandara Halim milik TNI Angkatan Udara. Keputusan Menteri itu pun sedang dikaji ulang. ”Akan direvisi atau diperpanjang,” ujarnya. Sayang, Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Daryatmo, mengaku belum menerima usul itu. ”Kalau benar, nanti akan kami bahas dulu,” katanya. ”Sebab, ini aset pertahanan.”

Muchamad Nafi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus