Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Abdullahi An Naim: Kita Suka Menyalahkan Orang

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia seorang profesor di sekolah hukum yang cukup terpandang. Di Emory School of Law, Atlanta Georgia, Amerika Serikat. Abdullahi An Naim, 61 tahun, begitu namanya, memang seorang akademisi yang baik. Tapi pengalaman hidupnya juga menjadikannya seorang aktivis.

An Naim lahir di Khartoum, Sudan. Tatkala usianya belum lagi genap 40 tahun, ia harus meninggalkan tanah airnya. Rezim militer yang mengambil alih kekuasaan telah melarang gerakan reformasi yang dipimpin gurunya, Ustad Mahmud Mohammad Taha. Bahkan para penguasa militer yang konservatif itu lalu mengeksekusi sang ustad.

An Naim pergi ke Amerika, meneruskan tradisi gurunya. Ia sekuler, tak setuju negara Islam, menganggap Islam periode Mekah sebagai rujukan, tak mengharamkan kepemimpinan perempuan, dan seterusnya. Tapi ia tak setuju dengan kelompok-kelompok antisyariat yang terlalu sensitif. Dialog antara si skularis dan konservatif harus dipelihara. Pekan lalu, An Naim hadir dalam peluncuran bukunya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah, di Jakarta (lihat Membela Sekularisme, Menyelamatkan Syariah hal.73). Berikut adalah petikan wawancaranya dengan Idrus F. Shahab dari Tempo.

Beberapa aktivis partai Islam berhasil mengegolkan syariat melalui politik parlemen. Sebagian orang merasa terintimidasi. Bagaimana Anda memandang fenomena ini?

Mereka tak akan bisa mempraktekkannya lebih jauh. Kalau dijalankan terus, praktek syariat akan jadi dangkal. Implementasi syariat direduksi jadi membubuhkan istilah Arab/Quran di jalan-jalan kota; memaksa perempuan memakai pakaian tertentu; melarang khalwat. Tapi soal ekonomi, sosial, politik—misalnya korupsi—yang membutuhkan penanganan khusus, tak terjangkau. Sayang, syariat-syariat seperti itu tidak menawarkan solusinya.

Tapi mereka mengajukan dalil dalam hadis?

Hadis ini telah berusia hampir 1.500 tahun. Masyarakat Indonesia telah jadi masyarakat Islami selama ratusan tahun, dan tiba-tiba sekarang mereka menyadari: menjadi muslim berarti harus berpakaian, hidup dengan cara-cara ini. Padahal ini lebih merupakan simbolisme politik ketimbang nilai-nilai yang mendasar. Muslim merupakan seperlima dari umat manusia di bumi ini. Ada lebih banyak muslim di Cina, di Afrika Subsahara, ketimbang di Timur Tengah. Islam begitu luas, tapi di negara mana di antara 40 negara dengan penduduk mayoritas Islam yang mempraktekkan hukum rajam bagi pezina dan sebagainya. Yang mau saya katakan, kecemasan akan Islamisasi dan implementasi syariat itu ahistoris. Indonesia sendiri telah beratus tahun muslim, di mana orang-orang nonmuslim saat itu, dan mengapa baru sekarang mereka merasa terancam.

Anda ingin mengatakan bahwa gejala ini produk dari kelompok tertentu?

Ada agenda politiknya. Ada kekuatan tertentu di Barat, juga di masyarakat kita yang berusaha membesar-besarkan, menciptakan sensasi yang menyudutkan Islam dan muslim untuk tujuan politik, dan ini berkaitan dengan konflik Palestina-Israel.

Maksudnya Israel?

Bukan hanya Israel, tapi lobi Israel. Padahal cara ini tidak efektif, dan hanya akan memberikan kesempatan bagi kaum fundamentalis, dan menyudutkan mereka yang moderat. Lihat bagaimana media massa sayap kanan senang menunjukkan hukum rajam. Percayalah, kebijakan ini juga tidak menguntungkan Israel.

Bagaimana Anda menjelaskan fenomena Taliban?

Taliban hanya produk Afganistan. Produk masyarakat kesukuan yang militan, militeristis, juga dengan kondisi alam yang keras. Ada pembunuhan demi kehormatan keluarga (honor killing) dan pemerkosaan berkelompok (gang rape) yang tidak Islami tapi dipraktekkan.

Anda mengatakan ada tangan Israel di balik propaganda menyesatkan itu, kedengarannya seperti kaum apologetik yang menyalahkan Amerika, Barat, atas segala kemunduran umat Islam.

Tidak, tidak begitu. Kita memang suka menyalahkan orang. Kemunduran ini akibat kesalahan ulama kita, akibat imperialisme Amerika dan seterusnya. Tapi saya mempertanyakan pertanggungjawaban kita: apakah kita akan menolong korban atau justru terus memainkan peran sebagai korban. Suka atau tidak, itu semua telah terjadi dan tak akan berubah. Kita yang harus berubah.

Judul buku Anda menyebut Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Apa maksudnya?

Ini semua proses negosiasi. Partai-partai Islam seharusnya lebih menawarkan nilai ketimbang kebijakan. Sebaliknya, mereka yang liberal sekuler juga menyodorkan nilai-nilai sekuler. Dan apa yang akan muncul pada akhirnya adalah sebuah kompromi. Pertanyaannya sekarang, apakah orang-orang liberal tertarik dalam negosiasi ini, atau mengundang militer ataupun alat politik yang otoriter untuk menghadapi ”ancaman” itu. Ironis sekali melihat apa yang terjadi pada 1992. Kaum intelektual sekuler Aljazair mentoleransi, bahkan menyambut intervensi angkatan bersenjata demi menyelamatkan mereka dari FIS, partai Islam-oposisi yang menang pemilu. Dari situ, negara itu terseret ke dalam perang saudara yang sangat berdarah sepanjang 15 tahun.

Yang terjadi di Turki juga sama. Militer mencoba melindungi negara dari partai Islam yang populer. Dalam buku saya menyebutnya kontradiksi dalam sekularisme totaliter. Poin yang saya ajukan: mengapa intelektual di Indonesia terbelah dua. Memilih pendangkalan syariat—atau juga penegakan hukum yang mengganggu kenyamanan orang dengan gaya hidup liberal; atau menganggapnya ancaman besar, seolah-olah itu akan mengakhiri peradaban yang telah dibangun. Saya mengatakan: terlibatlah dalam debat, belajarlah tentang apa arti syariat, dan belajarlah tentang sejarah perjalanan masyarakat Islam.

Apa sesungguhnya yang ingin Anda katakan tentang syariat?

Yang saya serukan adalah demistifikasi syariat. Syariat ber-evolusi, juga tidak ada dalam Quran dan Sunah. Itulah produk perkembangan intelektual dan teologi selama 200-300 tahun, dan oleh manusia. Bahkan saya mau mengatakan bahwa syariat itu sekuler. Karena itu berasal dari sumber-sumber sakral yang dibumikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Kita semua sudah sekuler; kita produk bumi ini. Kita memang memperoleh bimbingan dari sumber-sumber yang kudus, tapi Islam datang ke pada kita yang manusia, bukan malaikat. Islam tentang dunia ini, bukan hidup sesudah ini. Dan intelektual harus belajar tentang sejarah, bagaimana syariat berkembang. Inilah konstruksi manusia; kita bisa merekonstruksi atau mendekonstruksi.

Tapi Anda sepertinya juga memainkan peran seorang mediator antara si konservatif dan sekuler?

Kalangan konservatif menganggap negara sekuler itu antiagama. Sekularisme seperti setan yang jahat, yang akan menghancurkan moral kita. Sebaliknya juga pandangan kaum sekuler. Keduanya saling curiga, dan mencoba memperlihatkan gambaran yang terburuk tentang lawannya. Gambaran yang selalu dilebih-lebihkan. Solusinya, sekarang semua harus menghormati prinsip pemerintahan yang konstitusional, proses politik yang demokratis, dasar-dasar hak asasi manusia. Kalau ada yang bergerak di luar aturan main itu, kita wajib menolaknya. Kita melihat ada kudeta, baik oleh fundamentalis maupun sekularis. Sekularisme juga bisa setotaliter ideologi religius.

Menurut Anda, Islam yang sesungguhnya itu yang mana?

Ada dalam hati dan pikiran orang-orang Islam. Quran dan hadis adalah sumber yang selalu saya baca, untuk memahami apa yang disampaikan Tuhan kepada rasul-Nya. Tapi saya harus menyebut, Islam adalah juga apa yang diperlakukan oleh kaum muslim itu sendiri terhadap agamanya. Ada di dalam hati dan pikiran orang Islam, ketimbang dalam kitab maupun hadis. Ada hadis qudsi: Aku (Tuhan) tidak merujuk pada yang di surga dan dunia. Aku lebih merujuk pada apa yang terdapat di hati dan pikiran mereka yang beriman.

Anda membuka pintu terhadap ijtihad. Siapa yang berhak melakukannya?

Semua. Harus begitu, soalnya siapa yang menentukan orang-orang yang layak. Harus demokratis. Saya mengatakan, Islam secara teologis sangat demokratis; tapi secara sosiologis belum demokratis. Teologi Islam adalah tanggung jawab pribadi, dan bertanggung jawab atas segalanya yang saya katakan dan perbuat. Jadi, tak ada restriksi sama sekali. Tak boleh ada sensor. Kalau ada yang mau meninggalkan Islam, pintu harus terbuka. Tak ada paksaan dalam agama.

Apakah itu ajaran Muhammad?

Ya. Tapi kita sering salah tafsir. Lihat hijrah. Hijrah bukan simbol kemenangan Islam. Hijrah adalah kebebasan untuk meninggalkan negeri yang opresif. Kebebasan itu penting. Saya rasa tradisi Sufi yang toleran lebih representatif dibanding dengan yang lebih formal, legalistis. Sufi lebih introspektif, kritis terhadap diri sendiri, bersahaja, tidak menilai orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus