Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Runtuhnya Bisnis Peer-to-Peer Lending: Fraud

Perusahaan peer-to-peer lending terjerat fraud. Rawan penyelewengan oleh pemilik perusahaan ataupun peminjam. 

29 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kantor Investree, perusahaan fintech lending yang menyediakan layanan perantara untuk proses pinjam meminjam uang (P2P lending) di Jakarta, Senin 19 Juni 2017. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Adrian Gunadi, pendiri Investree, buron setelah menjadi tersangka di OJK.

  • Manajemen Investree, pinjaman online person-ke-person, diduga melakukan fraud dengan kedok super lender.

  • Koin P2P mengalami gagal bayar lantaran peminjam dana mengemplang utang.

TIDAK seperti buron, Adrian Asharyanto masih melakoni aktivitas seperti biasa. Pendiri Investree, perusahaan pinjam-meminjam atau peer-to-peer lending, itu diketahui berada di Doha, Qatar, dan melakoni olahraga seperti lari, berenang, bersepeda, tenis, dan mendayung. “Setahu saya, dia bersama komunitas diaspora di sana setiap Sabtu,” kata Aryaperwira Adileksana, Direktur Human Capital Garuda Indonesia periode 2020-2022, pada Kamis, 26 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arya mengetahui keberadaan Adrian dari beberapa temannya sesama pilot yang kerap terbang ke Doha. Dia terus memantau keberadaan pria yang dikenal sebagai Adrian Gunadi tersebut. Lewat skema transaksi yang rumit, duit Arya sebanyak Rp 1 miliar tersangkut di Investree yang kini sedang dalam proses likuidasi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arya tak sendiri. Banyak lender atau orang yang meminjamkan uang lewat platform Investree kehilangan uang lantaran perusahaan itu tak bisa mengembalikan pokok dan imbal hasil yang dijanjikan. Tak hanya gagal mengembalikan dana dari lender, manajemen Investree juga diduga melanggar sejumlah ketentuan. Adrian selaku pemimpin perusahaan itu menjadi tersangka dan masuk daftar pencarian orang (DPO) alias menjadi buron. 

Pada awalnya Arya pun tak menyangka uang yang dia tanamkan di Investree bakal hangus. Dia menjadi lender yang meminjamkan dana kepada peminjam atau borrower melalui aplikasi Investree. Pengembalian uang itu sempat terlambat, meski pada akhirnya dana pokok dan imbal hasilnya dia terima utuh. Suatu hari pada 2022, Arya diperkenalkan kepada Adrian oleh Shinta Sugondo Arlan, pemilik PT Driessa Nedda Asia. Driessa Nedda Asia adalah pialang asuransi yang telah lama bekerja sama dengan koperasi pilot Garuda Indonesia. Arya salah satu pengurus koperasi itu. 

Ketika itu Arya kembali menanamkan uang di Investree. Demikian pula dengan koperasi pilot Garuda yang menyimpan uang hasil pengelolaan reksa dana dan investasi lain kepada Investree. Adrian kemudian menyarankan Arya menguasakan pengelolaan dana itu kepada Driessa Nedda Asia. Driessa Nedda Asia kemudian menempatkan dana itu dalam pool fund atau platform pendanaan yang dibentuk PT Putra Radhika Investama, perusahaan yang didirikan Adrian.

CEO Investree Adrian Asharyanto Gunadi. FOTO/Dok.investree

Putra Radhika Investama kemudian berperan sebagai super lender di Investree. Super lender adalah institusi yang mempunyai modal besar untuk memberikan pinjaman kepada borrower peer-to-peer lending. Kebanyakan di antara mereka adalah bank, lembaga jasa keuangan, dan manajer investasi. Dengan tawaran imbal hasil 3 persen per bulan, Arya tergiur menempatkan dana Rp 1 miliar di Investree lewat Putra Radhika Investama. “Pengelolaan tiga bulan pertama, yaitu Oktober-Desember 2022, lancar, kemudian saya perpanjang enam bulan lagi,” ucap Arya. 

Keputusan ini kemudian berujung rugi. Selama enam bulan berikutnya, Putra Radhika Investama dan Driessa Nedda Asia selalu terlambat mengirim imbal hasil investasi bulanan. Membaca gelagat buruk itu, pada Mei 2023, Arya meminta pencairan dana pokok Rp 1 miliar. Dwitanto Wicaksono yang ketika itu menjabat Direktur Pemasaran Driessa Nedda Asia memproses permintaan Arya dan berjanji uangnya akan balik pada 25 Juni 2023. 

Arya lalu melakukan serangkaian upaya hukum hingga November 2024. Pengadilan menyatakan gugatannya tidak dapat diterima. Gugatan Arya kepada Driessa dianggap salah alamat karena pengelola dana sesungguhnya adalah Putra Radhika Investama. “Sampai sekarang dana tidak kembali,” ujarnya. Dalam proses ini Arya bertemu dengan sejumlah korban Investree. Rupanya, mereka terjerat modus yang sama. 

Pada mulanya mereka adalah lender individual seperti Arya. Adrian merayu mereka untuk menguasakan pengelolaan dana kepada Driessa Nedda Asia serta beberapa perusahaan lain. Dana itu kemudian disalurkan kepada Putra Radhika Investama. Arya mengungkapkan, ada 26 orang yang dananya dikuasakan kepada Driessa Nedda Asia. “Nilainya Rp 36 miliar,” katanya. 

Tempo berupaya meminta tanggapan kepada manajemen Driessa Nedda Asia. Namun Dwitanto Wicaksono tidak menjawab. Shinta Sugondo Arlan juga enggan menjawab ketika ditanya soal perannya dalam mengenalkan Arya kepada Adrian. “Arya lebih mengerti dan jago analisis dibanding saya,” tuturnya pada Kamis, 26 Desember 2024.

Yang jelas, OJK sudah menetapkan Adrian Gunadi sebagai tersangka. Pada Jumat, 13 Desember 2024, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman mengatakan Adrian masuk DPO. “OJK bekerja sama dengan aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” kata Agusman. 

OJK belum menjelaskan pasal mana yang dipakai untuk menjerat Adrian. Yang jelas, Pasal 237 Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan melarang setiap orang menghimpun dana dari masyarakat dan disalurkan kepada masyarakat tanpa izin OJK. Aturan ini juga melarang setiap orang menyalurkan, mengelola, dan menjadi perantara dana tanpa izin OJK. Pelanggarnya diancam pidana 5-10 tahun penjara dengan denda minimal Rp 1 miliar. 
 
Bukan hanya Investree, perusahaan peer-to-peer lending yang juga terjerat persoalan adalah Koin P2P, anak usaha KoinWorks. Salah satu lender Koin P2P, MPP Transportation & Distribution yang bergerak di bidang distribusi produk makanan dan minuman, diduga mengemplang utang Rp 365 miliar. Utang besar itu berasal dari supply chain financing yang dibiayai oleh para lender KoinWorks. Pemilik MPP Transportation & Distribution, Michael Timothy, diduga menggunakan 279 kartu tanda penduduk sebagai kedok dalam meminjam dana.

Kepada Tempo pada akhir November 2024, Direktur Utama Koin P2P Jonathan Bryan mengatakan supply chain financing merupakan pinjaman kepada pelaku bisnis di bawah ekosistem rantai pasok, seperti grup perusahaan milik Michael Timothy. Agar prosesnya aman, penagihan kepada mitra usaha kecil-menengah dilakukan melalui distributor besar. “Semua menjadi rusak ketika mitra berbuat jahat dengan membawa kabur dana yang seharusnya dibayarkan kepada lender,” ucapnya.

Gara-gara itu pula Koin P2P mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran kepada lender pada November 2024. Perusahaan mengajukan opsi, yaitu dana lender akan dikembalikan selama dua tahun dengan imbal hasil 5 persen per tahun. “Kami tidak ke mana-mana. Kami memperkirakan perlu waktu dua tahun untuk memulihkan dana pemberi pinjaman,” tutur Direktur Utama Koin P2P Jonathan Bryan. 
  
Di media sosial, beredar kabar pembiayaan KoinWorks berasal dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI. Namun Corporate Secretary BNI Okki Rushartomo membantah informasi tersebut. “Kami memastikan tidak ada pinjaman kepada KoinWorks, baik langsung, channeling, maupun skema pinjaman lain,” ucapnya pada Kamis, 26 Desember 2024. 

Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia Entjik S. Djafar mengatakan kasus penyelewengan keuangan yang menimpa perusahaan peer-to-peer lending sudah menjadi bahasan asosiasi bersama OJK. Asosiasi, Entjik menambahkan, sudah mengunjungi kantor KoinWorks guna memastikan perusahaan memenuhi semua hak lender. “Kantornya masih ada, orangnya enggak lari,” ujarnya, seraya mengatakan kasus KoinWorks dan Investree sangat berbeda. 

Untuk menghindari kasus serupa, OJK menyusun ketentuan yang mewajibkan pemain peer-to-peer lending memperkuat mitigasi risiko untuk melindungi lender. “Penguatan pengaturan ini diharapkan lebih efektif memitigasi risiko terjadinya fraud,” kata Agusman.

Ghoida Rahmah berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tanam Dana Rawan Pengemplang"

Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus